• Monday, 6 March 2017
  • Hendrick Tanu
  • 0

Isu tentang Nusantara akhir-akhir ini menjadi sorotan publik, termasuk Buddhisme Nusantara. Meskipun demikian, kajian tentang Buddhisme Nusantara selama ini selalu dikait-kaitkan atau terlalu berfokus dengan Buddhisme Mahayana dan Vajrayana yang berkembang di Tibet (藏傳佛教). Oleh karena itu, akan sangat menarik bagi kita untuk mulai melihat Buddhisme Nusantara secara lebih luas dan menyeluruh. Di luar Suvarṇadvīpa Dharmakīrti dan Atiśa Dīpaṃkārasrījñāna, masih ada puluhan guru Buddhis lain yang berpengaruh besar pada Nusantara.

Untuk itulah artikel ini ditulis. Siapa tahu kita akan terkejut bahwa sebenarnya malah Buddhisme Mahayana dan Vajrayana Tionghoa (漢傳佛教/Hanchuan Fojiao) yang memiliki ikatan dan andil yang sangat penting dan cukup banyak dalam pembentukan dan perkembangan Buddhisme Nusantara di masa lalu.

Yogi Bodhidharmatrāta dan Misionaris Buddhis Kancipuram di Tanah Jawa
Beberapa peneliti menyimpukan bahwa pendiri Chan di Tiongkok yaitu Bodhidharmatrāta (達摩祖師/Hokkian: Tatmo Cosu) pernah mengunjungi Nusantara. Ia dikatakan berdarah Persia namun berasal dari India Selatan, tepatnya Kancipuram (香至). Profesor Universitas Tokyo Tsutomu Kambe menceritakan bahwa, “Kapal Bodhidharmatrāta meninggalkan Mamallapuram, pelabuhan utama terdekat dengan Kancipuram dan dari sana menuju Srilanka. Membutuhkan beberapa bulan untuk sampai ke pelabuhan di kepulauan Sumatera dan Jawa.”

Pelayaran Bodhidharmatrāta merupakan rute perjalanan maritim dari India ke Tiongkok yang ada pada waktu itu. Rute dari Kancipuram melewati Srilanka, Palembang, Jawa, Bali dan Malaysia, baru setelah itu sampai di Tiongkok.

Oleh karena perjalanannya melewati Asia Tenggara, beberapa legenda Malaysia mengatakan Bodhidharmatrāta mengajarkan beladiri Kuntao Malaka dan Silat Tua pada penduduk di sana. Di Indonesia tepatnya Bali, juga terdapat legenda Bodhidharmatrāta yang dikenal dengan nama Ki Byanlu Syamar atau Ki Budhi Darma, Bhiksu Dharmo yang mengajarkan beladiri. Berdasarkan legenda ini, Bodhidharmatrāta diterima sebagai sesepuh perguruan beladiri Seruling Dewata Bali hingga saat ini. Bisa kita lihat bahwa legenda-legenda masyarakat turut mendukung hipotesa kedatangan Bodhidharmatrāta di Nusantara.

Membahas pelayaran Bodhidharmatrāta ke Jawa berarti juga membahas tempat asalnya yaitu Kancipuram. Ibukota Dinasti Palawa ini dikenal sebagai tempat lahirnya guru-guru besar Buddhis. Yang pertama adalah Bodhidharmatrāta, lalu ada pula Dharmapāla, Dignaga, dan Vajrabodhi. Pengaruh yang sangat besar diberikan oleh Dinasti Palawa pada peradaban Hindu-Buddha di Indonesia khususnya Jawa.

Tercatat bahwa Bhiksu Dharmapāla (護法), filsuf Yogācāra kepala biara Nālānda dan kakek guru dari Tang Xuanzang, pernah berkunjung ke Sriwijaya untuk mempraktikkan Dharma di penghujung hidupnya. Apa yang diajarkan oleh Dharmapāla ditransmisikan pada Silabhadra yang kemudian mengajarkannya pada Tang Xuanzang (唐玄奘三藏/Hokkian: Tong Sam Cong).

Dalam catatannya, Xuanzang menulis bahwa Kancipuram adalah salah satu tempat yang dikunjungi sekali oleh Buddha dan gunung Potalaka tempat Avalokiteśvara berdiam terletak dekat dengan pelabuhan Mamallapuram (Mahabalipuram).

Pujangga Empu Prapañca juga mencatat dalam kitab Nāgarakṛtâgama (爪哇史頌) bahwa para bhiksu Kancipuram tinggal di enam vihara di Jawa, salah satunya ada yang bernama Buddhaditya. Bahkan dalam Sanghyang Kamahāyānikan (卡玛哈亚尼颂), penulisnya merujuk sumber ajaran sampai pada Dignāga (陈那/Sri Dignagapada) yang juga berasal dari Kancipuram. Ini menunjukkan bahwa terjadi hubungan yang cukup intens antara Kanci dan Jawa ketika membahas transmisi ajaran Buddha Dharma.

Patriark Huineng dan Guru Buddhis di Jawa
Alkisah seorang Arahat bernama Gunavarman (求那跋摩, 367-431 M) berperan besar dalam mengenalkan tanah Jawa kepada Dharma. Ia adalah bhiksu Mahayana yang menyebarkan Dharma di kepulauan ini sebelum menuju ke Tiongkok. Raja Jawa (闍婆/She-po) dan ibunya amat berdevosi pada Gunavarman. Mereka berdua mendapat ajaran Pancasila darinya. Tak lama karena ketenaran Gunavarman, ia diundang oleh murid-murid Buddhabhadrā, yaitu bhiksu penerjemah murid Bodhidharmatrāta.

Sesampai di Nanjing, Tiongkok, Gunavarman membuat prediksi ketika mendirikan altar pentahbisan (upasampāda mandalā) di Guangzhou: “Di masa depan akan ada seorang Arahat yang akan berada di altar ini dan seorang Bodhisattva akan meminta penahbisan.”

Dan benarlah di sana Bodhisattva Huineng (大鉴惠 能) ditahbiskan penuh menjadi anggota Sangha oleh Vinayacarya Arahat Yinzong, Vinayacarya Huijing. Vinayacara Tongying, Vinayacarya Jitara dan Tripitakadhara Mida. Gunavarman juga meramalkan arti nama Huineng, sang Patriark Chan ke-6 (六祖) yang telah membentuk wajah unik yang menyeluruh bagi Buddhisme Tionghoa. Bagi Tiongkok, kejeniusan Patriark Huineng setara dengan Laozi ataupun Kongzi (Hokkian: Khonghucu).

Sangha Chan Vietnam di Jawa dan Sumatra
Tercatat ada banyak bhiksu Tionghoa yang pernah berkunjung ke Indonesia. Kebanyakan dari kita hanya mengenali dua yang paling populer yaitu Faxian dan Yijing. Dikisahkan Bhiksu Yijing (義淨) yang merupakan murid dari guru Chan Huisi, guru India Śubhakarasiṃha dan guru Sukhavati Shanyu, turut memohon ajaran Dharma pada Bhiksu Sakyakirti di Sriwijaya.

Yijing mencatat bahwa selain dirinya, ada banyak guru Chan (Dhyāna) berangkat dari Jiaozhou (Vietnam) menuju Sriwijaya. Mereka semua rata-rata menjadikan Jawa tempat persinggahan sebelum pergi ke India:

  1. Bhiksu Van Ky, murid dari Chan Master Tanrun, bersama gurunya ia datang ke Jawa dan mendapat upasampada dari Bhiksu Jnanabhadra (Zhixian) di Jawa. Ia membantu Bhiksu Huining di Jawa menterjemahkan naskah penjelsan Nirvana Sūtra.
  2. Bhiksu Chan Khuy Xung, murid dari Chan Master Mingyuan, pernah menetap di Jawa
  3. Bhiksu Changmin yang terkenal akan pelatihan Chan-nya, berlatih di Sumatera (Malayu)
  4. Guru Chan Wuxing mampir di Sriwijaya, Sumatera dan ditemui oleh Yijing sendiri ketika berada di Grdhakuta, India.

Tidak diketahui aliran Chan apa mereka karena pada masa itu banyak aliran Dhyana –namun yang pasti baik silsilah Chan Bodhidharmatrāta, Tiantai Zhiyi, tradisi Buddhabhadrā, tradisi Kumārajīva dan sebagainya– semua merujuk ke silsilah meditasi bertahap dan seketika dari Kasmiri Sarvāstivāda. Master Shengyen dari Dharma Drum Mountain juga memasukkan para guru Dhyana aliran-aliran lain ini di Tiongkok dalam kategori para Guru Chan.

Demikian sebaliknya perjalanan para guru India juga sampai ke pelabuhan Jiazhou (Vietnam). Guru Dhyana Buddhabhadrā pertama kali menapakkan kakinya di Vietnam dengan melewati jalur laut Asia Tenggara. Di sana Buddhabhadrā dikenal sebagai penerjemah pertama Avataṃsaka Sūtra (大方廣佛華嚴經), yang nantinya akan berkontribusi besar pada sejarah Buddhisme Chan. Salah satu kitab yang disebut-sebut menjadi pilar utama pendirian Borobudur adalah Avataṃsaka Sūtra.

Yijing, Faxian, dan Buddhisme Chan
“Ketika seorang agamawan bernama Yijing dari Tiongkok yang mengembangkan ajaran-ajaran agama Buddha di Kerajaan Sriwijaya, maka pengembangan ajaran agama di Indonesia sendiri lalu mengambil bentuk pluralistik. Jadi, sikap hidup saya yang membela dan mempertahankan pluralitas, layaknya tradisi kaum agama Buddha, seperti yang dikembangkan oleh Yijing tersebut. Para rohaniwan agama Buddha juga berkontribusi mengembangkan negara Indonesia sebagai negara multi etnis. Faxian berwawasan sangat luas dan semangatnya diteruskan generasi berikutnya di Indonesia. Dari zaman dulu hingga sekarang, ada tiga konsep yang diteruskan tanpa perubahan yaitu penghormatan kepada guru, bekerja demi kepentingan umum, dan membangun hubungan baik dengan masyarakat.”
-Kyai Haji Abdurrahman Wahid, Dialog Peradaban untuk Toleransi dan Peradaban

Siapa Bhiksu Yijing dan Faxian itu bahkan sampai alm. Gus Dur begitu mengaguminya? Barangkali kita bertemu nama mereka di buku-buku pelajaran sekolah. Lantas apa hubungan mereka ini dengan Chan?

Ketika genap berusia 7 tahun, Yijing menetap di Vihara Shentong menjadi murid Master Shanyu dan Master Huizhi. Yijing dididik langsung oleh Shanyu, yang menekankan pada pendidikan literatur Buddhis. Setelah Shanyu wafat, sejak itu Yijing dididik oleh Huizhi yang menitikberatkan pada meditasi, sila dan pelantunan sutra. Oleh karena jasa-jasa mereka itu, Yijing begitu berbakti pada guru-gurunya, menganggap Shanyu dan Huizhi bagaikan ayah dan ibunya.

Master Huizhi dikenal sebagai guru Chan dan Shanyu dikenal sebagai praktisi Sukhavati seperti yang dijabarkan oleh guru Chan Zhuhong lewat karyanya Changuan Cejin (禪關策進).

Tahun 704, Yijing diundang ke Vihara Chan Shaolin untuk mendirikan altar pentahbisan (upasampāda mandalā) dan melakukan prosesi Vinaya sesuai aturan yang ditetapkan oleh Buddha Sakyamuni. Jasanya ini dilestarikan oleh para guru Caodong Chan di sana.

Demikian juga Bhiksu Faxian yang pernah ke Nusantara itu juga terkenal akan kinerja penerjemahan sutranya bersama Buddhabhadrā yang disebutkan di atas. Buddhabhadrā dikenal sebagai murid dari Patriark Chan Bodhidharmatrāta dan Buddhasena (yang keduanya adalah saudara Dharma sesama murid Prajñātārā).

Laksamana Cheng Hoo: Murid Chan di Tanah Jawa
Semangat toleransi dan pluralitas Yixing/Faxian juga dapat dilihat kembali ketika Nusantara menyambut kedatangan seorang laksamana Muslim dari Tiongkok bernama Zheng He (鄭和/Hokkian: Cheng Hoo) pada masa akhir Majapahit. Tokoh Tionghoa peletak dasar Islam di Nusantara ini, yang tanpanya mungkin tidak ada para Wali Songo, ternyata punya guru seorang bhiksu Chan. Sifat inklusif Chan ternyata juga merangkul hati seorang Haji Muslim tanpa mengubah agamanya menjadi Buddhis.

Guru Zheng He bernama Bhiksu Daoyan (導演), ia pertama-tama belajar Chan, lalu juga mempelajari silsilah Sukhavati. Sang Guru Chan pernah berdiam di Vihara Tanzhe, dan akhirnya disemayamkan di Vihara Tianning. Saat menjadi umat awam dengan nama Yao Guangxiao, ia dianggap sebagai penasehat terpercaya Kaisar Yongle.

Zheng He memohon Trisarana pada gurunya ini, lengkap dengan nama Buddhis “Fushan” dan bodhisattva sila. Maka tak heran jika Zheng He berkontribusi dalam pembangunan banyak vihara di Tiongkok, Srilanka dan Asia Tenggara ketika berkunjung ke negara-negara Buddhis.

Gelar sang laksamana yaitu “Sanbao Daren” (Hokkian: Sam Poo Tay Djien) juga sarat dengan pengaruh agama Buddha. “Sanbao” (三宝) berarti Tiga Permata (Triratna) Buddha, Dharma, Sangha. Walaupun gelar Zheng He menggunakan kata-kata Sanbao (三保), namun di catatan sejarah Dinasti Ming yang lainnya digunakan Sanbao (三宝) untuk “Sanbao Daren”.

Berangkat dari tempat yang sama dengan lokasi Bodhidharmatrāta dan Gunavarman sampai ke Tiongkok (Nanjing), tanah Jawa menyaksikan datangnya satu murid Chan amat berbakat yang berperan besar terhadap babak spiritual baru bernama Islam Nusantara. Semangat Zheng He sangat selaras dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika.

Membawa Kembali Kearifan Silsilah Nusantara
Sejak keruntuhan Majapahit, Buddhisme tetap dipertahankan di Nusantara lewat para bhiksu Mahayana Tiongkok/Chan di vihara-vihara Buddhis gaya Tionghoa di tanah Jawa seperti Jinde Yuan (金德院) di Jakarta, Dajue Si (大覺寺) di Semarang, Zhenguo Si (镇国寺) di Solo, atau Chaojue Si (潮覺寺) di Cirebon. Berbagai bhiksu Chan berdatangan dan yang paling berkembang di Indonesia adalah silsilah Chan Vihara Guanghua. Upadhyaya Tizheng (體正老和尚) mewarisinya dari sang guru Bhiksu Benqing (本清老和尚) dan lantas diteruskan pada murid-muridnya.

Namun secara utuh, sistem Chan atau Dhyana yang utuh baru bisa dikatakan kembali ke Nusantara akhir-akhir ini ketika para guru silsilah Plum Village dan Dharma Drum mengajar di tanah air –segalanya menjadi lengkap.

Pertama, pada tahun 2010, Thich Nhat Hanh (釋一行禪師), guru Zen Vietnam yang sangat berpengaruh di dunia akhirnya datang ke Indonesia dan menginjakkan kaki di Candi Borobudur. Sebuah sejarah telah terjadi bahwa setelah lebih dari 1000 tahun sejak zaman Bhiksu Van Ky, bhiksu Zen Vietnam kembali mengunjungi Indonesia.

Gerakan Hidup Berkesadaran Thich Nhat Hanh ini sekarang banyak diterima di wihara-wihara Indonesia, lalu juga warga pedesaan Buddhis. Anak muda yang berkomitmen dalam gerakan ini tergabung dalam WakeUp Indonesia.

Kedua, silsilah Dharma Drum di Indonesia secara resmi pertama kali dibawa ke Indonesia 10 tahun lalu oleh Master Zhengyan Guojun (正彥果峻) di sebuah rumah bergaya Tionghoa peranakan di Parakan, Jawa Tengah. Master Guojun mewarisi Linji [Rinzai] dan Caodong [Soto] Chan [Shaolin] dari Master Shengyen 圣严法师 –pendiri Dharma Drum. Ia juga mewarisi Avataṃsaka dan Yogācāra dari Master Qingyin 欽因法师 dan ajaran Chan dari Master Xingyun (星云长老, Foguang Shan).

Menarik untuk kita ketahui bersama bahwa silsilah Yogācāra (慈恩) dari Master Guojun dapat ditarik kembali sampai ke Tang Xuanzang (慈恩大師), yang kakek gurunya (Dharmapāla) menghabiskan sisa akhir hidup di Jawa.

Kakek guru Master Guojun yaitu Master Dongchu (釋東初, guru Master Shengyen) dari silsilah Caodong [Soto] juga tercatat pernah datang ke Indonesia pada tanggal 4 November 1970. Selama di Indonesia, ia mengadakan empat kali sesi ceramah. Setelah itu ia pernah bertemu dengan ketua PERBUDHI (Perhimpunan Buddhis Indonesia) Letkol Soemantri M.S., asisten dari WKSAD Jenderal Gatot Soebroto, dan dan Brigjen. Suraji A.A.

Komunitas Chan Indonesia melestarikan silsilah Dharma Drum di Nusantara dengan pusat retret di Shengyen Chanyuan (聖嚴禪苑), Chan Forest, Megamendung, Puncak, Jawa Barat. Tempat retret ini dibangun dengan interior gaya gabungan Chan, Avataṃsaka, dan Shingon. Sampai saat ini Chan Indonesia telah menyebar di seluruh bagian pulau Yavādvipā: Jakarta/Tangerang (Barat), Semarang/Jogjakarta (Tengah), dan Surabaya (Timur).

“Zen (Chan) bukan agama, bukan teologi, bukan filsafat, namun kesadaran mengenai kehidupan yang lebih penuh, lebih mendalam, lebih intens, lebih berkadar, lebih manusiawi penuh dan sejati.”
-Romo Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas

 

*) Hendrick Tanuwidjaja adalah seorang murid yogā anggota Chan Indonesia, arsitek, redaktur majalah Sinar Dharma sekaligus co-Founder dari Mindful Project

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *