• Friday, 24 August 2018
  • Billy Setiadi
  • 0

Sebagai seorang Buddhis, terutama di Indonesia, sering kita mendengar atau membaca agama Buddha soal kebahagiaan.

Ceramah-ceramah bhikkhu soal memaknai hidup dengan kebahagiaan selalu tersisipkan di tiap-tiap mimbar vihara. Buku-buku Buddhis yang beredar banyak di toko-toko buku juga menulis soal kebahagiaan.

Sebenarnya apa definisi kebahagiaan itu? Apakah bahagia itu cukup dirasakan oleh diri sendiri? Atau perlu juga dirasakan oleh lingkungan sekitar? Atau bahkan dirasakan pula oleh semua makhluk?

Umat Buddha sering berucap Sabbe Satta Bhavantu Sukhitata yang artinya semoga semua makhluk hidup berbahagia. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana mewujudkan kalimat itu? Apakah kalimat itu hanya sebuah ungkapan klise?

Rasa-rasanya Buddha dulu membabarkan Dharma sebagai jalan pembebasan bagi mereka yang menderita. Dengan menghapus sistem kasta, mengangkat derajat perempuan yang waktu itu sangat termarjinalkan, mengubah pola pikir para penguasa agar bertindak bijaksana, dan tak semena-mena. Tapi di ceramah atau di buku-buku Buddhis yang tersebar, sisi-sisi perjuangan kemanusiaan ini tak banyak dibuka. Hanya membahas soal kebahagiaan yang bersifat abstrak.

Kebahagiaan itu milik siapa? Apa milik mereka yang besok masih berpikir besok bisa beli beras atau tidak? Apa milik mereka yang bergelimang harta benda? Tentunya bahagia bisa menjadi milik semua orang, jika diberlakukan secara adil.

Secara umum pengertian keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Ada beberapa sudut pandang klasik mengenai keadilan, di antaranya berasal dari pandangan Asia kuno. Pada pandangan Asia kuno, Buddha sebagai orang filsuf menyumbangkan ide untuk konsep keadilan. Menurut Buddha keadilan berlaku untuk semua makhluk hidup, mengajarkan kesabaran dan tidak boleh menyakiti makhluk lain, dan sangat menjunjung tinggi kemanusiaan.

Artinya Buddha sebagai agama bumi harusnya bersifat membumi. Harus memikirkan semua yang berkaitan dengan bumi. Tak bicara soal langit, surga dan neraka yang bersifat denial, tapi hal-hal praktis untuk kemajuan peradaban di bumi. 2500 tahun banyak sumbangsih ajaran Buddha untuk kemajuan peradaban yang berkeadilan.

Pengertian Buddhadharma sebagai agama yang lebih condong praktik, dewasa ini mengalami penyempitan makna. Praktik hanya dihubungkan dengan meditasi, pujabhakti, dana untuk Sangha, dan ritual-ritual lainnya. Sehingga banyak pertanyaan bagaimana teologi Buddhis dalam menjawab tantangan zaman yang penuh intrik dan konflik. Teologi Buddhis yang kritis pun seakan tumpul di era Post Modernisme ini.

Teologi

Dalam buku Falsafah Kalam di Era Post Modernisme karya M. Amin Abdullah, mengatakan, “Teologi apa pun yang hanya berbicara tentang Tuhan (teosentris) dan tidak mengkaitkan kajiannya dengan persoalan kemanusiaan universal (antroposentris), maka teologinya lambat laun akan menjadi out of date.” Apakah teologi Buddhis juga sudah kadaluwarsa?

Teologi yang memiliki istilahnya sendiri tidak datang serta merta, namun biasanya hadir karena selain sebagai terobosan dalam beragama juga karena adanya kejadian riil, urgent dan menuntut penyelesaian. Seperti Teologi Buddhis yang hadir karena banyaknya ketidakadilan, ketimpangan, penindasan di zaman pra-India. Ajaran-ajaran Buddha saat itu sangat relevan sehingga banyak orang tertarik mempelajarinya.

Baca juga: Buddhadharma dan Semangat Anti Penindasan

Pandangan salah seorang tokoh bangsa Nurcholis Madjid mengatakan bahwa teologi datang untuk menetralisir orientasi hukum (agama) yang kelewat kaku dalam melihat dan memutuskan sesuatu tanpa memperhatikan latar belakang. Atau kalau dipahami menggunakan kalimat lain, beragama dengan cara kaku dapat melahirkan pandangan dan keputusan yang kaku pula.

Teologi yang dimaksud tidak harus selalu memperbincangkan persoalan ritual. Namun lebih pada bagaimana peran agama-agama melihat persoalan sosial, sebut saja misalnya kekerasan, konflik horizontal, ketimpangan gender, perampasan tanah dan ketidakadilan lainnya.

Dari sinilah tuntutan terhadap peran agama semakin kuat untuk dapat memberikan semacam pembuktian. Sesungguhnya apa yang disebut sebagai metta (cinta kasih) dan kebaikan harus dipraktikkan sehingga mampu memperlihatkan peranannya dalam menghadapi persoalan-persoalan sosial.

Karena sesungguhnya agama adalah diperuntukkan untuk manusia bukan untuk Tuhan. Layaknya agama Buddha yang menekankan pada kehidupan untuk kini, di sini dan di tengah-tengah masyarakat, bukan untuk lusa atau yang akan datang dan di atas langit.

Para murid Buddha diajarkan memiliki cinta kasih yang universal (tanpa melihat darimana berasal), welas asih, ikut merasa bahagia manakala orang lain memperoleh kebahagiaan atau sebaliknya merasakan kesedihan yang dialami orang lain manakala mengalami penderitaan, karena Buddha merasa datang di tengah-tengah umat manusia dengan maksud untuk melepaskan penderitaan.

Adapun refleksi yang dapat diambil contohnya dari sifat dana (kedermawanan) yang diartikan bahwa setiap orang hendaknya memperhatikan bagaimana nasib sesama yang sedang mengalami kesusahan dalam hidup (termasuk yang dimarjinalkan).

Billy Setiadi

Ketua HIKMAHBUDHI PC Malang 2016-2018

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *