Berbicara soal Temanggung bukan hanya sebatas tembakau, kopi, Gunung Sindoro – Sumbing dan pemandangan alam yang indah lainya. Namun lebih dari itu, Temanggung tak lepas dari sejarah masa lalu. Lebih dari ratusan tahun yang lalu, areal ini telah menjadi salah satu pusat peradaban manusia.
Sebut saja situs Liyangan yang baru beberapa tahun ini ditemukan merupakan saksi sejarah peradaban masa lalu. Dalam prasasti Rukam disebutkan tentang sebuah desa yang hilang karena letusan gunung berapi. Candi Liyangan diperkirakan telah ada sejak 300 M, artinya situs yang diperkirakan lebih dari 15 hektar ini lebih tua dari Candi Borobudur.
Bukan hanya situs Liyangan, di Temanggung juga banyak situs candi ditemukan. Menurut Viriya Candra, aktivis pemerhati situs peninggalan sejarah mengatakan dirinya telah menemukan ratusan situs candi di seluruh Temanggung. Hampir semua situs yang ditemukan merupakan situs bercorak Siwa maupun Buddha. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya Lingga–Yoni dan banyak arca lain seperti Ganesa, Nandi dan stupa seperti di Candi Borobudur.
Lalu Mas Candra, kami biasa memanggilnya, mengajak kami beberapa pemuda buddhis Temanggung untuk menelusuri beberapa situs di Desa Limbungan, Kecamatan Ngadirejo yang letaknya tidak jauh dari Situs Liyangan. Benar saja, tidak jauh dari tempat tinggal Mas Candra kami telah menemukan situs di dekat sebuah makam Dusun Karanggedong, Desa Limbungan. Situs batu Lapek, begitu mas Candra menyebutnya.
Dalam situs ini terdapat 24 batu lapek yang ukurannya sama yaitu sekitar 90 cm. Menurut Candra, batu lapek adalah tempat menaruh arca, karena di atas batu tersebut terdapat pahatan berbentuk lubang tempat menaruh arca. “Kalau dilihat dari bentuknya, saya memperkirakan situs ini dulunya adalah sebuah bengkel pembuatan candi. Karena dari 24 batu tersebut masih ada yang belum jadi, belum semua terpahat,” tuturnya.
Tidak jauh dari situs batu lapek kami berjalan ke sebuah dusun yang masih dalam area desa Limbungan. Di situ kami menemukan reruntuhan batu-batu candi yang diletakkan di depan rumah warga “Batu-batu ini adalah bagian atas candi, yang bagian bawah masih belum digali. Yang menarik kalau dilihat dari bangunan candi masa lalu adalah sistem kuncian.”
Jadi para leluhur tidak menggunakan perekat, tidak menggunakan semen tapi menggunakan kuncian. Ini seperti komputer, di komputer itu kan kita tidak bisa memasang kabel sembarangan, ada sistem soket di situ. Sama dengan bangunan candi zaman dulu, antara batu yang satu dengan batu yang lain tidak bisa dipasang kalau tidak jodohnya.”
Menurut warga desa tersebut, reruntuhan candi tersebut ditemukan oleh seorang petani. Beliau juga bercerita bahwa di desa tersebut dulu banyak maesan (nisan) yang umurnya sangat tua. Di makam desa, dekat masjid yang letaknya kurang dari 200 meter dari reruntuhan candi tersebut kami juga menjumpai Lingga−Yoni yang sudah tidak terawat.
Selesai mengunjungi makam tersebut kami melanjutkan perjalanan kembali ke Utama Parakan–Temanggung. Di depan Masjid Wali Limbung juga terdapat reruntuhan candi, perjalanan kami lanjutkan ke arah Parakan. Di sebelah kanan jalan raya dekat dengan Desa Traji kami menemukan arca Ganesa. Menurut mas Candra, arca tersebut sudah beberapa kali hilang namun akhirnya ditemukan kembali dan di semen dipinggir jalan.
Perjalanan kembali kami lanjutkan ke Kecamatan Parakan, di sebuah makam desa juga terdapat situs candi yang sudah tidak terawat. Perjalanan kali ini kami akhiri di situs stapan. Sebuah situs candi Siwa Buddha di dekat lapangan bola. Situs stapan ini masih berada di hutan desa yang masih rimbun dengan pepohonan.
Upaya mengenali “Sangkan Paraning Dumadi”
Dalam perjalanan kali ini, meskipun hanya beberapa jam setidaknya kami telah mengunjungi 7 situs candi. Memprihatinkan memang, dari semua situs yang kami kunjungi kondisinya tidak terawat.
Karena itu, dengan bimbingan Mas Candra yang sudah lebih dari delapan tahun bergelut di bidang arkeologi dan situs candi mengajak pemuda buddhis untuk membuat sebuah ekspedisi situs bersejarah. Ide ini pun disambut baik oleh Tripal.co, sebuah aplikasi wisata yang ingin mengangkat potensi wisata lokal.
Ekspedisi situs bersejarah merupakan perjalanan menelusuri situs-situs candi peninggalan sejarah masa lalu dan memasang plang situs-situs yang dikunjungi. “Kita akan mengunjungi dan memasang plang pada situs yang kita kunjungi. Tentu kita akan berkoordinasi dengan warga dan pemerintah desa setempat. Saya rasa ini adalah upaya nyata dan sangat riil kalau bisa dilakukan oleh pemuda buddhis,” ucap Candra.
Ekspedisi yang akan dimulai pada bulan Kartika/Oktober nanti juga akan mengajak masyarakat luas dengan mendaftar paket perjalanan melalui aplikasi Tripal.co.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara