• Sunday, 10 November 2019
  • Sasanasena Hansen
  • 0

Kaisar Taizong (627 – 650) mensponsori proyek terjemahan biksu Xuanzang (600-664M) setelah beliau kembali dari India dengan ratusan kitab buddhis berbahasa Sanskerta. Demikian pula pada periode singkat pemerintahan Maharani Wu Zhao (690-705M), pengadilan Tang dan para administrator Kong Hu Cu mengambil sikap yang lebih toleran kepada umat Buddha dengan membiarkannya berkembang.

Naiknya Maharani Wu Zhao sebagai kaisar perempuan satu-satunya di Tiongkok mengubah tatanan Kong Hu Cu dan Buddha di kerajaan itu. Dengan naiknya beliau sebagai kaisar, hal ini bertentangan dengan prinsip ideologi tradisional Kong Hu Cu yang mendukung kepemimpinan seorang pria daripada wanita. Akibatnya, Maharani Wu Zhao melakukan pembersihan dan reformasi dalam sistem pengujian resmi pejabat penganut Kong Hu Cu.

Selama dinasti Song (960-1279M), hubungan antara cendekia Kong Hu Cu dan biksu/ni Buddha menjadi lebih baik. Pemerintahan Song mendukung proyek-proyek penerjemahan kitab-kitab buddhis, menyokong para penganut aliran Chan, dan memfasilitasi debat dan diskusi terkait kebijakan sosial dan pendidikan. Su Shi (1036-1101M) seorang cendekia Kong Hu Cu berpendapat bahwa budaya Tiongkok (Kong Hu Cu) dapat bertahan melalui literatur.

Dia menganggap ajaran-ajaran Buddha tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Kong Hu Cu dan para biksu/ni terutama dari aliran Chan, dapat menghargai nilai-nilai budaya Tiongkok yang ada, bahkan mewariskannya. Pada masa-masa pertukaran ini, muncullah Neo Kong Hu Cu, yang meskipun mencela praktik monastik (berselibat) tetapi meminjam banyak gagasan dari agama Buddha Chan seperti transmisi dan pengembangan diri.

Selama Dinasti Ming (1368-1644M), pejabat Kong Hu Cu bernama Wang Yangming (1472-1529M) mulai belajar ajaran Buddha dan mempraktikkannya untuk menciptakan sebuah praktik meditasi Kong Hu Cu yang disebut sebagai duduk diam (jingzuo). Wihara-wihara menjadi pusat pembelajaran dan pusat budaya. Selama Dinasti Ming dan Qing (1644-1911M) agama Buddha telah terintegrasi seutuhnya dan menjadi bagian dari Tiga Ajaran dalam agama tradisional Tiongkok.

Tiga Ajaran ini adalah Kong Hu Cu, Tao, dan Buddha. Ketiganya diakui sebagai ajaran yang membentuk akar budaya masyarakat Tionghoa. Akibat interaksi yang panjang antara ketiganya, sulit untuk menggambarkan batasan-batasan antara ketiga ajaran ini di dalam budaya Tionghoa. Setiap elemen yang ada saling memperkaya satu sama lain dan tidak dapat lagi diklaim sebagai bagian eksklusif dari satu ajaran tertentu.

Selama lebih dari dua milenia interaksi ketiganya terjadi. Tidak dapat dipungkiri jalan panjang dan berliku agama Buddha untuk diterima sebagai satu-satunya agama impor yang sukses menjadi akar budaya masyarakat Tionghoa. Filosofi Kong Hu Cu yang bermula pada Dinasti Zhou bertemu dengan Tao yang berkembang selama Dinasti Han seolah menjadi kekuatan besar yang menghadang pengenalan dan perkembangan agama Buddha di daratan Tiongkok. Namun berkat kegigihan misionaris buddhis dalam memperkenalkan ajaran Buddha kepada masyarakat umum, agama Buddha mulai menjadi populer sejak pemerintahan Dinasti Tang.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *