Dangdut merupakan salah satu aliran seni musik populer tradisional Indonesia yang khususnya memiliki unsur-unsur Hindustani (India), Melayu, dan Arab. Dangdut bercirikan dentuman tabla (alat musik perkusi India) dan kendang. Dangdut juga sangat dipengaruhi dari lagu-lagu musik India klasik dan Bollywood.
Kemunculan dangdut koplo turut membawa pemain kendang ke lampu sorot. Di atas panggung dangdut koplo, pemain kendang adalah pusat dari segalanya. Ia menentukan ritme, mengatur kapan mesin joget digeber. Yang akan dibicarakan di tulisan bukanlah para seniman alat tepuk itu. Ada hal lain yang lebih dari sekadar alat pukul.
Alat musik tradisional yang dipukul – cara untuk memainkan alat musik tradisional ada bermacam-macam ada yang digesek, dipetik, ditiup, dan sesuai dengan tulisan ini yaitu dipukul. Memukul alat musik tradisional ada berbagai macam cara, ada yang menggunakan alat untuk memukulnya contohnya adalah kolintang.
Alat musik pukul jenis ini mempunyai nada, sedangkan alat musik yang cara memainkan tanpa memerlukan alat bantu kecuali tangan adalah kendang. Kita tidak bisa memainkan alat musik yang seharusnya dipukul menggunakan alat tapi kita pukul menggunakan tangan, begitu juga sebaliknya. Untuk memainkan alat musik yang dipukul tidak boleh sembarangan, kita memerlukan teknik khusus yang didapatkan dengan cara berlatih.
Baca juga: My Dream: Gema Musik dan Tarian Kebangkitan
Pada masa perkembangan budaya Hindu-Buddha di Indonesia, terdapat para seniman musik pukul di Nusantara. Hal itu dapat diketahui dari adanya penyebutan profesi tersebut pada prasasti ataupun relief di candi.
“Mapadahi”, adalah sebuah profesi yang dimasukkan dalam daftar pejabat kerajaan “watak i jro” atau golongan dalam. Mereka adalah abdi dalem yang mendapatkan upah dari raja. Menurut kamus, “mapaḍahi” berasal dari “paḍahi”, artinya kendang. Mapadahi merujuk pada pengendang. Dalam upacara penetapan sīma, para pekerja seni juga hadir dan mempertunjukkan keahlian mereka di depan masyarakat. Para seniman itu tergabung dalam sebuah kelompok, salah satu buktinya terdapat dalam prasasti Mulak 800 Saka yang menyebutkan tokoh Si Kuwuk yang hadir dalam upacara sima serta mendapatkan hadiah berupa kain sepasang.
Para seniman itu juga membayar pajak, karena mereka adalah pekerja profesional yang bekerja untuk mata pencaharian. Hal ini bisa dibaca dari prasasti Wanua Tnah III, Pras Cane, Pras. TurunHyaŋ dan banyak prasasti lain.
Di dalam tradisi Buddha Mahāyāna, terdapat arca kelompok dewi kesenian. Arca dewi-dewi tersebut antara lain:
Mukunda, adalah dewi yang memainkan alat musik jenis kendang. Dalam mandala wajrasattva dan wajramrta digambarkan berwarna putih (sita). Mukunda digambarkan dalam sikap sattwaparyankasana di atas padmasana, tangan kiri memegang kendang (mukunda) yang diletakkan di atas pangkuan, tangan kanan dalam posisi menabuh alat musik tersebut. Tali selendang diselempangkan pada pundak kiri.
Muraja, adalah dewi yang memainkan alat musik yaitu tamborin (India: tabla). Dalam mandala wajrasattva dan wajramrta, dewi ini digambarkan berwarna asap (gelap) yang bervariasi antara kelabu, merah tua, dan ungu (dhumra warna). Muraja digambarkan duduk di alas padmasana dalam sikap sattwaparyankasana. Kedua tangannya dalam posisi memainkan tiga buah tamborin yang berada di depannya. Motif kain yang dikenakan Muraja semacam motif ceplok.
Alat musik sebagai salah satu rasa dan karsa dalam alam pikiran masyarakat pada masa itu telah diabadikan menjadi karya seni untuk berbagai keperluan. Hal ini menegaskan bahwa manusia sejatinya tidak bisa dipisahkan dari alat musik.
Goenawan A. Sambodo
Seorang arkeolog, Tim Ahli Cagar Budaya Temanggung, menguasai aksara Jawa kuno.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara