aywa lumampah yon turung wruh ing lampah,
aywa met-met yan tan wruh rasaning pinet,
aywa mangan yon turung wruh ing bojana,
aywa nembah yan turung wruh ing sinembah.
Ga daarom niet op reis, als gij nog niet
weet waarheen. Ga niet zoeken, als gij
nog niet weet wat gij eigenlijk hebben
wilt. Ga niet eten, als gij nog niet
weet wat gij eet. Breng geen vereering,
als gij nog niet weet aan wien.(Dr. R. Ng. Poerbatjaraka: Dewa-Roetji. Majalah DJAWA, th. 1940, hlm. 21)
Terjemahan bahasa Indonesianya kurang lebih seperti ini:
“Oleh karena itu jangan melakukan perjalanan, jika belum tahu ke mana. Jangan pergi mencari jika kau belum tahu apa yang sebenarnya ingin kau miliki. Jangan makan kalau belum tahu apa yang kau makan. Jangan menyembah, jika kau belum tahu yang disembah.”
Kata-kata tersebut merupakan sebagian wejangan Sang Dewa Ruci (Sang Jina-resi) kepada Bima (Sang Wrekodara) setelah Bima berhasil mengalahkan Naga Nabatnawa dan bertemu dengan Sang Mahardikeng Rat (Dewa Ruci).
Setelah itu Dewa Ruci yang berwujud dirinya dalam bentuk kerdil menyuruh Bima supaya masuk ke dalam perutnya. Awalnya Bima merasa ragu-ragu apakah ia yang bertubuh besar bagaikan gunung dapat masuk ke dalam perut Dewa Ruci yang hanya sebesar boneka dan terlihat seperti anak kecil.
Tetapi setelah itu Dewa Ruci (Sang Hyang Buda Tatwa-resi) menjawab: “Endi genging giri mwang /waning buwana, sa-bubursah mandra kawet katon dengku” (“Mana besar gunung dan luas dunia, seluruh alam semesta hanya kelihatan kecil bagiku”). Dan barulah Bima masuk ke dalam perut Dewa Ruci melalui telinga kiri.
Transformasi sosok Bima menjadi Bima Suci atau pertemuan Bima dengan jati dirinya (Dewa Ruci) itu sering ditafsirkan sebagai simbolisasi ajaran Jawa Manunggaling Kawula Gusti (bersatunya hamba dan Tuhan). Atau dengan kata lain, seseorang sudah bisa menyicipi atau merealisasi realita tertinggi / absolut.
Seperti di belahan Asia yang lain, tokoh Bima atau Wrêkudara pernah dikultuskan diPulau Jawa. Popularitas tokoh ini terekam dalam sebaran peninggalan arkeologis seperti prasasti, arca, dan relief, maupun peninggalan teks-teks dengan Bima sebagai tokoh utama. Ia menjadi tuturan utama dalam beberapa teks Jawa pra-Islam, yakni Nawaruci dan Bima Swarga yang bernuansa Hindu, serta Dewaruci dan Bima Stawa yang bernuansa Buddhis.
Dalam dua tulisan sebelumnya, telah dibahas mengenai Serat Nawaruci dan Dewaruci. Bagian ketiga ini akan sedikit membahas tentang dua teks yang lain, yang masih mengisahkan tentang Bima, namun tidak menceritakan tentang Dewa Ruci / Bima Suci, kisah yang banyak dimainkan oleh dalang wayang kulit di Jawa.
“Bima Stawa itu teks sloka Sanskrit yang pendek sekali, yang dipakai Pedanda Buddha di Bali,” ujar Aditia Gunawan, seorang kurator naskah di Perpustakaan Nasional kepada BuddhaZine beberapa waktu lalu.
Sama seperti teks Dewa Ruci, tidak diketahui berapa usia teks Bima Stawa (Bhīmastava) sebenarnya. Namun banyak pihak berpendapat itu ditulis pada era Majapahit. Bima Stawa terdiri dari sembilan bait syair. Dalam bait pertama tertulis jelas bahwa Bima adalah titisan dari dewata Buddhis Tantra Bajrasatwa (Vajrasattva). Itulah yang membuat teks ini tergolong sebagai naskah Buddhis.
Marijke Duijker dalam disertasinya di Universitas Leiden yang berjudul “The Worship of Bhima” menerangkan bahwa di Bima Stawa dikatakan bahwa Bima berasal dari aksara suci HŪṂ, aksara suci Bajrasatwa, dan Bima dianggap sebagai orang bijak yang cerdik dengan kekuatan besar dengan ketangguhan tubuh.
Penggambaran utama Bima dalam Bima Stawa menurut Duijker adalah sebagai dewa yang penuh belas kasih terhadap sesamanya. Dia juga dianggap sebagai penyelamat dan pelindung dunia. Dalam syair pertama Bima dianggap manunggal dengan Bajrasatwa, dan itu menekankan belas kasihnya untuk makhluk hidup lainnya.
Sedangkan naskah satu lagu tentang Bima, Bima Swarga, merupakan teks bernuansa Hindu, yang kisahnya masih cukup populer di Bali hingga kini. Di perpustakaan nasional, ada beberapa versi teks ini, yakni dari koleksi naskah aksara Merapi-Merbabu, Sunda Kuna, dan Bali.
Secara singkat Kidung Bima Swarga menceritakan perjalanan tokoh Bima ke kahyangan untuk memohon kepada dewa agar ayahnya (Pandu) dimasukan ke surga. Permintaannya tersebut akan dikabulkan jika Bima berhasil mengalahkan pengetahuan dewa.
Meskipun agak berat Bima menyetujui syarat tersebut. Setelah melalui berbagai ujian yang sulit Bima berhasil mengalahkan dewa serta membebaskan ayahnya dari neraka. Kemudian diceritakan juga mengenai keinginan Bima untuk membunuh Dewa Yama.
Aditia Gunawan menyebut teks ini ditulis pada abad ke-16 dan belum pernah diteliti secara memuaskan. “Teks ini berisi dialog antara Bhaṭāra Guru dan Bhīma yang hendak menyelamatkan ayahnya, Pāndu, dari neraka.
Semua pertanyaan dari Bhaṭāra Guru bisa dijawab dengan sempurna. Jawaban-jawaban Bhīma inilah yang menjadi inti dari teks, yaitu doktrin-doktrin Śivaisme serta aspek kosmologis dan filosofisnya yang kaya,” ungkapnya dalam sebuah tulisan jurnal ilmiah berjudul Produksi Naskah dan Mistisisme Aksara dalam Bhīma Svarga.
Relief Bima di Candi Sukuh yang Misterius
Yang menarik adalah keberadaan relief Bima di Candi Sukuh yang fotonya bisa dilihat di atas. Umumnya, masyarakat menduga itu adalah relief Bima yang bertemu dengan Dewa Ruci [sosok kecil di sebelah kirinya]. Namun itu disanggah Aditia Gunawan.
Dalam penjelasan di acara bedah buku “Bhima Svarga” yang ditulisnya, Aditia beberapa bulan lalu menjelaskan bahwa para ilmuwan selama ini menyangka relief itu berasal dari cerita wayang Pandu Popo atau Bima Bungkus.
“Ini menurut Stutterheim tahun 1935. Jadi hampir selama satu abad tidak ada interpretasi baru,” katanya.
“Stutterheim itu dulu menganggap kalau gambar di relief ini gambar Bima dan Batara Guru, tapi dari satu lakon yang lain, lakon wayang. Jadi berdasarkan apa yang dia lihat di pertunjukan wayang. Sementara relief ini berasal dari abad ke-15 di Candi Sukuh itu. Sementara lakon wayang ini sangat-sangat baru,” sambungnya.
Namun setelah melakukan kajian literatur, Aditia menjelaskan bahwa itu sebenarnya adalah adegan dari teks Bima Swarga. Karakter di kanan sudah jelas adalah Bima. Sementara yang di kiri yang terlihat adalah sosok dewa berlengan empat, yang sebenarnya gampang diidentifikasi sebagai Batara Guru atau Dewa Siwa.
Terkait teks Bima Swarga, hal ini menurutnya jelas terlihat dari sosok kecil di bawah keduanya, yang dapat diidentifikasi sebagai Bima ketika kecil yang sedang dipakaikan cawat. Sedangkan di sebelah bawahnya adalah dua orang yang memegang bayi Bima yang ari-arinya masih belum terputus, dan tersambung dengan rahim besar yang melingkupi keseluruhan relief.
“Di teks Bima Swarga yang sedang saya baca, ada betul-betul adegan yang mengandung alusi atau yang mengandung rujukan dari peristiwa ini,” ungkapnya.
Bima di Era Islam
Popularitas Bima maupun Dewa Ruci nampaknya belum surut ketika Islam mulai berkembang pesat di Jawa. Karena itu kemudian muncul beberapa teks Jawa yang merupakan turunan dari naskah Dewa Ruci.
Awalnya adalah Yasadipura I yang pada 1794 membuat Serat Dewa Ruci, namun mengganti istilah Adi Buda-resi dengan Marbudyengrat. Hal serupa dilakukan oleh Yasadipura II di abad ke-19 dengan Serat Bima Suci. Bima juga muncul lagi dalam Serat Cabolek yang tak diketahui kapan dibuatnya, namun sudah mulai memuat istilah Nabi Rasulu.
Selanjutnya kisah ini diceritakan ulang dalam Suluk Syeh Malaya yang mulai menghilangkan karakter Bima dan memasukkan sosok Allah dan Nabi Kilir (Khidir), serta mengganti Toya Pawitra dengan Toya Her Jam Jam. Dan yang paling belakang adalah Suluk Linglung Sunan Kalijaga di tahun 1884 yang juga mengganti Dewa Ruci dengan sosok Nabi Khidir sebagai guru sejati.
“Dan kalau kita pelajari kitab-kitab yang bertalian dengan Dewa Ruci seperti Nawa Ruci, Serat Dewa Ruci, Serat Bima Suci, Serat Cabolek, Suluk Syeh Malaya, Suluk Linglung Sunan Kalijaga, terjadi peralihan konsep dari cerita yang sama,” papar Hudaya Kandahjaya, seorang pakar Buddhisme dalam Webinar Sang Hyang Kamahayanikan beberapa waktu lalu.
Namun meski secara perlahan Bima dihilangkan pada beberapa teks turunan Dewa Ruci, karakter Bima nampaknya hingga kini masih cukup mengakar pada masyarakat Jawa. Bima adalah salah satu dari dua karakter wayang kulit yang ikut dikubur bersama jenazah dalang kondang Ki Seno Nugroho yang meninggal tahun 2020 lalu. Bima jugalah salah satu dari dua sosok wayang yang menghantar jasad dalang senior Ki Manteb Sudarsono ke pemakaman pada awal Juli 2021. [MM]
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara