• Friday, 25 August 2017
  • Victor A Liem
  • 0

‘Klawan Paduka sang Nata, Wangsul maring sunya ruri, Mung kula matur petungna, Ing benjang sakpungkur mami, Yen wus prapta kang wanci, Jangkep gangsal atus tahun, Wit ing dinten punika, Kula gantos kang agami, Gama Buda kula sebar tanah Jawa.’ (Sabdo Palon, dalam Serat Dharmagandul)

Terjemahan bebasnya:

“Berpisah dengan Sang Prabu kembali ke asal mula saya. Namun Sang Prabu kami mohon dicatat. Kelak setelah 500 tahun saya akan mengganti agama Buddha lagi, saya sebar ke seluruh tanah Jawa.”

Ada sebagian orang yang mempercayai secara literal dari Serat Dharmagandul bahwa agama Buddha akan bangkit kembali setelah 500 tahun lenyapnya kerajaan Majapahit.

Namun tulisan ini lebih memahami pesan dalam Serat Dharmagandul bukanlah literal. Serat tersebut penuh simbolik dan memahaminya membutuhkan kejelian tersendiri.

Agama Buddha yang dimaksud dalam Serat Dharmagandul adalah agama yang menekankan budi pekerti. Jadi hal itu bukan agama Buddha saja, bisa juga agama-agama lainnya. Apapun bentuk luarnya yang jelas agama sejati berurusan dengan bathinnya masing-masing. Intisari ini kadang disebut juga sebagai ilmu kebathinan.

Ada penggunaan kata “gangsal atus”. Namun sebelumnya kita bisa memahami kata “Sewu” terlebih dahulu.

Sewu (seribu) adalah kata dalam bahasa Jawa yang sering digunakan menjelaskan hal yang panjang, lama, sangat jauh atau sangat banyak. Misalkan: Lawang Sewu. Ini merujuk pada kantor perusahaan kereta api yang dibangun Belanda di Semarang. Disebut Lawang Sewu karena gedung perkantoran tersebut memiliki pintu yang banyak dan jika dihitung tidak berjumlah tepat seribu buah, bahkan tidak sampai seribu.

Lalu, mengapa dalam Serat Darmagandul menggunakan kata “gangsal atus”?

Jika kata “sewu” menunjukkan hal yang banyak dan tak terbatas atau jauh sekali. Maka “gangsal atus” adalah separuhnya. Artinya masih dalam rentang waktu yang kita alami dan bisa kita lalui alias sesuatu yang menjadi titik balik.

Pesan serat Dharmagandul adalah tentang evolusi kesadaran namun dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan keadaan sosial politik pada zaman itu. Perpindahan agama lama ke agama baru ibarat hanya ganti wujud luar. Agama ibarat pakaian (ageman), hal yang lebih penting adalah apa yang dilindungi dan diberi pakaian.

Serat Dharmagandul adalah tentang perubahan bentuk luar hingga akhirnya menyadari bahwa ada yang lebih penting dari hal itu.

Evolusi kesadaran

berawal dari pemahaman agama yang “kaku” dan formal menjadi agama yang lebih natural dan lebih banyak mengolah kesadaran dan budi pekerti.

Sosok Sabdo Palon juga memiliki maksud simbolis. Kata “Sabdo Palon Naya Genggong” memiliki arti seperti ini. Sabdo adalah kata atau sabda atau ajaran. Palon adalah kayu pengunci pintu kandang. Naya adalah pandangan. Dan Genggong adalah langgeng atau tak berubah. Jika kita rangkai kurang lebih adalah “perkataan yang menjadi kunci akan pandangan kehidupan yang langgeng”. Penelusuran kata ini menjelaskan tentang titik balik dari evolusi kesadaran manusia.

Dalam Serat juga diilustrasikan 500 tahun setelah lenyapnya kerajaan Majapahit ditandai dengan bencana alam seperti salah satunya meletus gunung Merapi. Dalam pewayangan ini disebut sebagai “goro-goro” yang sebenarnya adalah klimaks dari suatu kisah.

Goro-goro adalah keadaan kacau. Atau juga hancurnya tatanan sosial kemasyarakatan hingga muncul keteraturan baru yang tentu lebih baik dari sebelumnya. Itulah akhir dari cerita.

Penelusuran lain bahwa tatanan kacau tersebut berada pada wilayah jagad gede (macro cosmos). Jagad gede ini adalah cerminan dari jagad cilik (micro cosmos). Ketika hal-hal luar yang penuh konflik, penuh perilaku buruk, perilaku non toleran, atau hal-hal buruk lainnya, maka itu cukup menjadi refleksi melihat apa yang ada ke dalam bathin kita. Keadaan luar adalah perwujudan dari apa yang di dalam.

500 tahun

Lima ratus tahun adalah babak kehidupan kita sendiri. Ketika kita semakin berkembang dan tumbuh maka akan ada fase titik balik ketika kita tidak lagi mengejar yang di luar tapi justru memahami apa yang didalam. Inilah yang disimbolkan sebagai agama Buddha. Kata “Buddha” berasal dari kata “budh” yang berarti “tersadar” atau “tergugah” oleh karena mengetahui. Mengetahui inilah budi pekerti.

Setiap orang akan menjumpai fase hidup untuk mengolah budi pekerti seperti ini. Semua orang mengarah pada pendewasaan yang sama. Hanya ini yang menjadi kunci menuju ketenteraman dan kedamaian bathin (kelanggengan).

Melihat keadaan aktual yang terjadi di negara kita Indonesia, kita juga menjumpai pola yang sama.

Cara hidup keagamaan apa yang terbaik bagi bangsa ini?

Bangsa Indonesia memiliki potensi yang besar namun tersekat oleh perbedaan dan kepentingan kelompok. Maka, hanya saling pengertian yang bisa menyatukan perbedaan.

Akan semakin relevan dipahami bahwa agama masa depan adalah agama yang menekankan budi pekerti. Ini adalah pendekatan beragama yang tidak lagi berkutat pada hal-hal luar seperti ritualitas, pemahaman dogmatis yang sempit, perilaku yang ‘terkotak’ pada bingkai tradisinya, dan lain-lain sebagainya.

Ketika kita mengembangkan budi pekerti maka otomatis kita akan mengedepankan pikiran, ucapan dan perilaku yang baik. Kebaikan yang tidak lagi bisa dibatasi oleh sekat agama. Semuanya menjadi damai oleh karena masing-masing tahu tugas dan tanggungjawabnya dalam mendamaikan bathinnya.

Hal ini justru merupakan agama sejati. Nampaknya pendekatan ini relevan dan memberi kontribusi dalam hidup berbangsa dan bernegara.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Victor A Liem

Penulis adalah pecinta kearifan Nusantara dan penulis buku "Using No Way as Way"
Tinggal di kota kretek, Kudus, Jawa Tengah. Memilih menjadi orang biasa, dan menjalankan laku kehidupan sehari-hari dengan penuh suka cita.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *