• Monday, 9 September 2019
  • Ravindra
  • 0

Dari beberapa dusun yang kami datangi ternyata dinamika pertumbuhan umat Buddha selalu mengalami penurunan yang signifikan, satu dusun yang dulunya mayoritas sekarang banyak yang hanya tinggal 4-5 KK saja. Bahkan ada yang sampai umatnya sudah hampir punah diterjang kerasnya zaman.

Klaten adalah kota metropolis yang bersinar menerangi peradaban Jawa dan Nusantara pada zamannya. Tegaknya Klaten hari ini tentu tidak terlepas dari peran para raja-raja masa lalu. Sanjaya, Pikatan, dan Kayuwangi adalah orang-orang yang namanya terkenal hingga ke mancanegara dalam corak Hindu Buddha, seperti India dan China, mulai dari kerajaan Chola hingga kekaisaran dinasti Tang.

Mereka adalah para leluhur yang merupakan manusia-manusia luar biasa dengan karya peradaban yang bisa dinikmati oleh kita hari ini dan berabad-abad kemudian. Klaten merupakan kota seribu candi, di kota ini kita bisa menemukan banyak candi dengan sejarah yang luar biasa. Seperti: Candi Plaosan, lokasi: Jl. Candi Plaosan, Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten. Candi Sojiwan, lokasi: Jalan Jogja-Solo, Kebon Dalem Kidul, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten. Candi Sewu, lokasi: Tlogo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten. Dan masih banyak lagi.

Kebesaran peradaban Hindu dan Buddha pada masa itu cukup menarik untuk kita amati, seperti kisah cinta romantis di candi Plaosan yang dimulai ketika Rakai Pikatan memutuskan untuk menikah dengan Pramordhawardani. Walaupun hubungan percintaan mereka menimbulkan banyak penolakan, karena perbedaan agama yang mereka anut.

Rakai Pikatan berasal dari Dinasti Sanjaya yang menganut agama Hindu, sedangkan Pramordhawardani berasal dari Dinasti Syailendra yang menganut agama Budha. Keputusan mereka untuk menikah yang didasari oleh rasa cinta dengan menerima perbedaan keyakinan yang dimiliki. Rakai Pikatan membangun candi sebagai lambang rasa cintanya kepada sang istri. Serta, keputusan Rakai Pikatan untuk memberikan kebebasan kepada sang istri untuk menganut agama yang berbeda.

Candi Plaosan adalah bukti nyata bahwa kekuatan cinta dapat menjadi alat untuk menyatukan perbedaan, serta menjadi simbol toleransi umat beragama. Kisah ini tentunya menjadi semangat bagi kita untuk bisa bertoleransi pada perbedaan agama, bahwa tak selamanya pernikahan menimbulkan kekisruhan yang berkepanjangan yang berdampak pada statistik penganut agama Buddha saja. Rantai Pikatan dan Pramordhawardani membuktikan bahwa kita bisa berjalan beriringan tanpa saling meninggalkan kepercayaan. Namun mungkinkah sikap itu masih relevan di zaman kini?

Kami GEMBI (Generasi Milenial Buddhis Indonesia) menemukan hal-hal yang cukup serius ketika melakukan perjalanan ke desa-desa di wilayah Klaten. Walaupun tidak ada satu pun yang kami kenal di kota itu, dengan segala keterbatasan yang kami miliki, karma baik membawa kami bisa bertemu dengan umat di beberapa wilayah seperti di Desa Kemudo, Dompol, dan Kotesan. Selain ke vihara-vihara kami pun menginap dari rumah umat yang satu ke rumah umat yang lainnya.

Tidak hanya untuk istirahat dan “nyambung balung/golek seduluran” kami pun melakukan observasi kecil-kecilan tentang pertumbuhan umat di sana dan peran pemerintah terhadap umat Buddha.

Fenomena penurunan umat Buddha?

Apa sebetulnya yang menyebabkan hal ini bisa terjadi? Mayoritas umat yang kami datangi menjelaskan bahwa ini terjadi karena banyak anak muda di desa yang merantau ke kota dan menikah dengan pacarnya yang kemudian ikut ke agama pacarnya dan meninggalkan agama Buddha. Padahal potensi di desa sangatlah besar asalkan kita memiliki komitmen dan semangat membangun perekonomian yang maju dan mandiri seperti petuah seorang tokoh yang rumahnya kami inapi.

Betul memang, dari semua orang yang kami temui di desa sebagian besar adalah sepuh-sepuh yang profesinya adalah petani kebun dan padi, jarang sekali kami melihat umat yang masih muda. Namun ini bukan soal muda atau tua yah, ini tentang mengapa jumlah umat kita terus menukik tajam ke bawah dan perlunya kesejahteraan ekonomi di desa sehingga sektor keagamaan dapat dilalui dengan tenang. Apalagi soal perkawinan, ini memang cukup rumit, sebab cinta sungguh mulia dan tidak bisa di tebak, ia mengharuskan keduanya saling membahagiakan.

Kisah Rantai Pikatan dan Pramordhawardhani itu misalnya, mereka menjelaskan bahwa hidup tidak selalu hitam dan putih, masih banyak warna yang bisa kita lihat dan pilih. Sesungguhnya inilah masalah yang sangat krusial yang harus menjadi perhatian seluruh umat, Bimas dan Majelis. Terutama adalah pembentukan mental para pemuda agar bisa meneruskan proses kaderisasi keumatan, dan sepatutnya para pemuda diberi kemudahan dalam posisi-posisi strategis majelis dan pemerintahan agar tidak terjadi politik dinasti yang membawa kemunduran terhadap pola pikir keumatan, sekaligus penyegaran wajah agama Buddha dengan para pemudanya.

Yang lebih menarik lagi adalah soal pendataan, Dalam data Badan Pusat Statistik Kota Klaten yang diperbaharui pada tahun 2018, jumlah umat Buddha Tahun 2014 ada sejumlah 922 dan yang mengejutkan di tahun 2015 ada sejumlah 466.000. Sedangkan menurut data Badan Pusat Statistik Jawa Tengah jumlah umat di Klaten ada sekitar 200.

Bukan hanya Anda, saya juga bingung berapa sebenarnya jumlah umat kita ini, ketimpangan data seperti ini adalah bukti bahwa pemerintah seperti tak niat mendata dan mengurus umat kita, lalu pertanyaannya adalah selain gunting pita, apa sebetulnya kerja pihak-pihak terkait? Saya khawatir bahwa persoalan pendataan yang semerawut ini tidak hanya terjadi di Klaten saja namun terjadi juga di seluruh wilayah Republik Indonesia.

Di tengah cepatnya arus informasi dalam Revolusi Industri 4.0 yang bahkan sudah sampai Society 5.0 ini, seharusnya bukan hal yang sulit untuk serius dan fokus dalam pendataan yang kemudian akan berdampak pada ploting program-program Bimas Buddha yang seharusnya menjadi dasar dari Renstra untuk mewujudkan kesejahteraan umat dari mulai desa hingga kota. Jika datanya saja kacau balau, apakah semua program akan tepat sasaran? Atau malah program-program selama ini hanya di nikmati oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dengan KKNnya.

Zaman orde baru menjadi titik kelam perkembangan umat kita, mulai dari dipersulitnya pernikahan, kependudukan dan bahkan KTP yang sering diselewengkan status keagamaan nya. Lalu apakah kita tidak belajar dari itu semua dan mulai memikirkan bagaimana agama Buddha bisa kembali jaya seperti masa-masa dahulu seperti masa Asoka,Syailendra dan Sriwijaya (Yang belakangan di anggap Fiksi). Pola-pola pembangunan fisik tentu saja diperlukan, namun itu bukan tujuan.

Tujuan kita adalah pembebasan manusia dari belenggu penindasan, dan kita tentunya tak bisa berharap banyak pada para elit Buddhis di Jakarta. Kita harus rapatkan barisan dan turun langsung untuk umat di desa-desa sebagai bentuk kesadaran praksis dan pengabdian kepada sejarah, umat, bangsa dan negara.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *