• Friday, 23 August 2019
  • Sasanasena Hansen
  • 0

Mungkin kita pernah melihat orang-orang yang tidak mengenal Dhamma mencemooh para bhikkhu/ni yang sedang berpindapatta/pindacara. Mereka melihat para bhikkhu/ni tersebut seperti para pengemis yang menerima sedekah makanan dari orang lain. Di sisi lain, tak jarang pula umat Buddha yang menolak anaknya yang ingin menjadi seorang bhikkhu/ni. Sebagai orangtua, mereka khawatir bila anaknya hidup sengsara dengan mengemis belas kasihan.

Tetapi benarkah para bhikkhu/ni ini mengemis? Bila merujuk dari artinya, kata bhikkhu itu sendiri adalah “dia yang hidup dari pemberian”. Meskipun demikian, terdapat perbedaan antara seorang bhikkhu dengan seorang pengemis. Dalam proses pindapatta, para bhikkhu/ni tidak boleh mengucapkan kata-kata meminta, tetapi umatlah yang dengan sadar menyokong kelangsungan hidup para bhikkhu/ni dengan memberikan dana makanan.

Ketika mereka sedang berpindapatta, para bhikkhu/ni akan berjalan menunduk ke bawah dan berhenti bilamana ada umat yang meminta mereka untuk berhenti dan menerima persembahan. Mereka tidak diperkenankan pula untuk menarik perhatian seperti bermain alat musik (pengamen) dan lain-lain. Perbedaan selanjutnya terletak pada tujuan dari perbuatan tersebut. Seorang pengemis meminta-minta dengan tujuan mengisi perutnya yang kosong ataupun tujuan lainnya.

Seorang bhikkhu/ni menerima persembahan dengan tujuan melatih diri mereka agar hidup sederhana, belajar menghargai persembahan, melatih sati (perhatian) dan menjalani kehidupan suci, serta memberikan kesempatan bagi para umat untuk berbuat kebaikan. Dilihat dari tujuannya, maka berdana kepada para bhikkhu/ni menjadi ladang subur untuk menanam kebajikan bagi para umat.

Dengan demikian, pindapatta yang dilakukan memiliki makna spiritual yang lebih mendalam daripada sekadar berdana. Tradisi ini mencerminkan simbiosis mutualisme antara dua kelompok dalam sebuah komunitas – para bhikkhu/ni dan para umat sebagai penyokong. Para bhikkhu/ni membutuhkan sokongan dari umat agar dapat fokus menjalani kehidupan suci dan terus berlatih dhamma, sedangkan para umat membutuhkan nasihat dan panduan hidup dari para bhikkhu/ni agar mereka dapat menjalani kehidupan dengan lebih baik.

Mengapa harus dipertahankan?

Pindapatta adalah sebuah tradisi yang telah berlangsung sejak zaman kehidupan Buddha Gautama. Hingga saat ini di negara-negara Theravada seperti Thailand dan Myanmar, para bhikkhu/ni berpindapatta setiap hari. Hal ini tidak saja bermanfaat bagi kelangsungan hidup para bhikkhu/ni, tetapi juga sangat bermanfaat bagi para umat karena artinya para umat awam memiliki kesempatan untuk melakukan kebajikan (puñña).

Praktik pindapatta ini juga dapat menjadi sebuah latihan yang baik bagi para bhikkhu. Melakukan pindapatta membutuhkan kesabaran yang luar biasa. Ini adalah latihan untuk menumbuhkan kesabaran (khanti) – suatu nilai yang penting dalam latihan Buddhis.

Seorang bhikkhu yang baru memulai praktik ini mungkin akan merasa sungkan dan malu. Dia harus berjalan jauh untuk mencari umat yang bersedia memberikan persembahan. Mungkin pula dia harus menunggu beberapa lama sebelum umat memberikan persembahannya. Atau yang lebih buruk, hari itu dia tidak menemukan umat yang bersedia memberikan dana sehingga dia harus kembali dan berlatih lagi.

Selama pindapatta, para bhikkhu tidak mengenakan alas kaki. Mereka harus berusaha untuk menghindari melukai makhluk hidup lain ketika sedang berjalan (avihiṃsā). Di sini mereka diharuskan untuk melatih kesadaran/perhatian murni (sati) mereka. Sebagaimana yang disampaikan oleh Buddha dalam Dhammapada 49:

Bagaikan seorang kumbang mengumpulkan madu dari bunga-bunga tanpa merusak warna dan baunya;
demikian pula hendaknya orang bijaksana mengembara dari desa ke desa.

Sebaliknya bagi para umat awam, praktik pindapatta ini harus tetap dilestarikan karena membawa manfaat besar bagi mereka sendiri. Dalam ajaran Buddha, penekanan diberikan pada praktik kebajikan (puñña) yang dapat dilakukan melalui sepuluh cara.

Cara pertama dan termudah adalah berdana. Berdana dapat dilakukan oleh siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Berdana kepada para bhikkhu/ni dapat berupa dana makanan, jubah, tempat tinggal, dan obat-obatan. Berdana kepada para bhikkhu/ni adalah ladang menanam kebajikan tertinggi di dunia. Sebagaimana yang disampaikan dalam Dhammapada 332:

Berlaku baik terhadap ibu
berlaku baik terhadap ayah
juga merupakan kebahagiaan.
Berlaku baik terhadap pertapa
merupakan suatu kebahagiaan dalam dunia ini;
berlaku baik terhadap para Ariya
juga merupakan kebahagiaan.

Selain itu, dengan berdana para umat juga telah berlatih untuk mengikis dan melepaskan kemelekatan material sedikit demi sedikit. Ketika berdana, mereka harus meluruskan niat dan pikiran mereka agar dapat memberikan manfaat yang lebih besar. Manfaat berdana kepada para bhikkhu/ni yang dianggap sesepuh tertuang dalam Dhammapada 109:

Ia yang selalu menghormati dan menghargai orang yang lebih tua,
kelak akan memperoleh empat hal, yaitu:
umur panjang, kecantikan, kebahagiaan, dan kekuatan.

Namun tradisi ini bukannya tidak mendapat tantangan. Di negara-negara Mahayana, praktik pindapatta hampir tidak ada lagi. Budaya di Tiongkok, Korea dan Jepang menolak gagasan pindapatta ini. Dikisahkan sekelompok bhikkhu pertama di Korea pada masa Dinasti Silla dipukuli karena kompetisi dengan agama lain dan mereka adalah minoritas.

Di negara-negara Himalaya, pindapatta akan sangat membebani umat yang hidupnya sudah kekurangan. Semua ini menyebabkan komunitas Sangha di sana untuk berpikir kreatif melakukan tradisi ini. Banyak dari mereka yang pada akhirnya menanam sayur sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup komunitasnya. Contoh unik adalah komusō, biksu pengelana di Jepang.

Mereka berkelana ke seluruh Jepang sambil membawa seruling (shakuhachi) untuk memainkan honkyoku sebagai praktik meditatif suizen dan untuk menarik perhatian masyarakat sehingga mereka mau berdana.

Cara yang benar

Penting bagi umat untuk mengetahui cara yang benar dalam memberikan persembahan dana. Pertama terkait jenis makanan yang bisa didanakan. Ini meliputi semua makanan yang sudah dimasak seperti nasi, sayur mayur, kue dan buah-buahan yang sudah dipotong.

Sebaiknya makanan ini dikemas dalam wadah yang bersih. Makanan yang belum dimasak seperti beras atau mie instan dapat didanakan langsung ke wihara, tetapi jangan dimasukkan ke dalam mangkuk bhikkhu/ni. Makanan ini bisa diberikan kepada para sukarelawan yang membantu prosesi pindapatta. Buah-buahan yang belum dipotong dapat pula diberikan kepada para sukarelawan. Para bhikkhu tidak menerima daging, telur atau ikan yang belum dimasak. Yang terpenting tentunya adalah berdana dengan sepenuh hati.

Upasaka Sasanasena Seng Hansen

Sedang menempuh studi di Australia.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *