• Saturday, 20 February 2021
  • Andre Sam
  • 0

Dalam catatan History of Java karya Thomas S. Raffles, di sana mencatat bahwa wong/orang Kalang merasa dihina oleh penduduk di sekitarnya yang sudah tinggal menetap. Wong Kalang direpresentasikan oleh orang Jawa sebagai keturunan anjing merah.

Raffles menerangkan bahwa wong Kalang termasuk baru menjalani hidup menetap setelah sebelumnya hidup berpindah-pindah dengan cara berjalan dari satu daerah ke daerah lain atau naik pedati yang beroda dengan poros berputar yang ditarik oleh dua pasang sapi atau lebih.

Penyebutan identitas wong Kalang sebagai keturunan anjing merah rupanya tidak berasal dari kalangan mereka sendiri, melainkan dicipta oleh orang Jawa untuk merendahkan orang-orang Kalang.

Ada juga mitos bahwa wong Kalang merupakan keturunan anjing dan babi merupakan anggapan orang Jawa Islam, dikarenakan wong Kalang masih memeluk keyakinan pra-Islam. Keberadaan wong Kalang saat era penyebaran dan perkembangan agama Islam di Jawa, masih tetap tinggal di hutan-hutan menjadi perhatian Sultan.

Khusus di era Sultan Agung (1613-1645) pada tahun 1936 mengumpulkan wong Kalang untuk kemudian diberi tempat agar tinggal secara menetap. Wong Kalang yang terbiasa hidup di hutan-hutan, dipaksa untuk tinggal dan menetap di desa-desa tertentu dan diberi tugas untuk mencari kayu dan menebang pohon.

Catatan VOC

Dari abad ke-18 M ditulis oleh Francois Valentyn dalam karyanya Beschrying van Groot Djava of te Java Major (1726), menyebutkan bahwa wong Kalang tinggal di hutan jati di pesisir utara Jawa.

Wong Kalang dicatat bekerja sebagai penebang kayu jati dan membayar upeti kepada penguasa Jawa, Kesultanan Mataram Islam yang berpusat di Kotagede.

Dalam peraturan VOC yang diterbitkan pada tahun 1747, wong Kalang disebutkan telah lama dianggap terpisah dari orang Jawa, yang dalam bahasa Belanda diistilahkan, Als een volk geconsidereert zyn geworden.

Pemisahan tersebut disebabkan masyarakat Jawa pada umumnya tidak mau dipersamakan dengan wong Kalang yang masih tinggal dengan pola berpindah-pindah di dalam hutan jati pesisir utara Jawa.

Berdasar sumber prasasti

Dalam catatan arkeologi dari masa Hindu-Buddha, istilah kalang pertama kali ditemukan dalam beberapa prasasti yang dikeluarkan oleh raja-raja Mataram kuna.

Istilah tersebut tercantum dalam prasasti-prasasti masa klasik yang diterbitkan pada kurun 804 – 943 M, ketika Kerajaan Mataram kuna masih berpusat di wilayah Jawa bagian tengah.

Kalang, pada masa itu merupakan kelompok masyarakat yang menerima pasek (hadiah) setelah menghadiri upacara pemberian sima (manusuk sima) kepada suatu desa. Sebuah istilah yang merujuk pada kelompok masyarakat dengan profesi tertentu, yang berkaitan dengan perkayuan atau kegiatan mendirikan bangunan.

Salah satu prasasti yang pertama kali menyebutkan istilah kalang adalah Prasasti  Harinjing A, berangka tahun 726 Saka/804 Masehi. Uraiannya menyebutkan jabatan tuha Kalang, yang merujuk pada pimpinan orang-orang Kalang. Adapun jabatan tersebut dijabat oleh seorang yang bernama Diman Wanua.

Jika ditambahkan prasasti lainnya, ada beberapa prasasti yang menyebut tentang wong Kalang, seperti Prasasti Kamalagi (831 M), Prasasti Salingsingan (880 M), Prasasti Wuatan Tija (880 M), Prasasti Lintakan (902 M), Prasasti Sangguran (928 M), dari keseluruhan prasasti setidaknya menyebut tentang Kalang dan nama tuha/pemimpin wong Kalang.

Menilik pada banyaknya prasasti yang menyebut perihal kalang, dapat ditafsirkan bahwa wong Kalang atau segala sesuatu yang berhubungan dengan wong Kalang dikenal meluas pada abad 9-10 M.

Masa klasik

Dalam konteks saat itu era Hindu-Buddha, istilah kalang dapat diartikan sebagai pejabat desa yang bertugas di bidang perkayuan. Peran dan kedudukan mereka tampaknya cukup penting, yang ditandai dengan serangkaian wakil kelompok wong Kalang yang diundang untuk menghadiri upacara penetapan sima dan mendapat hadiah dari raja atau pejabat kerajaan, terlebih disebutkan dalam prasasti.

Wong Kalang berjasa dalam membuat bangunan dari kayu atau para penguasa. Dalam era Majapahit Hayam Wuruk istilah istilah kalang muncul dalam Prasasti Penambangan atau Canggu (1358). Era Majapahit, kalang merujuk pada profesi penarik pedati.

Pedati wong Kalang digunakan untuk perabotan dan barang dagangan serta penumpang melewati kerajaan dan menyeberangi beberapa sungai. Meski demikian, banyak sumber tertulis lain menyiratkan bahwa orang-orang Kalang tetap sebagai penghuni hutan, namun sangat mungkin juga banyak di antara mereka yang “keluar hutan” dan tinggal bersama penduduk Majapahit pada umumnya.

*Disarikan dari buku Tuha Kalang, Orang-orang Kalang dalam Kebudayaan Jawa. Karya Agus Aris Munandar, Aditya Revianur, Deny Yudo Wahyudi. Penerbit Weda Widya Sastra. 2018.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *