Di antara berbagai macam bangunan suci yang dikenal pada masa Majapahit terdapat jenis bangunan suci yang tidak pernah dikenal orang masyarakat Sunda kuna, yakni candi.
Adapun Candi Cangkuang di Leles, Garut, merupakan bangunan candi hasil pemugaran hipotesis, karena bentuk aslinya tidak dikenali lagi. Wujud arsitekturnya yang ada sekarang hanyalah rekaan belaka dan sangat mungkin keliru dan tidak sama dengan aslinya.
Sebuah hal yang patut disesalkan, karena pemugaran Candi Cangkuang mengikuti model yang ada di candi-candi Dieng dan Gedong Songo yang berasal dari abad ke-8 M di Jawa Tengah. Sementara di kalangan masyarakat Jawa Barat terlanjur terdapat kepercayaan bahwa bangunan Candi Cangkuang merupakan candi asli dengan arsitektur tertua di tanah Jawa.
Candi
Masyarakat Sunda kuna telah mengenal teknologi menyusun balok-balok batu atau bata-bata yang ditata menjadi bangunan, misalnya Candi Cangkuang, Candi Pananjung, dan Candi Bojongmenje. Mereka telah mampu membuat bangunan bata dalam jumlah besar di Situs Batu Jaya, Karawang Utara. Akan tetapi kemampuan tersebut tidak diteruskan untuk membangun candi batu atau bata.
Candi Bojongmenje, Rancaekek.
Alih-alih mereka mendirikan bangunan suci yang sederhana, yaitu punden berundak. Jika candi dibangun oleh masyarakat Jawa kuna untuk memuja para dewa Hindu-Buddha, masyarakat Sunda kuna tidak memuja dewa-dewa Hindu-Buddha, walaupun mereka mengenalnya.
Masyarakat Sunda kuna memuja langsung pada Jatiniskala, dewa-dewa Hindu-Buddha diwujudkan dalam “percikan” dari Hyang Tunggal. Atas dasar pemikiran tersebut candi menjadi tidak diperlukan, sebab candi merupakan sarana ritual pemujaan kepada dewa-dewa, bukan bangunan suci bagi pemujaan Jatiniskala.
Kitab Sewaka Darma dengan jelas menyatakan bahwa tujuan akhir dari sang atma (jiwa) setelah meninggal bukan bersatu dengan dewa-dewa atau berada di alam hyang, melainkan langsung bersatu dengan Jatiniskala dan tidak akan mengulangi kehidupan.
“…moksa leupas tanpa balik/u/wulang. Twatag ka Jatiniskala luput ti/h/ para dewata, leupas ti sang hyang, tan hana kara,
lenyep anyata cintya, kena rampes tanpa denge, kena suwung tanpa wastu, ka nu lengis tanpa kahanan, deu(nng) alit/t/ an, hanteu pati dipiganal, hanteu pasampak/a/ di luput,
hanteu pabaur, hanteu dingeunah dicandu teka, hanteu baranyana hanteu deungeun, warwa tu(ng)ngal wisesa”
“…moksa, lepas tanpa kembali mengulang (kehidupan), mencapai Jatiniskala, lepas dari para dewa, lepas dari sang hyang, tiada rintangan [yang] meresap merasuk alam pikiran, sebab utuh tanpa dengar,
sebab hampa tanpa wujud, mengarah kepada yang halus tanpa ke”ada”an, dan lembut tak memiliki badan kasar, tiada bersua dengan yang salah,
tidak bercampur baur, tidak dinikmati seperti candu, tak ada kerabat, tak ada orang lain, serba tunggal keadaanNya.”
Mengapa tidak memerlukan candi?
Bangunan candi dengan pembagian kaki (adisthana), tubuh (stambha), dan atap (prastara) dari bahan yang sama (batu atau bata), tidak pernah dikenal dalam masyarakat Sunda kuna, artinya akan sia-sia mencari bangunan candi di Tatar Sunda sebagaimana dikenal dalam kebudayaan Jawa kuna. Mengapa?
Ketiadaan bangunan candi di Tatar Sunda bukan karena alasan sosial ekonomis, hal tersebut dikarenakan masyarakat Sunda kuna yang hidup sebagai peladang di pertanian huma, melainkan karena dasar religi.
Masyarakat Sunda kuna tidak memerlukan candi karena religi yang mereka peluk tidak memerlukannya, religi Jatiniskala lebih mementingkan hakikat dan tujuan akhir, bukan kepada sarana yang dibangun secara rinci.
Bangunan suci Pasir Lulumpang, Ciamis.
Bangunan seperti apa yang sesuai dengan konsep religi Sunda kuna? Adalah berbentuk punden berundak dari susunan batu-batu alami tanpa dibentuk terlebih dahulu, disebut undakan balay, yaitu punden berundak dengan jumlah teras tunggal, tiga teras, tujuh teras, dan yang terbesar adalah tiga belas yaitu bangunan suci di Kanekes yang dinamakan Pada Ageung atau Sasaka Domas dan Punden berundak Pasir Lulumpang di Ciamis.
Adapun bangunan suci Kihara Hyang yang dipuja oleh masyarakat Pakwan-Pajajaran hanya terdiri dari tiga teras dan dilengkapi dengan tujuh batu besar. Tangga naik menuju teras berikutnya yang lebih tinggi, bisa ada dan bisa juga tidak, karena ada punden yang teras-terasnya tidak terlalu tinggi.
Masyarakat berhuma
Mereka umumnya tinggal berjauhan, tergantung dari lokasi pertanian humanya, sifat masyarakatnya cenderung memiliki kemandirian yang tinggi, percaya diri. Apabila masyarakat yang bersawah bekerja dari pagi hingga senja, masyarakat huma lain, mereka bekerja sehari penuh dari pagi hingga gelap malam.
Masyarakat Sunda kuna, menggunakan bahasa yang lebih padat, bernas, dan tidak banyak bumbu serta hiasan. Lain halnya dengan masyarakat yang bersawah mampu mengembangkan bahasa kesusteraan yang kaya karena banyak waktu luang yang dapat digunakan untuk mengolah sastra.
Sebenarnya masyarakat Sunda kuna mempunyai kesempatan membangun candi dalam pengertian seperti candi-candi zaman Majapahit, akan tetapi kaum agamawan dan masyarakatnya tidak membangunnya.
Sesuatu didirikan atau dibuat karena ada fungsi dan keperluannya. Fungsi utama candi adalah untuk memuja dewa atau tokoh yang telah mangkat dan kemudian diperdewa. Untuk itulah didirikan banyak candi pendharmaan yang masih bertahan sisanya hingga sekarang.
Masyarakat Sunda kuna tak memerlukan candi seperti masyarakat Majapahit. Jika mereka membangun bangunan suci bentuknya lebih ke inti sarana peribadatan “tanpa bumbu”, sebagai axis mundi penghubung antara dunia manusia dan dunia adikodrati.
Religi masyarakat Sunda kuna bukan agama Hindu atau Buddha, ataupun gabungan Siwa-Buddha, melainkan agama Sunda buhun. Apabila religi mereka Hindu atau Buddha, bukan tidak mungkin mereka akan mendirikan bangunan suci Hindu-Siwa atau stupa milik agama Buddha?
*Disarikan dari buku, Bangunan Suci Sunda Kuna, Penerbit Wedyatama Widya Sastra.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara