• Tuesday, 3 October 2017
  • Victor A Liem
  • 0

“Nimitangku yan layat. Aninggal isang ahayu nguni ring tilam. Ndatan lali si langening sayana. Saka ring harepku lalita nggurit lango.” ~ Banawa Sekar oleh Mpu Tanakung.

 “Sebabnya aku meninggalkan si juwita di peraduan. Bukan karena lupa merasa keindahan peraduan. Namun karena hasrat yang tak tertahankan. Untuk melukiskan keindahan tanah air.”

Sabtu (23/9) di Salatiga, Jawa Tengah, Astakosala Volk, kelompok musik yang terdiri dari anak muda asal Solo menyanyikan Kakawin pendek Banawa Sekar. Banawa Sekar adalah salah satu kakawin yang dikarang oleh Mpu Tanakung.

Kakawin ini melukiskan upacara srāddha yang diadakan oleh Jīwanendrādhipa “Maharaja Jīwana”, khususnya persembahan-persembahan yang dihaturkan oleh berbagai raja: Srī Nātheng Kŗtabhūmi, Naranātha ring Mataram, Sang Nŗpati Pamotan, Srī Parameśwareng Lasĕm, dan Naranātha ring Kahuripan. Kakawin Banawa Sekar digunakan untuk penghormatan pada para raja pendahulu.

Srāddha secara umum adalah persembahan sebagai wujud penghormatan pada leluhur. Dalam konteks Banawa Sekar berarti terhadap leluhur bangsa. Banyak peneliti menduga kata Jawa “nyadran” berasal dari kata srāddha ini.

Mpu Tanakung sangat prihatin dengan keadaan Majapahit terutama pasca Hayam Wuruk dan Majapahit. Elite politik hanya peduli dengan kepentingan kelompoknya dan lupa dengan tugas yang sejatinya harus diemban.

Majapahit rontok

Kejatuhan Majapahit tidak hanya karena serangan dari luar, tapi ulah dari para bangsawannya yang hidup dalam kenyamanan kemewahan dan haus akan kekuasaan.

Menurut Achmad Rifai, melalui persembahan Banawa Sekar, Mpu Tanakung menyindir sebagaimana dituliskan bahwa ia lebih memilih memuja keindahan tanah airnya (sebagai wujud semangat nasionalisme dan rasa patriotisme) daripada memikirkan nikmatnya memadu asmara, dengan meninggalkan kekasihnya (sebagai simbol kepentingan pribadi). Sang Mpu memilih kesepian demi baktinya pada negeri, dan ini adalah bentuk kritik kepada jajaran elit penguasa Majapahit.

Bisa kita pahami juga bahwa tradisi srāddha dengan mengidungkan Banawa Sekar adalah bentuk ruwatan kebangsaan. Meruwat bukan tentang buang sial tapi kesadaran mawas diri untuk  kembali pada leluhur bangsa. Kembali pada nilai-nilai luhur yang pernah dilakukan oleh para pendahulu dalam membangun negeri.

Pada zaman sekarang, leluhur bangsa adalah para founding father bangsa Indonesia. Kekawatiran Mpu Tanakung seakan terulang. Kini kita lihat elite politik hanya peduli pada kepentingan kelompoknya. Mestinya mereka lebih memahami kepentingan bersama yang jauh lebih besar nilainya.

Mari kita merenung tentang nilai luhur kebangsaan sambil mendengar kidung yang dinyanyikan oleh Astakosala Volk berikut ini:

[youtube url=”https://www.youtube.com/watch?v=c-R4ptAeP6Y&t=310s” width=”560″ height=”315″]

 

 

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Victor A Liem

Penulis adalah pecinta kearifan Nusantara dan penulis buku "Using No Way as Way"
Tinggal di kota kretek, Kudus, Jawa Tengah. Memilih menjadi orang biasa, dan menjalankan laku kehidupan sehari-hari dengan penuh suka cita.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *