Di istana Majapahit ada seorang penyair kondang yang bernama Surya Bhumi. Ia mengamati bagaimana Raja Brawijaya V dari hari ke hari kehilangan kekuasaannya dan memasrahkan urusan kerajaan yang paling utama kepada permaisurinya, yaitu Putri Campa, seorang putri Tiongkok yang sangat berpengaruh dan beragama Islam.
Seperti tercatat dalam ensiklopedia Tanah Jawa, Serat Centhini, cengkeraman orang Tiongkok ini sedemikian kuasanya sehingga sang raja sendiri pada gilirannya hendak diajak masuk ke agama Islam, walaupun agama sah negara saat itu adalah Siwa-Buddha.
Sang penyair mengutuk raja tiga kali, melepaskan gelar kebangsawanannya, membakar syair-syair kepujanggaannya, mengganti namanya dengan Ki Ageng Kutu, dan meninggalkan istana menuju daerah Wengker (Ponorogo sekarang).
Ia mendirikan perguruan yang mengajarkan ilmu kanuragan, kekebalan dan kewaskitaan, tetapi tujuan utamanya adalah membendung arus penyebaran Islam di Tanah Jawa. Ia menamai perguruannya tersebut dengan nama Pono Rogo, “kecerdasan wujud” atau “luar tubuh”.
Murid-muridnya harus tunduk pada tapa brata yang sangat keras. Mereka dilarang melakukan hubungan badan dengan perempuan dan dengan ancaman akan kehilangan, saat bersetubuh itu juga, semua aji jaya kewijayaannya. Sebagai gantinya, mereka masing-masing mengambil satu bocah laki-laki yang mereka sebut ‘gemblak’. Adapun yang paling pandai di antara mereka, akan mendapat sebutan ‘warok’ dari gurunya.
Ki Ageng Kutu menciptakan sebuah tari reog serta ungkapan sindiran diiringi awut-awutan kata yang ia jadikan sarana sangat kuat untuk melawan Majapahit. Sang warok mengenakan topeng kepala macan dengan di atasnya melenggang seekor merak. Macan menggambarkan Raja Brawijaya V yang tiap geraknya dan pikirnya sejak itu dikendalikan oleh permaisuri Tiongkoknya, si merak.
Di pundak warok, seorang gemblak muda menunggang kuda jerami menirukan polah-tingkah pasukan Majapahit ditinggalkan kepalanya. Adapun Ki Ageng Kutu, ia memerkan muka merah badut penyairnya dan menari di sekeliling macan dengan gerakan kekanak-kanakan dan berjumpalitan dengan maksud mengejek penguasa kerajaan.
Para warok menari reog dari desa ke desa. Topeng macan dirasuki kesombongan merak menjadi demikian tenar sehingga Raja Brawijaya memerintahkan agar Ki Ageng Kutu beserta murid-muridnya dibunuh.
Para warok yang terhindar dari pembantaian bersembunyi di tengah hutan. Sang penyair pemberontak, dalam suatu pertunjukan terakhir kesaktiannya, moksa, lenyap raga dan sukmanya.
Sumber: Centhini, Kekasih yang Tersembunyi. Penyusun Elizabeth D. Inandiak
*Tambahan: Putri Tiongkok yang dimaksud adalah Putri Cina sebagaimana tertera dalam sumber buku, suku bangsa Chinese, dari Champa, agar lebih mudah penyebutannya sebut saja putri Champa. Kata Tiongkok dalam tulisan di atas mengacu ke Champa.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara