• Saturday, 26 March 2016
  • Kila
  • 0

Aku akan melakukan perbuatan-perbuatan baik dan mengadakan upacara setelah ayah dan ibu meninggal dunia. (Sigalovada Sutta)

Asal Mula Cheng Beng
Qing Ming Jie dalam dialek Hokian disebut Cheng Beng. Qing Ming Jie berarti langit sedang berwarna biru bersih dan terang benderang. Cheng Beng jatuh pada tanggal 5 April hingga 20 April. Dalam sejarah Tiongkok, Cheng Beng telah dimulai dari Warlord Period (475 – 221 SM), 2.400 tahun lalu.

Pada sekitar tanggal 5 April di daratan Tiongkok sudah mulai musim semi masuk ke musim panas. Udaranya nyaman, tidak dingin dan juga tidak panas. Seratus bunga bersemi, daun pohon Yangliu sedang bertunas, dan semua yang ada di muka bumi sedang tumbuh. Pada hari sebaik ini, semua keluarga keluar rumah untuk menikmati hari yang cerah tersebut.

Sembari menikmati udara yang segar ini, mereka juga membersihkan makam leluhur. Hingga sekarang Cheng Beng dijadikan momentum untuk melakukan bakti dengan sembahyang ke makam leluhur.

Ketika Cheng Beng
Kegiatan yang dilakukan adalah merawat altar leluhur, mengadakan acara sembahyang. Keluarga yang merawat altar leluhur adalah anak sulung, anak laki-laki pertama atau anak laki-laki yang diminta oleh orangtua untuk merawat altar leluhur, maka bisa disebut keluarga inti.

Keluarga inti ini akan menyiapkan kebutuhan utama untuk sembahyang di makam, seperti sesajian teh, arak, buah-buahan seperti pisang, nanas, anggur, apel, jeruk, kue mangkok, kue lapis, kue mutiara, bolu, aneka permen warna-warni, daging babi panggang asin dan merah, ayam rebus beserta jeroan, cumi sotong besar, sawi hijau utuh yang direbus, nasi, dan sayuran yang sudah dimasak, bunga warna-warni, lilin, kertas sembahyang, serta tidak ketinggalan baju, paspor, uang-uang kertas.

Sesaji di atas, dipercayai untuk mengundang pesta leluhur, di mana diyakini leluhur berada di alam bawah atau atas juga melakukan kegiatan yang sama persis dengan kita.

Bersih-bersih Makam
Acara dimulai dengan membersihkan makam keluarga dari semak belukar, mengecat badan kuburan. Memberikan kertas kuning di tiga titik di atas nisan. Menyiapkan sesaji dan menatanya dengan cantik, lilin dinyalakan dan sembahyang dimulai di altar dewa bumi.

Ketika lilin yang dinyalakan pada altar sudah mencapai setengah, ibu dari keluarga inti membawa dua keping logam yang sama bertanya dengan sujud kepada dewa bumi atau leluhur, apakah sudah berkenan dengan sesaji yang dipersembahkan dan melempar koin tersebut. Jika muka koin sama berarti masih belum selesai, muka koin berbeda berarti pesta sudah diterima dan usai.

Maka, mulailah keluarga akan membereskan sesaji yang diberikan, dan mulai membagi-bagikan makanan kepada sanak keluarga. Biasanya, mereka akan membuka bekal dan berkumpul di tempat berteduh untuk makan bersama, atau pergi ke restoran untuk beramah tamah.

Cheng Beng dan Ajaran Buddha
Generasi sekarang perlu memberikan penghormatan dengan memahami intisari dari tradisi dan adat yang diturunkan oleh leluhur kita. Bagaimana agama Buddha melihat tradisi ini?

“Cheng Beng merupakan salah satu bentuk bakti anak ke orangtua yang telah meninggal dan leluhur. Cheng Beng bukan hari raya agama Buddha, tetapi dalam agama Buddha, wujud bakti merupakan hal yang sangat penting, di antaranya kewajiban anak kepada orangtua setelah mereka meninggal dan menjaga kuburan,” ujar Bhiksu Sakya Sugata.

Menurut bhiksu yang akrab dipanggil Suhu Neng Xiu ini, cara kita mengenang mereka adalah dengan melakukan perbuatan baik kemudian melimpahkan jasa untuk mereka. Bakti anak kepada orangtua bukan hanya diwujudkan dengan membahagiakan orangtua saat masih hidup, namun juga setiap saat melimpahkan jasa kepada mereka, bukan hanya saat Cheng Beng. Jasa orangtua begitu besar, kita tidak mungkin membalasnya. Kita hanya bisa membalasnya sangat kecil. Itulah mengapa seumur hidup kita harus selalu mendoakan dan melimpahkan jasa kepada orangtua.

Suhu Neng Xiu berpesan, jangan memberikan persembahan dari hasil pembunuhan binatang, “Yang terpenting adalah jangan melakukan pembunuhan di bulan ini, karena kita yakin bahwa dengan upacara sembahyang kepada leluhur diharapkan bisa membawa leluhur terlahir di alam lebih baik. Tidak mungkin kita mengorbankan makhluk lain untuk mendoakan leluhur kita keluar dari penderitaan.”

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *