• Monday, 3 April 2017
  • Andre Sam
  • 0

Cheng Beng telah ada jauh sebelum agama Buddha masuk ke Tiongkok. Persentuhan budaya dan agama Buddha tidak bisa dielakkan. Agama Buddha mengakomodasi budaya bakti anak pada orangtua maupun leluhur di Tiongkok yakni Cheng Beng itu sendiri.

Sehingga, sembahyang pada leluhur bisa dilakukan oleh orang beragama apa pun, khusus untuk Cheng Beng, secara kultural dilakukan oleh masyarakat Tionghoa. Faktor keyakinan bisa melunturkan tradisi yang menyimpan banyak makna yang mendalam ini. Misal, anggapan kalau sudah meninggal ya untuk apa kita mendoakan lagi? Kan sudah langsung terlahir sesuai karma masing-masing dan lain sebagainya.

Qing Ming Jie dalam dialek Hokian disebut Cheng Beng. Qing Ming Jie berarti langit sedang berwarna biru bersih dan terang benderang. Cheng Beng jatuh pada tanggal 5 April hingga 20 April. Dalam sejarah Tiongkok, Cheng Beng telah dimulai dari Warlord Period (475 – 221 SM), 2.400 tahun lalu. Sembari menikmati udara yang segar ini, mereka juga membersihkan makam leluhur. Hingga sekarang Cheng Beng dijadikan momentum untuk melakukan bakti dengan sembahyang ke makam leluhur. (Baca: Cheng Beng dan Perwujudan Rasa Bakti kepada Leluhur)

Bakti

Ayah dan ibu diibaratkan sebagai dua Buddha dalam keluarga. Dari semua kebaikan, kebaikan orangtua adalah kebaikan yang mulia. Sesungguhnya ada dua Buddha dalam setiap keluarga. Namun sangat disayangkan belum banyak yang mengerti akan hal ini.

Mereka tidak meminta emas ataupun permata, juga tak perlu dipuja dengan cendana. Digambarkan bahwa kasih anak diumpamakan seperti seinci rumput. Ada pun kasih orangtua bak cahaya mentari yang terus menyinari bumi. Maka sebagai seorang anak sudah sepantasnyalah berbakti kepada orangtua selagi mereka masih hidup, melakukan pelimpahan jasa untuk yang telah meninggal dunia.

Tradisi

Tradisi memberi persembahan untuk keluarga yang telah meninggal dunia dalam agama Buddha dapat dilakukan dengan dua cara:

  1. Mempersembahkan makanan langsung ditujukan untuk mengenang almarhum/almarhumah
  2. Mempersembahkan dana kepada Wihara (Sanggha) yang kemudian akan melakukan upacara pelimpahan jasa untuk kebahagiaan almarhum/almarhumah.

Dalam Sutta Sigalovada diuraikan bahwa salah satu kewajiban anak terhadap orangtua dan leluhurnya adalah memberikan persembahan dan melimpahkan jasa kebajikan dari perbuatan itu. Sutta Tirokudda menerangkan bahwa sanak keluarga yang masih hidup seyogianya memberikan persembahan makanan dan minuman sebagai perilaku bakti kepada sanak keluarganya yang telah meninggal dunia. Juga dijelaskan cara yang satunya lagi, yaitu dengan memberi persembahan kepada wihara/Sanggha. Sanggha akan melimpahkan jasa dan kebajikan itu kepada almarhum/almarhumah.

Sutta Pattakamma menyebutkan Buddha menjelaskan kepada Ananthapindika tentang lima macam persembahan tentang lima macam persembahan, yakni;

  1. Persembahan kepada sanak saudara yang masih hidup.
  2. Persembahan kepada tamu
  3. Persembahan kepada sanak saudara yang telah meninggal dunia.
  4. Persembahan kepada raja (pemerintah)
  5. Persembahan kepada dewa.

Mempersembahkan kepada dewa menunjukkan bahwa jasa yang dilimpahkan oleh Sanggha bukan hanya dapat diterima oleh mereka yang terlahir kembali di alam peta tetapi juga oleh sanak keluarga kita yang terlahir di alam dewa.

Sutta Mahaparinibbana menjelaskan, Buddha menyarankan masyarakat untuk berdana kepada para biksu berbudi luhur dan mendedikasikan persembahannya kepada para dewa. Para dewa akan melindungi dan membantu mereka sebagai balasannya.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Tags:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *