• Tuesday, 28 February 2017
  • Praviravara
  • 0

Universitas monastik Nalanda adalah pusat pendidikan Buddhis terbesar di India pada zamannya. Lebih dari 30.000 biksu-biksuni, termasuk 2.000 guru, tinggal di dalamnya, belajar dan berpraktik di sana. Pada masa kejayaannya tersebut, Nalanda tidak tertandingi.

Nalanda berdiri sejak Dinasti Gupta pada akhir abad ke-5 dan awal abad ke-6 Masehi, dengan didukung oleh Raja Gupta yang bernama Shakraditra. Institusi ini bertahan selama 600 tahun sampai kepada Dinasti Pala dan akhirnya hancur di tahun 1203 oleh invasi Muslim dari Turki. Pada tahun 1204, kepala biara Nalanda yang terakhir, Shakyashribhadra, melarikan diri ke Tibet.

Nalanda sangat terkenal ke segala penjuru dunia sebagai pusat pendidikan tingkat tinggi. Murid-murid dari Persia, Yunani, Tiongkok dan Tibet, berbondong-bondong datang ke Nalanda untuk belajar. Meskipun Buddhadharma merupakan pokok pelajaran utama, namun di Nalanda juga dipelajari berbagai mata pelajaran lain, seperti: astronomi, obat-obatan (Ayurveda), tata bahasa, metafisika, logika, filsafat bahasa, filsafat klasik Hindu, dan bahkan termasuk filsafat-filsafat non-India sekalipun dipelajari di sana.

Banyak murid dari Tiongkok yang datang belajar ke Nalanda, kemudian menulis secara detil di dalam catatan perjalanannya, tentang kondisi-kondisi fisik bangunan di Nalanda, termasuk aktivitas-aktivitas kesehariannya di sana. Di dalam catatan-catatan perjalanan, sebagai contoh, digambarkan bahwa di Nalanda terdapat tiga gedung bertingkat sembilan yang dijadikan perpustakaan dan berisikan jutaan judul teks yang bervariasi.

Di dalam kompleks Nalanda, daerah tempat tinggal pun dibuatkan berdasarkan sektor-sektor sesuai dengan daerah asal para biksu-biksuni tersebut. Bahkan terdapat catatan bahwa di masa-masa akhir Nalanda, terdapat sebuah kompleks tempat tinggal khusus untuk orang Tibet yang sangat padat sekali populasinya. Lebih jauh lagi, bahkan pada suatu masa tertentu terdapat seorang penjaga gerbang Nalanda yang berasal dari orang Tibet. Secara tradisi, penjaga gerbang Nalanda adalah dipilih dari cendekiawan-cendekiawan termahir di Nalanda. Tugas penting sang penjaga gerbang ini adalah untuk berjaga di depan gerbang masuk Nalanda dan mengalahkan secara debat, orang-orang non Buddhis yang hendak menantang atau mengganggu sistem pendidikan Buddhadharma di Nalanda. Jika orang-orang tersebut akhirnya kalah dalam berdebat, maka mereka tidak diperbolehkan untuk masuk lebih jauh ke dalam Nalanda.

Secara tradisi, dikenal adanya Tujuh Belas Pandit/Cendekiawan Nalanda, yang dikenal juga sebagai tokoh-tokoh Buddhadharma paling penting dari sejarah India. Dari ketujuh belas cendekiawan ini, enam di antaranya dikenal sebagai Sang Enam Ornamen dan dua di antaranya juga dikenal sebagai Sang Dua Yang Terunggul.

Sang Enam Ornamen, terdiri dari: Nagarjuna, Aryadeva, Asanga, Vasubandhu, Dignaga, dan Dharmakirti.

Sang Dua Yang Terunggul, terdiri dari: Gunaprabha dan Shakyaprabha.

Kesembilan Pandit Nalanda yang lain adalah: Buddhapalita, Bhavaviveka, Chandrakirti, Shantarakshita, Kamalashila, Haribhadra, Vimuktisena, Shantideva, dan Atisha.

Ketika berbicara tentang catatan-catatan perjalanan para biksu Tiongkok yang pergi ke Nalanda untuk belajar, maka kita akan membicarakan di antaranya adalah Fa Xian, Xuan Zang dan Yi Jing, sebagai yang paling banyak dikenal. Fa Xian adalah orang pertama yang melakukan perjalanan ziarah ke India, tanah suci umat Buddha. Kepergiannya yang berlangsung sekitar 16 tahun (399-414 Masehi), tercatat dengan rinci dalam tulisannya, Foguo Ji. Lama kemudian, di masa Dinasti Tang, masa keemasan literatur Buddhadharma di Tiongkok, ada peziarah termasyhur di masa itu, Xuan Zang yang sangat kita kenal melalui tulisannya, Xiyu Ji, Catatan Mengenai Kerajaan di Barat (Record of the Western Kingdom). Ia tinggal di India sekitar 17 tahun (629-645 Masehi), dan apa pun yang ia saksikan sepenuhnya ditulis dalam catatan tersebut, yang merupakan suatu teks yang sangat penting mengenai sejarah dan geografi India di masa itu.

Tak lama setelah wafatnya Xuan Zang, ada seorang lagi peziarah Buddhis yang tak kalah pamornya, bernama Yi Jing, yang bertolak ke India tahun 671 Masehi, dan tiba di Tamralipti, di Muara Hooghly, tahun 673 Masehi. Ia belajar di Nalanda, untuk jangka waktu yang cukup lama.

Di dalam catatan perjalanan Yi Jing ini, yang sangat menarik adalah adanya penyebutan Shili Foshi dan Moluoyou yang diidentikkan dengan Sriwijaya dan Melayu di Pulau Sumatra. Yi Jing sempat singgah persisnya sebanyak tiga kali di Shili Foshi (dan menghabiskan waktu selama total 10 tahun di sana). Dalam perjalanannya, sebelum tiba di India, kapal Yi Jing sempat mendarat di Shili Foshi dan ia menetap selama enam bulan untuk mempelajari tata bahasa Sansekerta. Kemudian ketika pulang dari India, kapal Yi Jing sekali lagi juga mendarat di Shili Foshi dan di sini Yi Jing menetap untuk menerjemahkan teks yang ia bawa dari India. Namun, Yi Jing kemudian sempat pulang sebentar ke China untuk meminta stok kertas dan tinta sekaligus meminta dana untuk melanjutkan pekerjaannya. Setelah itu ia kembali lagi ke Shili Foshi dan menetap selama tiga tahun untuk melanjutkan pembelajarannya dan menyelesaikan pekerjaan penerjemahan teks-teks Buddhis, baik yang berbahasa Sanskerta maupun Pali. Dari Shili Foshi, tahun 692 Masehi, Yi Jing mengirim pulang catatannya yang diterjemahkan ke Tiongkok.

Karenanya, buku ini disebut Nanhai Ji Gui Neifa Zhuan artinya Kiriman Catatan Praktik Buddhadharma dari Lautan Selatan, di mana pulau-pulau yang terletak di Semenanjung Melayu lalu dikenal sebagai pulau-pulau Lautan Selatan.

Beberapa fakta menarik yang bisa kita pelajari dari catatan Yi Jing adalah antara lain:

  1. Raja-raja dan penguasa Shili Foshi sangat mengagumi dan meyakini (ajaran Buddha), dan hati mereka bertekad melakukan tindakan-tindakan bajik;
  2. Di Shili Foshi, terdapat biksu Buddhis berjumlah ribuan, di mana hati mereka bertekad untuk belajar dan menjalankan tindakan bajik. Mereka menganalisa dan mempelajari semua mata pelajaran persis seperti yang ada di India (Nalanda); tata cara dan upacaranya sama sekali tak berbeda. Bahkan Yi Jing menyarankan bahwa jika seorang biksu dari Tiongkok ingin pergi ke India untuk mendapatkan (ajaran) dan melafalkan (kitab asli), lebih baik orang tersebut tinggal terlebih dahulu di Shili Foshi selama satu atau dua tahun dan mempraktikkan tata cara yang benar, kemudian baru berlanjut ke India Tengah;
  3. Terdapat sejumlah pengikut Mahayana di Shili Foshi;
  4. Hampir semua pengikut Buddha di Sumatera, Jawa dan pulau-pulau sekitarnya adalah mengikuti silsilah vinaya Arya-Mulasarvastivada-Nikaya, meskipun terdapat juga sebagian kecil yang tidak.
  5. Emas melimpah pada saat itu, sehingga Yi Jing pernah menyebut Shili Foshi dengan kata ‘Pulau Emas’. Masyarakat biasanya mempersembahkan bunga teratai dari emas kepada Buddha dan mereka menggunakan kendi-kendi dari emas serta memiliki patung-patung dari emas;
  6. Masyarakat Shili Foshi menggunakan sarung.

Secara umum, berdasarkan petunjuk-petunjuk geografis dan astronomis yang ditinggalkan oleh Yi Jing, Shili Foshi dianggap adalah Palembang, meskipun keseluruhan kawasan Shili Foshi pada saat itu adalah jauh lebih luas daripada Palembang saat ini dan ada banyak daerah di bawah kekuasaannya.

Jika hendak berbicara tentang Sriwijaya, sebenarnya ada lagi sebuah catatan sejarah yang tidak kalah penting dan melibatkan seorang guru besar India, yaitu Atisha yang juga merupakan salah satu dari Tujuh Belas Pandit Nalanda. Atisha adalah seorang biksu asal India yang kemudian bertemu dengan guru akarnya, seorang biksu kelahiran Sriwijaya, bernama Guru Suwarnadwipa Dharmakirti dan belajar selama dua belas tahun di Sriwijaya sebelum akhirnya diundang ke Tibet untuk melakukan sebuah gelombang reformasi Buddhisme di Tibet, berdasarkan buah-buah pemikiran yang ia pelajari dari gurunya di Sriwijaya.

Berdasarkan fakta-fakta sejarah ini, maka ada satu kesimpulan yang dapat kita tarik, yaitu bahwa kedudukan Melayu dan Nalanda sebagai dua tempat pendidikan di Asia seyogyanya menyadarkan kita betapa besar peradaban Indonesia pada masa lalu dan mempunyai kedudukan yang sejajar dengan pusat-pusat peradaban di negara lain pada masa itu.

Selain itu, satu hal yang juga perlu disadari adalah bahwa ajaran Buddhadharma berhasil bertahan selama 2.500 tahun lebih sampai dengan sekarang adalah sangat mengandalkan jasa dari sistem monastik di Nalanda, India yang telah berhasil menjaga silsilah ini selama lebih kurang 600 tahun. Dan juga jasa dari sistem monastik di Kerajaan Sriwijaya, Indonesia yang juga sempat bertahan selama lebih kurang 600 tahun, yang kemudian dilanjutkan oleh Kerajaan Majapahit selama lebih kurang 300 tahun. Dan saat ini, di abad ke-21 ini, tanggung jawab adalah berada di pundak kita sebagai penerus Buddhadharma untuk bisa menjaga garis silsilah yang sangat berharga ini, sampai ke sebuah masa yang tidak bisa kita bayangkan lagi.

Sumber:
– The Seventeen Pandits of Nalanda Monastery, oleh James Blumental, Ph.D.
– Kiriman Catatan Praktik Buddhadharma dari Lautan Selatan, oleh Yi Jing
– Kumpulan Ajaran-ajaran dari Para Guru yang Berharga

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *