• Saturday, 29 December 2018
  • Victor A Liem
  • 0

“Sinau ngraosake lan nyumerepi tunggalipun manungsa,tunggalipun rasa, tunggalipun asal lan maksudipun ngagesang” RMP Sosrokartono)

Terjemahan, “Perlu belajar ikut merasakan dan mengetahui bahwa manusia itu satu, rasa itu satu, berasal dari tempat yang sama, dan belajar memahami arti dari tujuan hidup.”

Orang bisa percaya bahwa hidup ini diatur oleh Tuhan maupun tidak. Percaya ini atau itu, setiap orang punya kepercayaan dan agama tertentu. Namun yang menjadi masalah adalah apa yang dihadapinya dalam menjalani hidup.

Yang suka berfilsafat sibuk mendefinisikan apa yang kita lihat sebagai realita atau bukan. Kerangka berpikir dianggap sebagai penyelesaian. Namun sama saja. Yang jelas, apa yang kita rasakan, itu yang sebenarnya kita hadapi.

Karena itu ada dalam istilah Jawa yang disebut sebagai roso. Hidup adalah hubungan antara yang merasakan dengan apa yang terasa itu sendiri. Senikmat-nikmatnya hidup, orang umumnya mensyaratkannya dalam fasilitas hidup yang mewah. Atau yang serba wah. Namun yang bisa dinikmati hanya sebatas rasa. Tidak akan pernah lebih dari itu.

Dalam suatu kesempatan, Prabhu Gaur Gopal Das, guru dari International Society of Krishna, pernah memberikan perumpamaan cangkir kehidupan (The cup of life). Manusia hidup ibarat cangkir. Antara orang yang satu dengan yang lain memiliki bentuk gelas yang berbeda. Ada yang terlihat jelek, bagus, bahkan mewah. Namun yang penting adalah isi dari gelas itu, tidak lain, minuman yang bisa kita rasakan.

Pada taraf permukaan, rasa itu seperti permukaan samudera. Naik dan turun, silih berganti, penuh dinamika, dan memang itulah yang kita rasakan dalam hidup.

Pada taraf yang lebih dalam itu disebut sejatining rasa. Atau dununge roso sejati. Ini menjelaskan mengenai inti dari rasa sejati, yang tidak lain, adalah rasa yang tidak lagi mengalami perubahan rasa. Selalu bercita rasa yang sama, serba alami, tidak ada tendensi menjadi rendah maupun tinggi. Sekadar kesederhanaan yang selalu damai dan tenteram. Ini digambarkan seperti kedalaman samudera.

Baca juga: Falsafah Pangkon

Untuk memahami sejatining roso, manusia mesti memahami dirinya sendiri. Sungguh tepat bahwa “manungso” yaitu manunggaling roso. Sejatining rasa hanya bisa ditembus yakni menyatu dengan rasa.

Lalu, bagaimana cara menyatu dengan rasa?

Caranya selalu dengan menerima rasa itu. Mesti mendekatkan diri dengan apa yang kita alami. Bersahabat dan mau mendekatkan diri, karena apa yang kita dapat tidak akan pernah menjauh dari kita. Ini hanya proses sebab akibat dan selalu memberikan rasa.

Menerima rasa memang tidaklah mudah. Namun tidak ada pilihan lain. Kita tidak bisa mengalami mati rasa. Konsekuensi orang hidup, rasa itu selalu ada. Tugas kitalah untuk menembusnya dan mereguk kedamaian. Seperti yang disebutkan oleh Gopal Das, inilah cangkir kehidupan.

Victor Alexander Liem 

Desainer batik tulis. Tinggal di Kudus, Jawa Tengah.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Victor A Liem

Penulis adalah pecinta kearifan Nusantara dan penulis buku "Using No Way as Way"
Tinggal di kota kretek, Kudus, Jawa Tengah. Memilih menjadi orang biasa, dan menjalankan laku kehidupan sehari-hari dengan penuh suka cita.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *