Malam ini pantulan bulan purnama tampak berkilauan di sungai, dan matahari berada di tanda zodiak Taurus. Malam purnama di bulan Waisaka ini, seperti pada tahun-tahun sebelumnya pada saat yang sama, menengarai bahwa ini malam Waisak.
Mengapa dirayakan? Mengapa dianggap penting? Apa signifikansinya?
Ini penting. Karena ternyata, kita semua masih membutuhkan anutan, lanjaran yang sama untuk menjalani kehidupan ini, karena tantangan juga sama. Selalu mudah dilanda kegundahan dan kecemasan.
Karena tidak mengerti, kita selalu berkeinginan yang bertubi tanpa kenal rasa cukup, penolakan terhadap apa pun yang tidak kita sukai, kesombongan, baik yang terutarakan maupun yang tersimpan di dalam hati, atau keirihatian dan kecemburuan melihat kebahagiaan orang lain. Ini semakin jelas kalau tidak akan bisa teratasi dengan menumpuk kekayaan, hanya dengan kemasyhuran, prestasi maupun kekuasaan.
Di sini tampak pentingnya belajar untuk mendapatkan pengetahuan cerdas, sehingga membuat hidup ini bermakna.
Ternyata sangat penting untuk selalu diingat bahwa hanya dengan membuat hidup kita ini berguna dan membawa manfaat buat sesamalah yang akan membuat kita hidup semeleh dan kehidupan ini bermakna.
Memang ada yang patut dirayakan. Ternyata setelah lebih dari 2500 tahun, ajaran Buddha masih tetap kokoh di Nusantara, di bumi kita tercinta ini, dan juga di pelosok dunia. Tentunya ini dikarenakan oleh banyak hal, tetapi terutama karena kegigihan dan keyakinan leluhur kita, para guru yang bertekad untuk meneruskan ajaran yang mereka dapatkan dan hayati.
Tuntunan kehidupan yang telah terbukti membawa kerahayuan bagi mereka, ingin mereka teruskan, untuk diwariskan ke kita semua. Ini sangat patut dirayakan dengan sembah sujud yang disertai rasa berterima kasih dan bersyukur.
Ajaran
Seperti yang kita ketahui, ajaran Buddha dari awalnya diingat, diteruskan dan disebarkan secara lisan oleh para bhāṇaka, biksu yang mengkhususkan diri dalam menghapal dan merapalkan koleksi ajaran tertentu dan melalui pelafalan komunal – saṅgīti.
Mereka menggunakan beberapa dialek Indo-Arya Tengah (Prakrit). Sementara tradisi selatan akhirnya menetapkan untuk dibuatnya suatu dialek Prakrit khusus, Pāli, sebagai bahasa pengantar kanoniknya, di India dan Asia Tengah teks-teks Buddhis diterjemahkan ke dalam bahasa Sansekerta dan / atau diterjemahkan ke dalam bahasa lain seperti Mandarin (bahasa Tionghoa), Tokharian, Khotan, Sogdian, dan Tibet.
Juga, teks-teks Buddhis di India dari abad ketiga dan seterusnya, secara langsung disusun dalam bahasa Sanskerta standar. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika manuskrip dari tradisi utara, terutama yang berasal dari Asia Tengah, seringkali dalam berbagai bahasa Prakrit (terutama Gāndhārī) atau beberapa bentuk bahasa Sanskerta yang tidak standar (kadang-kadang disebut Buddha Sanskerta), dan bahasa Sanskerta standar.
Sebagian besar pembelajaran dan penterjemahan modern pada umumnya berfokus pada Nikāya Pali (yang telah diterjemahkan sepenuhnya ke dalam bahasa-bahasa Barat) dan Āgama Mandarin (belum diterjemahkan sepenuhnya). Pada awal abad ke-19, diketahui bahwa Nikāya dan Āgama berisi sejumlah besar teks paralel.
Pada tahun 1882, Samuel Beal menerbitkan “Buddhist Literature in China” – Sastra Buddha di Tiongkok, yang mana ia menulis:
“Parinibbāna, Brahmajāla, Sigalovada, Dhammacakka, Kasi-Bhāradvadja, Mahāmangala Sutta; semua ini telah saya pelajari dan bandingkan dengan terjemahan dari Pali, dan menemukan bahwa pada dasarnya keduanya identik. Saya tidak mengatakan hal yang sama secara harafiah; mereka berbeda dalam poin-poin kecil, tetapi identik dalam plot dan semua detail penting.
Dan jika koleksi Vinaya dan Āgama diperiksa secara menyeluruh, saya yakin kita akan menemukan sebagian besar, meskipun tidak semua, sutta Pali akan memiliki paralel dalam sutra di koleksi Mandarin”.
Selama abad ke-20 berbagai sarjana termasuk Anesaki Masaharu, Akanuma Chinzen dan Etienne Lamotte, juga mengomentari hubungan dekat antara koleksi Nikāya Pali dan Āgama Mandarin:
“Namun, dengan pengecualian dari interpolasi Mahayana dalam Ekottara Āgama, yang dengan mudah dapat dilihat, variasi yang dipertanyakan [antara Nikāya dan Āgama] hampir tidak memengaruhi apa pun kecuali metode ekspresi atau pengaturan subjek.
Dasar doktrinal yang umum bagi Nikāya dan Āgama sangatlah seragam. Dilestarikan dan disebarkan oleh tradisi-tradisi, sutra-sutra tersebut tidak, bagaimanapun, merupakan dokumen-dokumen skolastik, tetapi merupakan warisan umum dari semua tradisi.”
Biksu Thich Minh Ciau melakukan studi perbandingan (1991) isi Majjhima Nikaya Theravada dengan Madhyama Agama Sarvastivada dan menyimpulkan bahwa meskipun ada beberapa perbedaan dalam masalah teknis dan praktis, ada kesepakatan yang mencolok dalam masalah doktrinal.
Sebuah studi yang lebih baru oleh Bhikkhu Analayo (2011) juga setuju dengan posisi ini. Analayo berpendapat bahwa Majjhima Nikaya dan Madhyama Agama sebagian besar memiliki doktrin utama yang sama.
Pengkajian juga telah dilakukan pada teks-teks lain yang lebih terpisah-pisah yang masih ada dalam koleksi Sanskerta, Tibet, dan Gandhāran. Andrew Glass telah membandingkan sejumlah kecil sutra Gandhāran dengan kesejajaran dengan Tibet, Pali, Sanskerta, dan Mandarin serta menyimpulkan bahwa ada kesatuan dalam doktrin mereka, terlepas dari beberapa perbedaan teknis.
Dalam puluhan tahun yang terakhir ini, setiap Waisak memilik arti yang semakin signifikan, terutama untuk generasi milenial.
Ruang dan waktu
Tentunya bisa kita bayangkan, dengan tenggang waktu dalam 2000 tahun dan tersebar di mana-mana yang berjarak jauh, tidak akan ada kesamaan dalam tradisi pembelajaran maupun dalam kecenderungan yang akan sangat dipengaruhi oleh kebudayaan lokal. Ini sudah dimulai tidak lama setelah Buddha parinirwana.
Maka terbentuklah berbagai tradisi, yang dimengerti oleh masyarakat setempat di waktu itu sebagai tradisi yang terbenar. Ini sangat bisa dimengerti.
Sekarang, di tahun 2021, dengan adanya internet, kita benar-benar sangat ‘beruntung’ karena kalau kita mau, kita akan dapat mempelajari atau paling tidak mengerti tentang tradisi-tradisi yang berlainan itu.
Oleh karena itu, seharusnya kita sekarang akan dapat lebih menghargai dan menghargai semua tradisi. Bukan berarti kita harus mencampur aduk tradisi-tradisi, tetapi sekarang, dengan pengetahuan cerdas, kita akan dapat mengenal dan melihat tradisi-tradisi dalam konteks yang lebih valid.
Tidak ada tradisi yang lebih tinggi, tidak ada tradisi yang lebih asli. Yang ada adalah berbagai tradisi ajaran Buddha yang pasti akan bisa bermanfaat bagi berbagai orang.
Ini juga bisa dimengerti sebagai salah satu sebab mengapa setiap tahun Waisak menjadi lebih signifikan, meskipun semua pesannya masih sama.
Ternyata tidak ada kumpulan ajaran yang ada dalam bahasa apa pun sekarang yang lebih “asli”, atau yang lebih “tua”. Jadi berarti ajaran Buddha yang pada awalnya diteruskan secara lisan lebih dari seribu tahun, ternyata sampai akhirnya tertulis, kesatuan doktrin dan isi inti ajarannya tetap sama. Ini sesuatu yang luar biasa!!
Vayadhammā saṅkhārā appamādena sampādethā
Semua pengalaman akhirnya tidak akan memuaskan, peduli, dan waspadalah supaya berhasil.
Berhasil, berarti akhirnya menang. Tidak seperti dalam sehari-hari yang mana kita selalu ingin menang dari orang lain, tetapi memenangi kepekatan cara pandang kita, sehingga kita dapat melihat dengan jernih, bahwa hanya dengan migunani tumpraping liyan, dengan berguna buat sesama kita akhirnya bisa menang dari kegelapan dan mulai hidup tergugah.
Selamat Waisak semuanya…
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara