• Wednesday, 19 September 2018
  • Hendrick Tanu
  • 0

Seringkali dalam meriset asal mula dewata tertentu di Tiongkok, masyarakat kita lebih sering memercayai kisah-kisah novel fiksi yang wow alih-alih cerita sesungguhnya yang berdasarkan kitab kanonik. Dalam kasus Guanyin atau Avalokiteshvara contohnya, bahkan hampir semua orang mengangkat justru cerita novel yang disalahpahami sebagai sejarah. Dalam satu majalah kelenteng, penulis malah menemukan cerita game PC modern berlatar dewa-dewi Tiongkok masuk ke rubrik sejarah.

Umumnya generasi tua maupun muda Tionghoa mengenal Guanyin lewat kisah putri Miaoshan. Akan tetapi perlu dipahami bahwa Miaoshan yang dikenal mereka sebenarnya berasal dari novel fiksi Xiangshan Baojuan dan derivatifnya yang amat banyak itu. Misalnya ada yang mengatakan Miaoshan ini putri raja Chu dari Zhuang pada periode Semi dan Gugur namun kisah ini berasal dari fiksi Guanshiyin Pusa Zhanlue karangan Guan Daosheng (1262-1319 M). Ada pula yang mengaitkan Guanyin dengan Cihang Daoren dari Dinasti Yin-Shang namun ini juga dari kitab fiksi Fengshen Yanyi.

Baca juga: Guanyin adalah Putri dari Sriwijaya?

Novel-novel berkisah Miaoshan ini membentuk angan-angan tentang sebuah putri di kerajaan Tiongkok kuno yang menjadi sesosok dewi welas asih. Kendati banyak memberikan pelajaran moril, tentu saja bukan kenyataan sejarah. Di masa Dinasti Ming memang muncul ledakan popularitas novel-novel berdasarkan ketokohan dewata dan tema fantasi berbumbu spiritual.

Kepercayaan masyarakat akan tokoh fiksi Miaoshan ini lantas menimbulkan kecurigaan bahwa Guanyin berwujud perempuan bukan dari agama Buddha melainkan dari zaman Tiongkok sebelum agama Buddha masuk. Padahal, kisah Miaoshan yang tertua baru muncul sekitar 1000 tahun yang lalu pada masa Dinasti Song dan novel fiksinya (yang biasa dipercaya orang) baru muncul 800 hingga 500 tahun yang lalu sedangkan Guanyin berwujud perempuan sudah ada ratusan tahun sebelumnya – disadur dari kitab suci Buddhis dan kitab sejarah asli.

Kapan Guanyin mulai berwujud wanita?

Terhitung sejak diterjemahkannya Saddharmapundarika Sutra pada tahun 406 M oleh Kumarajiva, Avalokiteshvara dipercaya dapat mewujud baik sebagai laki-laki maupun perempuan, sebagaimana tercatat dalam salah satu bab sutra tersebut. “Guanyin” atau “Guanshiyin” adalah terjemahan per kata dari bahasa India “Avalokiteshvara.”

Sejak Dinasti Utara dan Selatan setelah penerjemahan sutra itu, Guanyin beberapa kali mewujudkan diri dalam sosok perempuan. Tercatat dalam kitab sejarah Bei Qi Shu bahwa Kaisar Qi Utara Wucheng (537-569 M) menderita sakit. Tak lama ia mengalami mukjizat ketika ia melihat seorang perempuan yang kemudian berubah menjadi Guanyin memberikan pertolongan.

Nan Shi atau Catatan Dinasti-dinasti Selatan menyebutkan bahwa, permaisuri Shen Wuhua (582-589 M), istri kaisar Chen Shubao dari Dinasti Chen, menjadi seorang biksuni dengan nama Guanyin. Bei Shi atau Catatatn Dinasti-dinasti Utara sebaliknya mencatat bahwa pada periode Renshou (601-604 M), permaisuri Wen Xian meninggal dunia dan ia mendapat gelar Miaoshan Pusa. Nama Bodhisattva Miaoshan ini berasal dari tokoh dalam Kusalamulasamparigraha Sutra yang diterjemahkan Kumarajiva pula. Bahkan ada riset yang meneliti bahwa figur putri Miaoshan berasal dari figur sejarah Buddhis bernama putri Nanyang yang merupakan anak dari Kaisar Buddhis Sui Yangdi.

Akhirnya pada masa Dinasti Tang, tepatnya pada tahun 724 M, Sutra Mahavairocana diterjemahkan oleh Subhakarasimha. Di dalam mandala Garbhadhatu bagian keluarga teratai atau Avalokiteshvara, terdapat Dewi Pandaravasini dan Dewi Tara yang keduanya berjubah putih. Pengulas Mahavairocana menyebutkan bahwa Tara membebaskan dari ketakutan dan jubah putih yang dipakainya menyimbolkan kesederhanaan dan kesucian yang merupakan kualitas agung dari Bodhisattva. Di Tibet, Tara juga dikisahkan terlahir dari air mata Avalokiteshvara atau Guanyin dan cerita ini juga muncul setidaknya paling awal masa Tang.

Kehadiran Sutra Mahavairocana seolah menggenapi kisah-kisah mukjizat Guanyin berwujud perempuan yang hadir sebelumnya. Tara, Pandaravasini, dan Avalokiteshvara bergabung menjadi satu. Pengaruh Sutra Mahavairocana ini kemudian terealisasi dalam wujud terawal dari Guanyin yang kita kenal sekarang yaitu Shuiyue Guanyin atau Avalokiteshvara Air dan Bulan. Mahkota Amitabha tetap bertengger di mahkotanya seperti penggambaran Avalokiteshvara di India, namun kali ini  beliau memiliki tubuh perempuan dan jubah putih dari Tara dan Panadaravasini.

Di India dan Nepal tanah lahir Buddha, ditemukan banyak bukti peninggalan adanya Tara dan Pandaravasini juga segenap perwujudan feminin dari Avalokiteshvara. Jadi sama sekali tidak benar jika wujud wanita Guanyin hanya ada di Tiongkok karena sebenarnya sumber perwujudan di Tiongkok juga asalnya dari India yang sudah ada sejak abad ke-3 M.

Botol dan dahan willow yang dipegang Guanyin juga berasal dari sutra Buddhis Qing Guanshiyin Pusa Fudu Tuoluoni Jing yang diterjemahkan masa Dinasti Jin Timur (317-420 M). Wujud perempuan yang lain ada Svetabhagavati Avalokiteshvara, Parnasavari Avalokiteshvara, Cunda Avalokiteshvara, Malangfu Guanyin, Yulan Guanyin, dan Yangguifei Guanyin. Semuanya berdasarkan kisah dari masa Dinasti Tang.

Shuiyue Guanyin kemudian berkembang makin sempurna menjadi Baiyi Guanyin (Pandaravasini Avalokiteshvara) dan Duoluo Guanyin (Tara Avalokiteshvara) yang menjadi ikonografi favorit Buddhis Chan (Zen). Di Vihara Yunju di Tiongkok juga ditemukan banyak dharani-dharani asli Sanskerta berjudul “Pandaravasini Avalokiteshvara” dan “Tara Avalokiteshvara” terhitung sejak zaman Sui dan Tang! Berkat ini, akhirnya menyebar luas menjadi dewata feminin paling populer bagi bangsa Han di mana pun mereka berada.

Pengaruhi agama Tao atau dipengaruhi agama Tao?

Jika Guanyin perempuan sudah dipuja Buddhis semenjak Dinasti Utara-Selatan, Sui dan Tang, umat Tao baru memujanya ratusan tahun kemudian tepatnya Dinasti Song. Pada masa dinasti Song, Kaisar Huizong yang sangat berorientasi ke agama Tao menitahkan pemberian gelar-gelar Taois pada beragam Buddha dan Bodhisattva dalam agama Buddha yang populer.

Buddha Sakyamuni diberikan gelar Dajue Jinxian dan Avalokiteshvara diberi gelar Dashi sehingga menjadi Guanyin Dashi atau Cihang Dashi. Pemberian gelar ini berujung pada munculnya kitab-kitab Taois berkenaaan dengan Avalokiteshvara seperti Taishang Dongxuan Lingbao Yuantong Tianzun Cihang Yuanjun Benxing Miaojing dan ritual pertaubatan Taois dari Cihang berjudul Taishang Biluo Dongtian Cihang Linggan Dushi Baochan yang keduanya sarat dengan istilah-istilah Buddhis berkenaan Guanyin seperti Xinjing (Prajnaparamitahrdaya Sutra) atau Zhenfaming (nama Buddha Guanyin: Saddharmaprabhasa).

Proses transformasi Guanyin menjadi wujud perempuan juga menginspirasi munculnya pemujaan terhadap para Dewi Taois dengan julukan Niangniang di masa Dinasti Song seperti misalnya Bixia Yuanjun atau Taishan Niangniang (1008 M), Mazu/Tianfei atau Tianhou Niangniang (960 M), dan Chen Shisi Niangniang atau Linshui Furen (1250 M). Kita bisa menemukan bahwa para Niangniang ini banyak dipuja satu altar bersama dengan Guanyin. Pengaruh Avalokiteshvara juga dibuktikan dengan munculnya tokoh Guanyin di cerita hidup Mazu dan Linshui Furen.

Dalam kitab Taois yang bercerita asal usul Guanyin juga disebutkan kelahiran sebagai putri Xingyin anak dari Miaozhuang. Ini semua merupakan pengaruh dari Buddhis. Teks tertua tentang kisah Miao Shan ada dalam naskah Buddhis berjudul Longxing Fojiao Biannian Tonglun yang ditulis oleh Biksu Zu Xiu pada tahun 1164 M yang menceritakan pertemuan Biksu pendiri aliran Lu (Vinaya) yaitu Dao Xuan (596 – 667 M) dengan seorang dewa, di mana Biksu Daoxuan menanyakan riwayat Bodhisattva Avalokiteshvara pada dewa tersebut, yang menjawabnya dengan kisah Miaoshan.

Cerita paling awal dari Miaoshan di  Longxing Fojiao Biannian Tonglun masih murni bersifat Buddhis, ada dasar sutranya dan belum berupa novel fiksi. Miaozhuang, ayah Miaoshan adalah terjemahan Mandarin per kata dari raja Subhavyuha dalam Saddharmapundarika Sutra, demikian juga istrinya Bao De adalah Vimaladatta.

Miaoyin, kakak Miaoshan, juga berasal dari bodhisattva Gadgadasvara dalam sutra yang sama. Kakak keduanya, Miaoyan, berasal dari figur yang berada di istana raja Asoka. Pegunungan Xiangshan tempat Miaoshan mewujud juga sebenarnya adalah terjemahan dari Pegunungan Gandhamadana yang berasal dari Saddharmapundarika Sutra. Istilah-istilah ini diadaptasi oleh umat Taois.

Kisah Buddhis ini mulai tercampur aduk dengan kisah Taois setelah kitab Taois berkenaan dengan kisah tersebut muncul kemudian belakangan juga jadi favorit dalam novel-novel fiksi Xiangshan Baojuan, Sou Shenji masa Ming dan Guanshiyin Pusa Zhanlue yang disebutkan di atas.

Latar belakang ceritanya juga mulai dikarang ke dinasti-dinasti Tiongkok kuno bahkan hingga masa Buddha Kasyapa. Karena novel fiksi bercerita dengan asyik sehingga mampu menyebar ke masyarakat luas, cerita seperti inilah yang diturunkan nenek moyang kita pada kita dan akhirnya dianggap sebagai sebuah kebenaran. Dikarenakan adanya suatu sikap supremasi terhadap bangsa Tionghoa, maka umat-umat kelenteng banyak beranggapan agama Buddha dari India-lah yang kemudian mencomot Guanyin, padahal yang terjadi adalah justru sebaliknya.

Hendrick Tanuwidjaja

Penggemar Zen dan siswa mindfulness.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *