Ketupat sebagai hidangan khas nusantara memiliki sejarah yang panjang dan berliku. Makanan yang kini identik dengan lebaran Idul Fitri di Indonesia dan negara jiran, ternyata berakar dari era kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia.
Bahkan kata kupat, akupat, khupat-khupatan telah muncul didalam Kakawin Kresnayana, Kakawin Subadra Wiwaha, dan Kidung Sri Tanjung. Sedangkan kata kupatay muncul dalam Kakawin Ramayana. Semua ini menunjukkan bahwa ketupat telah hadir jauh sebelum proses Islamisasi di nusantara pada abad 14-15 Masehi.
Meski berasal dari Indonesia, hidangan sejenis dengan nama serupa juga ada di negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Brunei, Thailand selatan dan Filipina. Corak agraris di negara-negara nusantara ini mengangkat tradisi pemujaan Dewi Sri yang adalah seorang dewi pertanian dan kesuburan. Bagi masyarakat agraris, Dewi Sri memegang peranan sakral bagi kemakmuran bangsa.
Kerajaan kuno nusantara yang bercorak Hindu-Buddha memuja sosok Dewi Sri. Menurut kepercayaan Hindu, Dewi Sri merupakan nama lain dari Dewi Laksmi, yang adalah salah satu dewi utama dalam agama Hindu. Bersama dengan Parvati dan Saraswati, ketiganya membentuk Trinitas Dewi Hindu (Tridewi).
Sedangkan dalam agama Buddha Mahayana, Dewi Sri merupakan penamaan bagi dewi-dewi agama Buddha Tibet. Biasanya beliau digambarkan dalam rupa menyeramkan menyerupai raksasa wanita di India. Dalam kebanyakan penampilannya, Dewi Sri ditampilkan bersama dengan sebuah bentuk spesifik Mahakala. Dalam bahasa Tibet, Dewi Sri disebut Palden Lhamo yang merupakan seorang dharmapala (pelindung dharma).
Sebagai perlambangan, Dewi Sri direpresentasikan dalam bentuk ketupat yang menjadi wujud syukur kepada Tuhan. Ketupat disajikan sebagai bagian dari ritual kenduri bagi masyarakat agraris. Demikian pula dengan hidangan lain bernama lepet yang juga telah ada sejak masa Hindu-Buddha. Kata ini juga muncul dalam Kakawin Ramayana dengan kalimat “manis enak awas luput ing lepet”. Kata ini juga muncul pada kitab Korawasrama.
Sejak masuknya Islam di tanah Jawa, ketupat perlahan bergeser menjadi hidangan khas lebaran. Ketupat lebaran dipopulerkan oleh Sunan Kalijaga pada abad ke-15 Masehi di Demak. Demikian pula dengan tradisi bakda kupat yang merupakan hasil akulturasi budaya Hindu-Buddha dengan Islam oleh para wali yang menyiarkan Islam kala itu. Seiring dengan jatuhnya kerajaan Hindu-Buddha dan berkembangnya agama Islam, ketupat menjadi simbol lebaran Idul Fitri.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara