• Monday, 13 July 2015
  • Hendrick Tanu
  • 0

“Tempat ini dulunya markas musisi gereja, kebaktian gereja. Untuk pertama kalinya, for the first time, tempat ini digunakan untuk menyalurkan aspirasi musik Dhamma.”

Itulah kalimat pembuka Irvyn Wongso, pengusaha muda pemilik Nuansa Musik sekaligus Wakil Presiden Buddhist Fellowship Indonesia di hadapan 50 musisi muda yang sedang mencari identitas, haus mencari keterhubungan praktik Dhamma dengan dunia musik. Ada yang pernah rekaman lagu Buddhis, tapi ada juga yang baru sebatas aktif mengiringi puja bakti di vihara dengan musik. Kebanyakan berlatar belakang vokalis, namun juga ada pianis, gitaris, violis, dan drummer.

Mereka datang di aula Nuansa Musik, Kelapa Gading, Jakarta pada Sabtu (11/7/2015) kebanyakan ingin tahu apa itu True Direction yang baru saja digagas oleh Irvyn Wongso.

Sejak ide True Direction digaungkan oleh Irvyn, terutama melalui Facebook, banyak peminat berdatangan bahkan sampai dari luar negeri. Irvyn bercerita bagaimana ia beberapa kali dihubungi komunitas Buddhis di beberapa negara yang memintanya untuk membuat lagu Buddhis, termasuk menjadi lagu resmi International Tipitaka Chanting yang rutin diadakan di Bodhgaya. Ternyata, kebutuhan akan musik Buddhis yang penuh kental akan nilai-nilai Dhamma bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia.

“Di vihara kebanyakan musik hanya lagu Mari Berdana, lalu level kedua cuma pakai single keyboard dan ada beberapa yang sudah bentuk band,” ujar Aristo dari Nuansa Musik. “Tetapi membentuk band saja tidak cukup.”

Merintis musik yang up to date dan tidak ketinggalan zaman di kalangan Buddhis tidaklah mudah. “Butuh muka tebal dan keberanian, sedikit yang menghargai, banyak yang mau menjatuhkan,” ujar Irvyn. Masih banyak vihara yang menolak musik diputar di dalam lingkungan vihara dengan alasan musik mengganggu perkembangan spiritual.

Alhasil, ketika Buddhis membutuhkan musik, terpaksa kita harus meminta bantuan pihak-pihak non-Buddhis yang sudah berpengalaman. Irvyn mencontohkan, pertunjukan orkestra DAAI TV baru-baru ini membayar Addie MS yang bukan seorang Buddhis. Begitu juga, jika kita semua ingat, album instrumen meditasi Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta yang digarap Bhante Uttamo juga lagi-lagi bekerjasama dengan Addie MS.

Irvyn juga mengalami sendiri. Sejak lagu Semoga Semua Hidup Berbahagia yang ia unggah di Youtube ditonton banyak orang, serta dipentaskan di acara Tribute to Buddha’s Legacy 2015 belum lama ini, akhirnya lagu tersebut ia bikin album karena banyak permintaan. Untuk mengerjakan albumnya tersebut, ia terpaksa mengajak para musisi bukan Buddhis, karena mereka lebih ahli.

“Band saya nantinya juga 50% terdiri atas teman-teman JPCC (Jakarta Praise Community Church) dan orang-orangnya Erwin Gutawa,” cerita Irvyn, “Saya sebenarnya tidak mau menyanyi dan membuat album, ini bukan mimpi saya, tetapi karena banyak sekali umat Buddha yang meminta dan membutuhkannya. Saya sebenarnya lebih suka duduk meditasi.”

Ia juga menyayangkan banyak umat Buddha yang hanya bisa mengkritik pertunjukan musik Buddhis, namun sebaliknya umat agama lain seperti umat Kristiani dan Muslim malah banyak yang memberi jempol atas gebrakan musik yang diadakan oleh muda-mudi Buddhist Reborn lewat Tribute to Buddha’s Legacy 2015: #WakeUpSpeakUp. Sikap yang tidak apresiatif ini juga membuat penjualan album-album Buddhis mengalami kendala serius.

Untuk menjawab tantangan dunia musik Buddhis ini, inilah solusi Irvyn: “Musik Buddhis harus bisa naik level, naik ke tingkat yang selanjutnya, harus berkelas. Tidak sekedar jerit-jerit, tidak sekedar chanting seperti Chant of Metta. Banyak elemen yang harus dipertimbangkan di dunia musik. Suara yang indah harus pas dengan jenis musiknya. Chant of Metta itu chanting, tapi bukan lagu yang tepat karena bahkan tidak ada chorus dan interlude. Ada yang bilang lagu Buddhis harus seperti Imee Ooi, namun belum tentu seperti itu yang cocok buat anak muda.”

Problem lainnya adalah kebanyakan musik Buddhis sekarang ini tidak mengikuti perkembangan zaman, bahkan tak jarang yang copycat (meniru). “Bahkan The Beatles yang legenda itu juga, kalau launching sekarang, gak bakal berhasil,” Irvyn memberi contoh.

Lagu-lagu Kristiani dapat menjadi contoh buat dipelajari. Banyak orang yang salah kaprah menyamakan lagu-lagu pujian gereja sama dengan lagu-lagu pop, padahal genrenya itu berbeda. Bahkan lagu Natal kini menjadi satu genre sendiri. Setiap bulan mereka terus-menerus membuat lagu baru sehingga bisa terus up to date dengan kondisi zaman.

Irvyn juga menekankan pentingnya praktik Dhamma, bukan hanya sekedar bermain musik saja. “Musisi inginnya berekspresi sebebas-bebasnya. Masalah mereka adalah hati mereka terbuka namun pikirannya tertutup. Jika kalian cuma mau ajang menunjukkan bakat kalian, maka kalian seharusnya tidak di tempat ini. Di sini kita benar-benar mau praktik Dhamma lewat musik,” tegas Irvyn. Irvyn menegaskan, anggota True Direction harus telah mempraktikkan Dhamma terlebih dahulu sebelum menyebarkan Dhamma melalui musik. Harus lebih dulu merasakan manfaat Dhamma, sebelum berbagi kepada orang lain melalui musik.

Tak jarang bakat-bakat musik Buddhis terpaksa berkarya di tempat ibadah agama lain karena di vihara-vihara mereka tidak dihargai oleh umat Buddha sendiri. Devi Chayadi, salah satu penggerak True Direction, membabarkan kenyataan pahit, “Banyak dari kita menyanyi di vihara cuma berpikir buat perform. Lalu setelah bermain, beberapa lama orang-orang mulai meninggalkan kita, dan kita pun merasa tidak mau jadi Buddhis lagi.”

Pernyataannya dibenarkan Irvyn, “True Direction menciptakan ladang musik buat mengapresiasi bakat-bakat musik. Di sinilah ladang itu dan ini harus menyebar. Tidak hanya musik, tetapi Dhamma. Kita bukan mau buat Buddhis kharismatik, kita tidak mau buat sesuatu yang menggantikan puja bakti, kita hanya mau buka pintu bagi mereka yang belum punya cukup parami (kebajikan) untuk bisa duduk mendengar Dhamma di vihara..”

Menurutnya, tidak semua orang memiliki level yang sama dalam belajar Dhamma. Bagi banyak pemula, lagu Buddhis adalah salah satu pintu masuk paling menarik untuk mengenal Dhamma karena lebih mengena dan menyenangkan. Irvyn juga menyebut dirinya bisa kenal Dhamma seperti saat ini karena dulu sering mendengar lagu-lagu Buddhis karya Bhikkhu Girirakkhito, Jan Hien, Darmadi Tjahjadi, dan lain-lain. Ia juga sedang memikirkan cara agar bisa merangkul para musisi Buddhis senior tersebut agar bisa berkarya bersama-sama memajukan musik Buddhis.

20150713 True Direction Menyebarkan Dhamma Melalui Musik_2  20150713 True Direction Menyebarkan Dhamma Melalui Musik_3

Sontak para jiwa muda yang hadir saat itu semuanya bertepuk tangan. Dan kobaran semangat itu langsung disalurkan dengan ngejam bareng. Para musisi muda yang sebelumnya belum saling kenal, apalagi bermain musik bersama, langsung bisa melebur menyanyikan tiga buah lagu: Only Dhamma is My Way, Tiada Badai, dan Semoga Semua Hidup Berbahagia.

Mereka pun akhirnya sepakat untuk secara rutin berkumpul dan mengasah kemampuan bermusik secara bersama-sama, rencananya setiap dua minggu sekali tiap hari Sabtu di kantor Nuansa Musik. Irvyn juga berjanji akan mendatangkan guru-guru terbaik untuk mengajar teknik bermusik yang baik. Dan setelah kemampuan bermusik mereka berkembang, mereka tetap akan kembali ke vihara atau komunitas masing-masing untuk berkontribusi kepada Dhamma melalui musik.

“Acara ini keren. Baru kali ini berasa musik Buddhis dihargai, selama ini tampil ya cuma tampil,” ujar Selyana dari Vihara Theravada Buddha Sasana, “Sebenarnya banyak talent Buddhis pengin ke vihara, tapi ga ada seru-serunya. Jadi mereka pindah (agama) deh.”

“Awalnya gue datang ingin tahu True Direction seperti apa, ternyata untuk menyebarkan Dhamma dengan konsep yang fresh, yang cocok dengan anak muda,” tambah musisi muda yang lain, Harris Kristanto, yang beberapa kali manggung di kafe.

“Musik Buddhis saat ini tidak jelek, tapi yang namanya selera kan mengikuti zaman. Jadi kalau kita ingin Dhamma tetap didengar anak muda, kita harus mengubah konsep kita menjadi lebih fresh. Tapi tentunya tidak melenceng dari Dhamma,” Harris menambahkan.

Dan memang itu misi True Direction, seperti ditegaskan oleh Devi Cahyadi, “Kita nyanyi bukan untuk tampil atau menghibur, tapi untuk menyebarkan Dhamma.”

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *