• Tuesday, 9 February 2016
  • Andre Sam
  • 0

“Apakah doa benar-benar manjur? Bagaimana jika sebaliknya? Untuk apa berdoa?”

Semua penganut agama di dunia ini memiliki tradisi berdoa dengan berbagai ragam kebudayaannya. Dengan terjadinya peristiwa dunia seperti konflik kekerasan di beberapa negara, kemudian serangan teror, serta gangguan kejiwaan di masyarakat kota-kota besar dunia, doa menghadapi tantangan. Untuk apa berdoa?

Lima Pertanyaan Mengenai Doa

“Mengapa ada doa yang dikabulkan suatu waktu dan ada doa yang suatu waktu tidak dikabulkan?”
Jika kita ingin menelepon, kita membutuhkan pulsa, internet, dan sambungan satelit. Doa juga demikian. Bila doa kita tidak dilandasi oleh kekuatan keyakinan, welas asih, dan cinta kasih, berdoa dengan cara demikian sama saja seperti menelepon tanpa pulsa, internet, dan sambungan satelit. Doa kita tidak akan membuahkan hasil apa pun.

“Apakah ada cara berdoa yang pasti membuahkan hasil yang memuaskan?”
Jika ada orang yang menemukan cara semacam itu, tidak diragukan lagi akan ada banyak orang yang bersedia membelinya dengan harga tinggi! Sayangnya, hingga sekarang belum ada seorang pun yang sanggup menemukannya.

Beberapa penganut keyakinan tertentu akan mengatakan bila Tuhan menghendaki sesuatu, maka keinginanNya itu pasti terjadi. Apa gunanya berdoa jika segala sesuatu telah ditakdirkan sebelumnya? Jika seseorang pada usia sekian telah ditakdirkan menderita kanker, untuk apa kita repot-repot berdoa bagi kesehatannya? Bukankah itu seolah-olah hanya membuang waktu saja?

Bagi penganut ajaran Buddha, pertanyaan yang sama juga timbul seputar masalah karma. Apabila seseorang melakukan karma buruk di masa lampau, kemudian sebagai buah tindakan buruknya itu ia akan jatuh sakit; orang lain akan mengatakan bahwa itu memang buah dari karma buruknya.

Dengan demikian, bagaimana mungkin doa dapat mengubah keadaan kita? Apa yang disebut sebagai “kehendak Tuhan” dalam agama lain boleh disepadankan dengan “berbuahnya karma dalam ajaran Buddha”.

“Jika Tuhan atau kekuatan tertentu telah menetapkan jalan hidup manusia, untuk apa kita berdoa?”
Kita boleh menjawabnya dengan sebuah pertanyaan, “Mengapa tidak berdoa?” Ajaran Buddha mengajarkan tidak ada sesuatu pun yang abadi. Ini berarti segalanya dapat berubah. Hari ini kita sehat-sehat saja, tetapi keesokan harinya kemungkinan kita sakit, namun keesokan harinya penyakit kita sudah sembuh. Semuanya berlaku sesuai hukum sebab dan akibat.

Dengan demikian, apabila kita memiliki energi, pengertian, dan keyakinan baru, kita akan sanggup membuka tahapan baru dalam kehidupan jasmani dan batin kita.

“Apakah doa yang tidak dikabulkan menunjukkan lemahnya keyakinan kita?”
Bagaimanakah tolok ukur kuat dan lemahya keyakinan? Kerap kali kita percaya bahwa doa yang kita panjatkan adalah doa yang berasal dari lubuk hati terdalam, kita berdoa dengan segenap hati, segenap sel dalam tubuh kita, dengan segenap aliran darah di pembuluh nadi kita, namun tetap saja doa itu tidak membuahkan hasil apa pun.

Jika kita berdoa demi orang yang kita kasihi dan ia sedang berada dalam detik-detik penghujung hidupnya, bagaimana mungkin orang mengatakan tidak ada cinta di balik doa itu? Tentu saja ada.

Meskipun demikian, apabila kita renungkan lebih mendalam, apa yang disebut cinta itu adalah tidak ditujukan pada orang lain, melainkan pada diri kita sendiri. Umpamanya, kita takut ditinggal hidup sendiri. Kita kerap mencampuradukkan antara cinta kepada orang lain dan perasaan takut kita. Cinta ataukah nafsu keinginan? Kita mungkin berharap orang itu hidup lebih lama sehingga kita tidak merasa kesepian. Ini juga sebentuk cinta, tetapi cinta yang demikian adalah cinta yang ditujukan untuk diri sendiri.

“Kepada siapakah kita berdoa? Tuhan? Buddha? Bodhisattva Avalokitesvara? Siapakah mereka?”
Saat merenungkan pertanyaan di atas, kita justru memunculkan semakin banyak pertanyaan daripada memperoleh jawaban.

Jika kita beranggapan bahwa Tuhan atau Buddha atau Bodhisattva Avalokitesvara merupakan unsur yang terpisah dari diri kita, itu artinya kita tidak memiliki hubungan apa pun dengan mereka.

Dengan kata lain, Anda duduk di sebelah sini, Tuhan, Buddha, atau Bodhisattva Avalokitesvara sedang duduk di atas sana. Anda dan mereka bukanlah dua wujud yang terpisah. Anda berada dalam Tuhan, Buddha, atau Bodhisattva Avalokitesvara dan Tuhan, Buddha, atau Bodhisattva Avalokitesvara berada di dalam diri Anda.

Jika kita mampu menyadari bahwa di dalam diri kita ada kualitas welas asih, sadar-penuh dan pengertian yang sama dengan makhluk agung lainnya, Mereka sesungguhnya bukanlah unsur yang terpisah dalam diri kita.

Dengan demikian, apabila sanggup membangkitkan energi sadar-penuh, kita akan dapat berdoa dengan tepat.

Judul Buku: Kekuatan Doa (Cara Memperdalam Praktik Spiritual Anda)
Penulis: Thich Nhat Hanh
Penerbit: Karaniya
Cetak Ulang: 2016

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *