• Saturday, 8 October 2016
  • Ngasiran
  • 0

Penyebab pasti musnahnya Siwa-Buddha di Jawa setelah keruntuhan Majapahit pada abad ke-14 masih menjadi misteri. Banyak orang beranggapan penyebabnya adalah perubahan sosial politik akibat keruntuhan Majapahit yang kemudian beralih menjadi kerajaan Islam. Elizabeth D. Inandiak punya penafsiran tersendiri. Penafsiran penyair, penulis dan peneliti perempuan kelahiran Perancis yang kini menetap di Yogyakarta tersebut muncul setelah ia melakukan penelitian terhadap karya sastra Jawa kuno Serat Centhini.

Karya sastra yang dianggap sebagai ensiklopedia orang Jawa tersebut disusun pada awal abad ke-19 atas prakarsa Raja Surakarta, Sunan Paku Buwana IV. Serat Centhini berupa puisi panjang yang digubah dalam bentuk puisi. Hasil penelitian Inandiak digubah dalam bentuk novel berjudul Centhini. Jika Serat Centhini total mencapai 4.200 halaman, novel Inandiak hanya sepersepuluhnya, yaitu 404 halaman. Inandiak masih mempertahankan kerangka asli Serat Centhini namun dengan beberapa penambahan dan pengurangan, serta penafsiran secara bebas sesuai latar belakangnya sebagai penyair.

Dalam perbincangan dengan BuddhaZine di sela-sela acara Borobudur Writers dan Cultural Festival (BWCF) 2016 di Hotel Plataran, Borobudur, Magelang pada Kamis (6/10), Inandiak menyebutkan, walaupun Serat Centhini dianggap sebagai ensiklopedia kuno orang Jawa, namun pembahasan tentang Siwa-Buddha sangat sedikit. Ini sedikit bisa dimaklumi karena ketika pada saat Serat Centhini disusun, Siwa-Buddha telah hilang di Jawa bersamaan dengan runtuhnya Majapahit. Inandiak juga menyebut sulitnya menemukan literatur yang menjelaskan tentang penyebab keruntuhan Siwa-Buddha seolah tanpa bekas, padahal sebelumnya selama berabad-abad begitu dominan di Jawa.

Menurutnya, pada saat Majapahit runtuh, agama Buddha saat itu sedang mengalami penurunan moral sehingga berujung pada kehancuran. Agama Siwa yang kemudian dikenal sebagai agama Hindu lebih beruntung karena menemukan tanah baru di Bali.

“Saya rasa, pada saat runtuhnya kerajaan Majapahit hingga musnahnya agama Buddha di Jawa pada saat itu, diakibatkan karena agama Buddha mengalami pergeseran. Seperti juga di Tibet sebelum Atisha datang, saat itu agama Buddha di Tibet sedang hancur total, karena orang kembali ke ajaran Bon, hal-hal gaib, dan seks. Mereka memanfaatkan agama untuk menjalankan seks liar dan mengatasnamakan Tantra,” jelas Inandiak.

Karena menyalahartikan Tantra inilah yang membuat agama Buddha hancur. “Tantra disamakan dengan persetubuhan, padahal Tantra lebih rumit dari itu. Makanya Tantrisme sangat berbahaya dan sangat rumit, oleh sebab itu kita tidak boleh masuk dulu dalam Tantra sebelum mendalami kesunyataan, kekosongan,” lanjutnya.

Menurut Inandiak, kondisi di Tibet saat itu tidak jauh berbeda dengan di Jawa pada saat runtuhnya kerajaan Majapahit. Ia kembali menjelaskan, “Saya rasa hancurnya agama Buddha di Jawa juga disebabkan karena runtuhnya moral penganutnya. Beruntung kalau di Tibet ada Atisha Dipankara yang datang untuk merevolusi agama Buddha di sana, namun Jawa tidak beruntung mendapat orang seperti Atisha untuk memperbarui agama Buddha saat itu yang sedang turun moralnya. Sehingga ketika agama Islam masuk, agama Islam mudah diterima karena ada aturan-aturan, sementara dalam Buddhisme kan tidak begitu banyak aturan yang sifatnya memaksa sehingga banyak ditafsirkan semaunya yang menyebabkan Buddhisme menjadi kacau.”

Inandiak juga menduga fenomena yang serupa terjadi juga di India, di mana dulu agama Buddha sempat menjadi mayoritas tetapi kini tinggal sangat sedikit. Jika penafsiran Inandiak ini benar, ini adalah sebuah peringatan penting untuk agama Buddha karena ternyata faktor pelemah agama Buddha justru datang dari dalam agama Buddha sendiri.

Selain meneliti Serat Centhini, Elizabeth D. Inandiak kini juga sedang meneliti tentang situs Muaro Jambi dan akan segera diterbitkan dalam sebuah buku. Inandiak hadir sebagai salah satu pembicara dalam acara Borobudur Writers and Cultural Festival 2016. Acara yang dilaksanakan pada tanggal 5-8 Oktober 2016 ini mengambil tema “Setelah 200 Tahun Serat Centini: Erotisisme dan Religiusitas dalam Kitab-kitab Nusantara”.

20161008-agama-buddha-runtuh-pada-akhir-zaman-majapahit-akibat-penurunan-moral-2

Festival ini diikuti oleh para seniman, penulis, sejarawan, arkeolog, pembaca, dan jurnalis nasional. Garin Nugroho dalam pidato budayanya pada pembukaan pada Rabu (5/10), di Atria Hotel, Magelang, menjelaskan bahwa Serat Centini merupakan salah satu karya sastra kalsik yang sangat berpengaruh bagi Indonesia.

“Kitab ini ditulis pada masa peralihan kekuasaan Hindia Belanda, yang sangat baik bagi kita sebagai catatan sejarah, dan bisa dikatakan sebagai eksiklopedia Nusantara yang bisa kita gunakan sebagai bahan pembelajaran sejarah masa kini,” ujar Garin.

Sementara itu, Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, mengatakan bahwa acara seperti ini sangat penting. “Kalau saya membacanya sebagai sebuah perjalanan peradaban yang di-review ulang untuk diceritakan kepada generasi ke depan. Jadi di sini sembarang kalir (segala hal) diomongkan: sejarah, rempah-rempah, maritim, silat, dan sekarang berbicara Centhini.”

“Centhini ini berbicara tentang seksualitas, erotisme dan tasawuf. Saya tidak pernah mempunyai kemampuan dalam hal itu, tetapi ketika bertemu dengan mereka dan ngobrol dengan mereka ini, menjadi ruang yang luar biasa. Dan tentunya keragamannya lebih menarik lagi. Tiba-tiba ada yang nembang, ada yang nari, ada yang main musik tradisional dan dikombinasikan. Kalau Bung Karno mengatakan, kepribadian dalam kebudayaan kita ini ada banyak, hidup. Tapi siapa yang menghidupi? Jadi, saya berharap acara ini bisa menjadi agenda tahunan,” tutup Ganjar.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *