“Ha-/ /nteu nu ngayuga aing,
hanteu nu manggawe aing.
Aing ngangaranan maneh,
sanghyang raga dewata…”Tidak ada yang menjadikan Aku,
Tidak ada yang menciptakan Aku,
Aku menamai diriku sendiri,
Sang Hyang Raga Dewata…”Kitab Sang Hyang Raga Dewata (16)
Carek- [a] na raga dewata,
na naha ngaran na eta?
rumongyap leung-/ yap,
tanpa rupa, tanpa raga,
hanteu kajeueung.Carek-[a] na t[e]m[e]n,
rupa reka ku waya.
Ja aing/nu ngayuga tan kayuga,
ja aing nu digawe tan kapigawe,
ja iang nu diguna tan kapiguna.”Tanya Raga Dewata, Mengapa namanya begitu?
(Karena) datang tanpa rupa, tanpa raga,
tidak terlihat,
Perkataan (senantiasa) benar,
rupa direka, karena ada.Akulah yang menciptakan tetapi tak terciptakan,
Akulah yang bekerja, tetapi tidak dikerjakan,
Akulah yang menggunakan, tetapi tidak digunakan.Kitab Sang Hyang Raga Dewata (22)
Berdasar kajian terhadap naskah-naskah keagamaan yang menyimpan sistem kepercayaan dapat diketahui bahwa agama masa Sunda kuna merupakan bentuk religi tersendiri, yang berbeda dengan agama Hindu atau Buddha.
Bentuk religi tersebut mencerminkan keadaan masyarakat Sunda kuna yang mencerminkan kepraktisan dan mengarah langsung kepada sasaran pemujaan konsep utama.
Religinya berbeda dengan agama Hindu dan Buddha, walaupun napas Hindu-Buddha masih dapat terlihat dan beberapa anasirnya muncul dalam naskah. Telah dikemukakan oleh beberapa ahli bahwa sasaran utama pemujaan agama Sunda kuna bukanlah dewa-dewa Trimurti atau para Tathagata Buddha.
Konsep tertinggi dalam masa itu justru suatu konsep yang asalnya bukan dari kebudayaan India, melainkan dari kebudayaan lokal. Ada banyak varian sebutan dalam religi Sunda kuna, Sang Hyang Taya, Sang Hyang Manon, Sang Hyang Jatiniskala, Sang Hyang Jatinistemen, Sang Hyang Tunggal, dan sebagainya.
Di bawahnya terdapat tujuh Guriang yang juga bukan hasil pemikiran kebudayaan India. Melainkan hasil local wisdom-nya orang Sunda kuna sendiri.
Kemudian, di bawahnya tujuh Guriang itulah baru terdapat dewa-dewa dari ajaran Hindu-Siwa dan Buddha. Terdapat Dewa Yama, Candra, Aditiya, Wisnu, Brahma, Iswara, Mahadewa, Kowera, hingga Siwa. Dalam peringkat yang sama disebutkan ada Buddha dan beberapa Tathagatanya, misal Amitabha dan Wairocana.
Dalam ajaran inti religi Sunda kuna, pemujaan terhadap adikodrati tertinggi ditembus dengan bertapa, meditasi, tanpa perlu rupang/arca, atau bangunan khusus yang dibuat sesuai dengan aturan tertentu.
Orang yang hendak melakukan tapa brata seyogianya menghentikan beberapa kegiatan, baik yang berupa fisik maupun pikiran, yang masih terperangkap pada fenomena duniawi. Banyak hal yang perlu dihindari, dihentikan, atau dilakukan.
Sebuah kitab Sunda kuna, Sewaka Darma (K 408), antara lain menjelaskan hal yang harus diperhatikan oleh seseorang yang hendak menjalankan tapa sebagaimana kutipan berikut;
“Demikianlah, maka aku berkata,
maka aku sungguh-sungguh mengakui
malas dalam salah perbuatan
malas dalam salah budi
malas dalam salah urus
malas dalam salah tekad, salah pikir, dan salah perhatian.”
*Disarikan dari buku, Bangunan Suci Sunda Kuna, Penerbit Wedyatama Widya Sastra.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara