Foto : Surahman Ana
Hidup di tanah Jawa tidak sekadar mengenal, tetapi juga menjalankan warisan tradisi yang unik dan beragam. Kekayaan budaya masyarakat Jawa membedakan mereka dengan negara-negara lain di dunia. Tradisi-tradisi ini terus lestari dirawat, dan salah satu di antaranya adalah Pangruwatan, yang sering dijalankan melalui pementasan wayang dengan lakon tertentu yang dirancang untuk meruwat wilayah maupun orang.
Pada Kamis (29/02/2024), Ki Eko Prasetyo, seorang dalang asal Lampung yang kini menetap di Boyolali, Jawa Tengah, melakukan ruwatan melalui pertunjukan wayang kulit yang memukau di Vihara Gunung Pati, Semarang. Pertunjukan ini diselenggarakan atas permintaan keluarga Pak Karsono untuk meruwat kedua putrinya, Sri Lestari dan Siti Mudrikah, yang dalam tradisi Jawa dikenal sebagai Kembang Sepasang (dua anak perempuan).
Yang menarik, dalam ruwatan ini, Ki Eko dengan segala usahanya menghadirkan perspektif baru yang disesuaikan dengan nilai-nilai Jawa dan Buddhisme. Ki Eko telah melakukan ruwatan sebanyak empat kali di tempat yang berbeda, termasuk di Lampung dan di Semarang.
Konsep Pangruwatan
Ki Eko menjelaskan bahwa konsep pangruwatan atau panglukatan (dalam bahasa Bali) ternyata mempunyai kesamaan dengan istilah Jawa Kuna yaitu lukat artinya semacam memurnikan. Disamping itu, ia menilai tradisi ini sangat cocok dengan ajaran Buddha, dimana dalam ajaran Buddha ada upacara wisudhi.
“Secara esensial wisudhi juga sebenarnya memurnikan disertai dengan tekad. Nah di situ ada kesamaan,” terang Ki Eko.
Saat ini, terdapat banyak sekali lakon pewayangan yang bisa digunakan untuk pangruwatan, namun yang lebih populer dikalangan masyarakat adalah lakon Murwa Kala. Lakon ini diambil dari Kitab Mahabarata tetapi sudah dimodifikasi oleh para pujangga Jawa di masa lalu. Sumber lakon ini dari serat Tantupanggelaran, salah satu serat atau kitab yang ditulis di era akhir Majapahit.
“Memang kita bisa melihat bahwa kisah-kisah wayang yang ditulis ataupun bahkan dipahatkan di relief-relief pada era Majapahit akhir kebanyakan temanya pangruwatan. Contoh di Candi Sukuh, ada penggalan relief Sudhamala, jelas ini tema pengruwatan yaitu ngruwat Bethari Durga. Terus ada juga relief Bima Swarga, itu jelas Werkudara ngruwat bapaknya, Nyuargakke Prabu Pandu, itu juga tema pengruwatan. Kemudian serat atau naskah Nawa Ruci, itu juga tema pangruwatan,” lanjut Ki Eko.
Serat Tantupanggelaran kemudian disadur oleh para dalang menjadi lakon Murwa Kala. Selain lakon Murwa Kala, lakon paling umum lain yang biasa digunakan untuk meruwat adalah lakon Sudhamala. Namun, menurut Ki Eko ada juga lakon yang sangat bersifat Buddhis secara tekstual yaitu Kunjarakarna. “Ini sangat Buddhis sekali secara tekstual, karena tokoh-tokohnya Buddhis semuanya. Tetapi untuk pagelaran biasanya lakon ini kurang menarik karena hampir tidak ada intrik, dan memang kebanyakan tema-tema Buddhis bersifat lebih tenang dan tidak ada konflik.”
Ruwatan untuk Memperbarui Tekad dalam Kebajikan
Pangruwatan, sebuah ritus pemurnian bagi individu yang dianggap memiliki nasib buruk sejak lahir, entah itu anak atau seseorang yang dianggap membawa kesialan yang disebut sukerto. Dalam ajaran Buddhis, segala bentuk kesialan dipandang sebagai hasil dari perilaku atau karma negatif yang tercipta di masa lampau, di mana karma buruk bersumber dari kekotoran batin yang disebut sebagai kilesa. Meskipun masyarakat umum menggunakan istilah dosa, yang merupakan bagian dari konsep kilesa dalam Buddhisme. Dalam tradisi Jawa yang selama ini berjalan, ruwatan memberi kesan bahwa dalang yang melakukan upacara menjadi pihak yang menanggung dosa-dosa individu yang diruwat.
Anggapan ini, bagi Ki Eko, tidak sesuai dengan konsep budaya Jawa, apalagi dengan agama-agama Dharma termasuk agama Buddha. “Karena dalam falsafah Jawa itu jelas, bahwa manungso iku ngundhuh wohing pakarti (manusia itu memetik buah perbuatannya sendiri). Di dalam Buddha Dharma juga begitu, di dalam Hindu Dharma juga begitu, ada yang namanya karma.” Dengan begitu, konsep umum bahwa dalang menyangga atau menanggung dosa orang yang diruwat, atau bahkan menghapus dosa-dosa yang diruwat, ini tidak sesuai dengan konsep Jawa apalagi Buddha Dharma.
Berdasarkan pemahaman ini, Ki Eko atas inisiatif dan juga mendapatkan restu dari para guru termasuk Om Salim (seorang peneliti Borobudur), berusaha untuk mendekonstruksi pandangan lama mengenai ruwatan. Ia membongkar yang sudah ada kemudian menata ulang menggunakan perspektif Jawa yaitu konsep ngundhuh wohing pakarti dan hukum karma atau karmapala dalam konsep Buddhis. Sehingga, sekalipun masih menggunakan lakon Murwa Kala tetapi dengan sudut pandang baru yang sudah ditafsir ulang.
Dalam pandangan baru, Ki Eko menekankan bahwa dalang tidak lagi menanggung atau menghapus dosa yang diruwat tetapi hanya menunjukkan cara-cara untuk memurnikan diri bagi yang diruwat. Pemurnian ini dengan cara bertekad untuk menjalankan Pancasila Buddhis, tidak melakukan hal-hal yang merugikan atau kejahatan dan berusaha untuk bisa melakukan Pancadharma, mengembangkan kebaikan dengan cinta kasih dan melakukan kebajikan-kebajikan lainnya.
“Sehingga, dari situ dengan sendirinya dia akan menciptakan karma dia sendiri. Jadi seolah-olah seperti memulai hidup baru dari nol, menyadarkan mereka yang diruwat melalui cerita wayang. Jadi kita tidak akan membuat lakon baru atau mengangkat lakon Kunjarakarna yang Buddhis, tidak, tetapi karena Murwa Kala ini lakon yang paling populer,” tegas Ki Eko.
Syarat Dalang Ruwat dan Kriteria Orang yang Diruwat
Bagi masyarakat umum, mungkin masih banyak yang berpikir bahwa setiap dalang bisa meruwat, namun ternyata tidak demikian. Ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi agar seorang dalang mempunyai kapasitas untuk meruwat. Berdasarkan pengetahuan yang didapatkan dari gurunya, yaitu Ki Manteb Soedharsono (Alm), salah satu maestro dalang dari Jawa Tengah, Ki Eko menjelaskan ada tiga syarat sebagai legitimasi bagi seorang dalang untuk bisa menjadi dalang ruwat.
“Terkait syarat dalang ruwat, saya ada dasarnya dari guru saya yaitu Ki Manteb Soedharsono, karena saya memang pernah berguru kepada beliau di masa-masa akhir beliau,” ujar Ki EKo.
Syarat pertama adalah dalang sejati, yaitu dalang yang bapak dan ibunya adalah seorang dalang ruwat. Dalang ini mempunyai kapasitas untuk meruwat. “Untuk syarat pertama ini saya jelas tidak masuk,” sahut Ki Eko.
Syarat kedua, Ki Eko melanjutkan, adalah turun dalang. Maksudnya, bapaknya si dalang adalah seorang dalang ruwat. “Seperti halnya Pak Manteb Soedharsono dimana bapaknya yaitu Mbah Hardjo Brahim juga dalang ruwat, terus silsilah ke atas sampai Ki Panjang Mas mentoknya,” terang Ki Eko. Namun demikian, ia menambahkan bapak dalam pengertian ini bisa bapak secara biologis maupun bapak secara keilmuan atau nasab keilmuan.
“Lha kalau ini saya bisa memenuhi, karena saya berguru kepada Pak Manteb, dimana beliau adalah dalang ruwat. Jadi kalau diambil dari sini saya sudah masuk kriteria dalang ruwat.”
Kemudian syarat ketiga adalah dalang yang dipercaya oleh orang yang akan diruwat. Syarat ketiga ini justru menjadi syarat kunci, dimana kepercayaan bisa melampaui kedua syarat yang lain. Sekalipun seorang dalang mempunyai silsilah dan kemampuan meruwat, tidak akan bisa meruwat jika tidak dipercayai dalam artian tidak diminta tolong untuk meruwat.
“Nah dalam hal ini, anak yang akan diruwat ini memang datang kepada saya meminta untuk melakonkan pangruwatan. Justru ketika dalang sudah punya mantra-mantranya, sudah bisa memainkan lakon ruwatan dan dimintai tolong tetapi tidak sanggup, ini semacam mengingkari kode etik dalang, begitu menurut Pak Manteb yang saya pegang,” papar Ki Eko.
Lebih lanjut Ki Eko menjelaskan, selain memenuhi syarat-syarat dalang ruwat, tetapi untuk meruwat sudah semestinya seorang dalang juga melakukan usaha-usaha yang lain seperti berusaha menjalankan sila baik dalam pikiran, ucapan, dan tindakan. Ia menekankan, laku tersebut yang hendaknya sebisa mungkin harus dijaga terutama pada saat ingin meruwat. Sementara itu, jika seorang dalang mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi, orang yang akan diruwat pun ada kriteria tersendiri sehingga layak untuk diruwat.
Dalam petikan yang disampaikannnya saat melakukan pagelaran, Ki Eko menyebutkan setidaknya ada 25 kriteria orang yang termasuk dalam golongan anak atau orang sukerto yang hendaknya diruwat, diantaranya: Ontang-anting (anak satu-satunya baik laki-laki atau pun perempuan); Ontang-anting tunggak aren atau ontang-anting papar tunggak (mempunyai banyak anak tetapi hanya satu yang hidup, yang lainnya meninggal); Kedhono-kedhini (dua anak laki-laki dan perempuan); Kembang sepasang (dua anak perempuan semua); Uger-uger lawang (dua anak laki-laki semua); Kembar (dua anak laki-laki maupun perempuan yang lahir bersamaan dalam sehari); Sendhang kapi pancuran (tiga anak: laki-laki, perempuan, laki-laki); Pancuran kapit sendhang (tiga anak: perempuan, laki-laki, perempuan); Gotong Mayit (tiga anak laki-laki semua); Cukit dulit (tiga anak perempuan semua); Sarimpi (empat anak perempuan semua); Sarombo (empat anak laki-laki semua); Lumpat kidang (empat anak: laki-laki, perempuan, laki-laki, perempuan, atau perempuan, laki-laki, perempuan, laki-laki); Pandhowo (lima anak laki-laki semua); Pandhawi atau panca putri (lima anak perempuan semua); Bantheng ngirit jawi (enam anak, yang pertama laki-laki dan adik-adiknya perempuan semua); Jawi ngirit bantheng (enam anak, yang pertama perempuan dan adik-adiknya laki-laki semua); Julung ujud (anak yang lahir bersamaan dengan terbitnya matahari); Julung kembang (anak yang lahir bersamaan dengan matahari tepat berada di tengah-tengah); Julung caplok ( anak yang lahir bersamaan dengan matahari terbenam); Lulo (anak yang ketika lahir sudah tidak ada bapaknya); Lungsih (seorang perempuan yang sulit jodoh); Dangkal (seorang laki-laki yang sulit jodoh); Durga ngerik (seorang perempuan yang sering kali ditinggal mati suaminya); Kolo kinantang (seorang laki-laki yang sering kali ditinggal mati istrinya).
Kurang lebih 2,5 jam Ki Eko melakonkan pangruwatan ini dengan penjelasan yang cukup detail. Di puncak ruwatan, segenap keluarga yang diruwat mempersembahkan sesaji lengkap di hadapan sang dalang. Kemudian dilangsungkan pemotongan sebagian rambut kedua anak perempuan yang diruwat sebagai simbol pemurnian batin.
Pangruwatan bukan sekadar sebuah pertunjukan wayang, melainkan ritual pemurnian yang memadukan nilai-nilai budaya Jawa dengan ajaran Buddhisme, menciptakan pengalaman yang mendalam bagi yang terlibat.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara