• Tuesday, 25 October 2016
  • Leo Listy
  • 0

Di tangan sekelompok anak muda dari kota Solo, Jawa Tengah yang mengusung nama Astakosala Volk, syair-syair dari Kakawin Jawa Kuno diolah menjadi lagu yang teduh serta membasuh kalbu. Dalam balutan musik beraliran new age, lagu-lagu dari syair Siwa-Buddha berbahasa Sanskerta dan Jawa Kuno itu akan dipentaskan di Ubud Writers and Readers Festival (UWRF), 26 – 30 Oktober 2016.

Ubud Writers and Readers Festival merupakan panggung budaya dan sastra terbesar di Asia Tenggara yang diselenggarakan setiap tahun di Ubud, jantung seni dan budaya di Pulau Bali. UWRF pertama kali digelar pada 2003, satu tahun pasca-tragedi Bom Bali 2002, sebagai upaya penyembuhan sekaligus proyek pengembangan ekonomi.

Kali ini, di usianya yang ke-13, UWRF mengangkat tema “Tat Tvam Asi”. Tat Tvam Asi adalah filosofi leluhur Nusantara pada abad VI yang dapat diartikan: “Dalam diriku ada dirimu, dalam dirimu ada diriku”, “kita semua satu.” Tema UWRF yang mengajarkan bahwa semua manusia sama dan terhubung satu sama lain, terhubung dengan alam dan terhubung dengan Yang Maha Esa, berkelindan dengan pesan-pesan yang tersirat dalam lagu dari syair-syair Kakawin Jawa Kuno garapan Astakosala Volk. Salah satunya lagu yang berjudul Bhanawa Sekar (Rangkaian Persembahan Bunga).

“Nimitangku yan layat
Aninggal isang ahayu nguni ring tilam
Ndatan lali si langening sayana
Saka ring harepku lalita nggurit lango

“Sebabnya aku meninggalkan si juwita di peraduan / Bukan karena lupa merasa keindahan peraduan / Namun karena hasrat yang tak tertahankan / Untuk melukiskan keindahan alam.”

Bhanawa Sekar merupakan karya dari Mpu Tanakung, ‘tan’ berarti tak memiliki, sementara ‘akung’ adalah kekasih. Seorang tokoh spiritual Siwa-Buddha. Ia hidup pada akhir zaman Majapahit yakni akhir abad ke-15. Syair di atas diambil dari Kakawin Wrettasancaya.

Sang creative idea Astakosala Volk, Andre Sam mengatakan, lagu yang liriknya dipilih dari Kakawin Wrettasancaya itu bertutur tentang rasa kepekaan manusia. “Berkurangnya keserakahan, kebencian dan kebodohan akan membuat hidup penuh dengan kesadaran. Kesadaran pada alam raya ini, alam di luar maupun alam di dalam diri,” kata lelaki 30 tahun yang merupakan salah satu personel BuddhaZine.

Astakosala dalam bahasa Sanskerta berarti keterampilan tangan dalam mengolah komposisi musik untuk dipersembahkan pada kesejahteraan dunia (jagaddhita), sedangkan Volk adalah kata dari bahasa Belanda yang artinya masyarakat. Menurut Andre Sam, Astakosala Volk adalah perwujudan cinta dan bakti pada para leluhur Jawa yang telah mewariskan banyak peninggalan berharga.

Salah satu dari warisan yang tak ternilai dan tak lekang oleh waktu adalah kesusastraan Jawa bernapas Hindu dan Buddha. Namun, sejak runtuhnya era Majapahit di Tanah Jawa yang disusul oleh perpindahan keyakinan mayoritas masyarakat dari Hindu dan Buddha ke Islam, karya-karya agung tersebut lambat laun sirna, memasuki sandyakala.

Meski baru terbentuk pada awal 2016, Astakosala Volk sebenarnya telah melewati serangkaian proses panjang sejak 2014. “Dalam proses merangkai mata rantai sastra Hindu dan Buddha yang terputus di Tanah Jawa itu, kami mencari format yang tepat agar mudah diterima oleh siapa saja,” kata Andre Sam.

Menurut Andre Sam, sastra Jawa Kuno di zaman modern tak ubahnya artefak yang sekadar diteliti, kemudian dibandingkan dengan sastra lain, lantas diterjemahkan ke berbagai bahasa, dan seterusnya. Lelaki kelahiran Ngawi, Jawa Timur itu menyebut fenomena tersebut dengan istilah “belum turun ke bumi” alias sastra Jawa Kuno bernapas Siwa-Buddha seolah belum mampu bertutur kepada generasi pewarisnya.

Sebagai pecinta sastra Jawa Kuno, Andre Sam paham betul bahwa karya sastra tidak akan pernah berhenti sebatas pada teks. Andre Sam juga menyadari sastra tulis memiliki sejumlah keistimewaan dibandingkan sastra lisan, di antaranya adalah kemampuannya direproduksi dalam berbagai bentuk. “Reproduksi sastra yang paling mudah diterima masyarakat awam itu lewat musik,” kata Andre.

Untuk menjangkau masyarakat awam yang lebih akrab pada musik modern, jenis musik new age dipilih Astakosala Volk untuk memoles bait demi bait dari Kakawin Jawa Kuno. Tujuan utama Astakosala Volk adalah menghadirkan kembali syair karya para leluhur Jawa –yang telah lenyap selama ratusan tahun– ke telinga anak cucunya di Tanah Jawa.

Meski baru seumur jagung, Astakosala Volk telah menetaskan enam lagu. Selain lagu Bhanawa Sekar, lima lagu lainnya berjudul Lubdhaka (karya Mpu Tanakung), Om Mani Padme Hum, Sarasvati Devi Puja, Serat Wedhatama (karya Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV), dan Sampurna Svaha (mantram suci Hindu dan Buddha). Dengan iringan keyboard, gitar, bas dan synthesizer, kesan kuno dari mantram-mantram leluhur Jawa Kuno itu lebur menjadi akrab di telinga dan rasa.

Sebagian dari enam lagu itu telah dipentaskan dalam dua acara yang sama-sama mengambil latar di Candi Cetho, Kabupaten Karanganyar. Acara pertama adalah International Art Camp pada Juli lalu, acara kedua adalah Mantram Sandyakala pada medio September 2016. (Baca Dan Kidung Spiritual pun Berkumandang Kembali di Candi Suci)

Adapun pada 29 Oktober 2016, Astakosala Volk akan berbagi panggung dengan sejumlah musisi dari berbagai belahan dunia di UWRF 2016, seperti Tenzin Choegyal, musisi dari Australia berdarah Tibet. Ia memiliki karir internasional yang sukses sebagai musisi, tampil di banyak acara termasuk festival WOMAD dan beberapa Concerts for Tibet di Carnegie Hall, New York. Jesse Paris Smith seorang komposer dan pemain musik, pegiat, dan produser acara. Bersama Rebecca Foon, ia meluncurkan Pathway to Paris, sebuah inisiatif penggalangan dana dan seri acara yang fokus dalam menaikan kesadaran akan perubahan iklim.

Jika Astakosala Volk diibaratkan otak, Andre Sam bisa disebut sebagai otak kiri yang memilah syair dari naskah-naskah kuno. Sedangkan otak kanannya adalah Rhema Anis Shandy dan Winarto Hadi Prayitno. Dua pecinta musik dari Kabupaten Sragen dan Klaten, Jawa Tengah, inilah yang mengaransemen syair-syair pilihan Andre Sam ke dalam rangkaian nada menjadi lagu yang indah oleh sang vokalis Desy Fadjar Priyayi. “Sepanjang Oktober ini kami menambah porsi latihan agar bisa tampil dengan prima di UWRF 2016,” kata Rhema, pengolah musik Astakosala Volk.

[youtube url=”https://www.youtube.com/watch?v=buPdfF54jA4″ width=”560″ height=”315″]

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *