Padma Angdu adalah anak berumur enam tahun. Dia tidak suka mengerjakan pekerjaan rumahnya. Dia suka bermain sepak bola dengan teman-teman sekelasnya. Dia bahkan dikejutkan oleh suara kembang api yang keras. Hanya ada satu hal yang membedakan Angdu.
Dia adalah Rinpoche, reinkarnasi dari seorang biksu Tibet yang diagungkan. Delapan tahun kehidupan Angdu didokumentasikan dalam film Becoming Who I Was, film dokumenter pertama oleh pembuat film dari Korea Selatan Moon Chang-yong dan jurnalis Jeon Jin.
Pengalaman Jeon sebagai reporter terutama dalam memunculkan perasaan ketaatan luar biasa sangat bermanfaat bagi proyek ini – daripada fokus sepenuhnya dalam suatu wawancara, Moon dan Jeon memungkinkan narasumber mereka untuk melakukan percakapan.
Hal ini mengarah kepada salah satu aspek yang paling menarik dari Becoming Who I Was. Film ini tidak memberikan gambaran tentang keyakinan akan Buddhis atau menyelam terlalu jauh ke dalam posisi elit Angdu. Bahkan, bagian pertama film ini mengenai kegiatan sehari-hari Rinpoche muda dan pengasuh spiritualnya, Rigzin Urgain. Chang-young dan Jin merekam momen kelembutan dan bermakna yang saling mereka bagikan sehingga menyempurnakan film ini.
Baca juga: 5 Pesan Tersembunyi dari Film Doctor Strange
Belas kasih antara pembimbing dan yang dibimbing diwakili melalui interaksi menawan mereka. Hanya ada senyuman ketika mereka terlibat dalam pertarungan bola salju dan pekerjaan rumah tangga. Bahkan ada adegan lucu menakutkan yang mana Urgain harus meninggalkan Angdu sendirian di rumah dan Angdu hampir membakar rumah ketika mencoba menghangatkan dirinya.
Melalui pengamatan yang teliti terhadap hubungan mereka, kita melihat Angdu sebagai manusia dan bukan sebagai orang yang ditinggikan secara mulia seperti anggapan orang lain. Pengamatan kepada hubungan cinta kasih mereka terpenuhi di paruh kedua film.
[youtube url=”https://www.youtube.com/watch?v=AEi54TU5jDM” width=”560″ height=”315″]
Aksi terakhir dari film ini mengisahkan perjalanan fantastis dari desa kecil Angdu di India ke Tibet, dia akan menerima pelatihan yang tepat. Setiap momen luar biasa ditunjukkan saat mereka mendaki 3.000 mil ke tanah baru dengan berjalan kaki. Sutradara Moon dan Jeon hanya mengikuti Angdu yang bermata lebar dan Urgain yang berhati lembut ketika mereka berjalan dengan susah payah melalui daratan yang tidak ramah kepada mereka.
Film ini dengan cerdas menghindari merinci konflik rumit antara Tibet dan China. Perasaan cemas dan penindasan ditunjukkan melalui satu adegan pedih menjelang akhir film di mana seorang wanita Tibet mempersilakan mereka yang lelah masuk ke rumahnya untuk beristirahat.
Dia memperingatkan keduanya tentang perjalanan mereka dan bahkan menyarankan mereka untuk kembali karena mereka mungkin terbunuh di perbatasan Tibet. Keduanya tidak berbicara lebih jauh, mengucapkan terima kasih atas keramahannya dan melanjutkan perjalanan mereka.
Momen-momen tersebut sangat berdampak namun sangat kebetulan sehingga Anda berpikir naskahnya pasti ditulis. Beberapa dari momen itu harus dilihat agar dapat dipercaya. Becoming Who I Was bukan sebuah film dokumenter yang menunjukkan tentang kehidupan tidak menentu dari seorang biarawan Tibet muda seperti yang mungkin kita pikirkan.
Dengan mengangkat kisah Angdu, pembuat film menemukan tema yang lengkap dari cinta, persahabatan, dan penindasan dengan cara yang sangat ‘merasa-baik’. Sama seperti prinsip Buddhis itu sendiri, berbicara begitu banyak dengan mengatakan sangat sedikit.
Namun sayang pembaca, entah kapan film ini akan sampai ke Asia, apalagi ke Indonesia, karena berdasar rilis dari cargofilm-releasing.com, film tersebut baru tayang di Amerika. (www.filmedinether.com)
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara