• Friday, 17 August 2018
  • Hendrick Tanu
  • 0

“Jadi bapak saya itu, ya, agamanya Islam kecampuran dengan banyak ‘agama Jawa’. Ibu pun agamanya itu agama Hindu yang kecampuran dengan Buddhis banyak sekali,” ujar Bung Karno di sebuah IAIN pada 1964.

Apakah Anda tahu ayah Bung Karno bernama Soekemi Sosrodihardjo berasal dari Jawa dan ibundanya Ida Ayu Nyoman Rai berasal dari Bali? Banyak orang mengagumi Bapak Bangsa, namun asalnya, sepak terjangnya bahkan pidato-pidatonya yang menggelegar itu isinya tak banyak yang mau tahu. Ketidakakraban masyarakat menyebabkan kesalahpahaman tentang beliau dan bahkan kesalahpahaman apa itu Pancasila serta dasar negara.

Termasuk ketika saat hari kelahiran Pancasila 2018, banyak broadcast Whatsapp yang menyatakan Pancasila berasal dari naskah Buddhis sehingga tentu saja, umat Buddhis terburu-buru euforia. Prawoto Mangkusumito, ketua Partai Masyumi yang terakhir memang mengatakan bahwa istilah Pancasila diambil dari naskah Buddhis namun isi dan maksudnya sangat berbeda.

Bung Karno adalah sosok cendekiawan sejati. Sejak kecil beliau sudah bersentuhan dengan Buddhis. Jika kita simak, banyak pidatonya yang menunjukkan bahwa beliau sangat paham agama Buddha, bahkan melebihi beberapa umat Buddhis, malahan. Bagi beliau, konsep Ke-Tuhanan dipahaminya jauh melampaui apa yang umat Buddhis kebanyakan pahami.

Mengagumi Hyang Widhi dan Krishna

Bung Karno bercerita tentang perjalanan spiritualnya semenjak kecil:

“Bapak dan Ibu almarhum, berpendirian bahwa mereka sekadar “dapur”. Tentu benar saya kira pendirian yang demikian itu. “Dapur”, oleh karena itu maka saya kecil-kecil juga diperingatkan oleh Bapak dan Ibu: “Ingat, Bapak dan Ibumu sekadar ‘dapur’. Yang membuat engkau Allah SWT.” Bapak berkata: “Gusti Kang Maha Suci.” Ibu berkata: “Hyang Widi.” Jangan lupa kepada Gusti Kang Maha Suci, Gusti Kang Maha Suci, jangan lupa Karno kepada Hyang Widi. Jadi dari kecil-kecil sudah mempunyai benih percaya kepada Tuhan.”

Hyang Widhi, adalah satu bentuk konsep Ke-Tuhanan yang diwariskan sang ibunda pada Bung Karno. Istilah Widhi sudah ada di naskah Jawa kuna seperti Sutasoma, namun secara modern menunjuk pada Sanghyang Acintya, Paramartha Siwa, Adi Buddha Mahawairocana  atau dengan kata lain kesunyataan itu sendiri.

Kemudian di Bogor, saudara-saudara, tatkala saya memberi amanat kepada perwira-perwira sarjana hukum daripada empat Angkatan Bersenjata kita, Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut, Angkatan Kepolisian – dan perwira-perwira sarjana hukum yang menghadap saya di Bogor dan mereka minta amanat, kemarin saya ucapkan, kemarin juga saya ucapkan kembali apa yang saya ucapkan kepada diriku sendiri pada pagi hari tanggal 1 Juni 1945, yaitu ajaran yang diberikan oleh Sri Krisna kepada Arjuna yang terulis di dalam Bhagawad Gita.

Sri Krisna berkata kepada Arjuna, “Kerjakan kewajibanmu, jalankan tugasmu, tanpa mengjiting-hitung akan akibatnya. Karmanye fadikaraste temapalesyu kadattjhana, artinya, kerja-kanlah kewajibanmu tanpa menghitung-hitung akan akibatnya.

Saya pada waktu itu berkata pula kepada diriku sendiri, pagi-pagi nian 1 Juni 1945: Soekarno, karmanye fadikaraste temafalesyu kadattjhana, kerjakan kewajibanmu tanpa meng-hitung-hitung akan akibatnya. Dan kira-kira pukul 10 pagi, saudara-saudara, pada waktu itu saya mengucapkan pidato yang saudara-saudara semuanya kenal dengan nama, judul ”Lahirnya Pancasila”.

Krishna, menurut kitab Jataka, adalah kelahiran lampau dari Arya Sariputra. Berkali-kali, Bung Karno menyebutkan kata-kata Krishna dalam Bhagavad Gita ketika bercerita tentang Tuhan. Beliau mengagumi prinsip advaita, ta tvam asi dan dialog antara Arjuna dan Krishna. Baginya, sifat Tuhan itu tidak terbatas:

“Dus Saudara-saudara, menurut Kreshna, Tuhan ini adalah di mana-mana, menurut Kreshna, menurut Bhagawad Gita, menurut agama Hindu.

Lantas bagaimana ini bagaimana ini, apakah Tuhan itu seperti zat yang bersemayam di sana itu? Satu zat di langit, yang dinamakan persoonlijke God.

Tuhan bersemayam di sana. Kalau di sana saja Saudara-saudara, Tuhan itu terbatas. Menurut saya Tuhan itu tidak bersemayam di atas. Tuhan bukan satu persoon, satu persoonlijke God yang bersinggasana di langit ke tujuh. Akan tetapi Tuhan adalah Zat yang meliputi seluruh alam ini, bukan hanya di sana atau di sini saja.”

“The song of God”, begitu ujar Bung Karno pada Bhagavad Gita, yang mengingatkannya akan tokoh Hindu yang sangat dikaguminya yaitu Swami Vivekananda. Swami Vivekananda adalah pengikut Hindu yang amat terkesan dengan Buddha dan menganggap dirinya adalah siswa Buddha – yang dianggapnya perwujudan Tuhan. Pengaruhnya yang besar membuat Bung Karno berdecak kagum:

“Swami Vivekananda! Beliau adalah seorang dari mereka yang telah memberikan demikian banyak inspirasi kepadaku! Inspirasi untuk menjadi kuat, inspirasi untuk menjadi hamba Tuhan.

Inspirasi untuk menjadi pengabdi Tanah Air-ku, Inspirasi untuk menjadi pengabdi umat manusia.”

Pemahaman Bung Karno akan kaitan prinsip agama Buddha dan Pancasila

Bung Karno juga bercerita panjang lebar tentang perbedaan antara Hinayana dan Mahayana, dan bagaimana Buddhis juga terus berevolusi sebagaimana agama-agama lainnya:

“Agama Buddha pada orisinilnya Saudara-saudara, inilah, dan ini yang dinamakan Buddhisme Hinayana. Tiap-tiap manusia bisa langsung masuk ke dalam alam Nirwana. Engkau bisa, engkau bisa, asal engkau bisa membunuh delapan macam nafsu itu.

Demikian pula agama Buddha, ditambah-tambah, lantas menjadi manusia itu tidak bisa satu kaligus dalam satu hidup. Buddhisme yang ini dinamakan Buddhisme berkereta besar. Tapi baik Hinayana maupun Mahayana tidak berdiri di atas dasar kebangsaan, langsung menuju kepada manusia-manusia dan manusia satu sama lain harus hidup seperti saudara dengan saudara.”

Dari sinilah, Bung Karno menarik inti agama Buddha yaitu perikemanusiaan, bukan agama yang hanya melayani satu jenis bangsa semata, namun semua makhluk dan segala isinya:

“Dus, Saudara-saudara, baik agama Hindu maupun agama Buddha maupun agama Islam berdiri kuat di atas dasar perikemanusiaan. Memberi air kepada anjing adalah juga perikemanusiaan.

Jangan kira Perikemanusiaan hanya kepada sesama manusia saja, kepada tiap-tiap makhluk yang hidup kita jalankan kebaikan, itu adalah pula perikemanusiaan.

Saudara-saudara, dus kita di dalam Pancasila dengan tegas mengadakan sila Perikemanusiaan ini dan bolehlah kita bangga bahwa sila Perikemanusiaan ini tidak kita lupakan.”

Urusan Tuhan, Bung Karno  pada bulan Juli 1958 juga sangat jelas bahwa agama Buddha tidak membahas tentang Tuhan / begrip Tuhan. Demikian juga ia menegaskan bahwa Pancasila dasar negara dan Pancasila Buddhis hanya kesamaan istilah saja:

“Ada yang berkata: Pancasila itu sebetulnya adalah perasan daripada agama Buddhisme. Bagaimana bisa mengatakan bahwa Pancasila itu adalah perasaan daripada agama Buddhisme? Orang yang berkata begitu sebetulnya tidak tahu apa yang dinamakan Buddhis itu.

Misalnya saja, saudara-saudara, Ketuhanan Yang Maha esa; Buddhisme tidak kenal Ketuhanan. Coba tanya kepada prof. Muh. Yamin, tanya kepada prof. Hazairin; tanya kepada sarjana-sarjana yang duduk di sini. Buddhisme tidak mengenal apa yang dinamakan Tuhan.

Buddhis adalah satu levens beschouwing, satu pandangan hidup, cara hidup agar supaya nanti bisa mencapai kesempurna-an nirwana. Delapan marga daripada Buddha, jalan delapan macam, saudara-saudara. Jadi Buddhisme adalah satu pandangan hidup, satu cara hidup, satu levensbeschouwing, bukan sebenarnya satu godsdienst.

Saya minta janganlah menaruhkan Pancasila ini secara antagonistis terhadap kepada misalnya agama Islam. dan janganlah pula meletakkan Pancasila ini secara congruentie yang sama dengan misalnya agama Buddha.”

Walau demikian, sebelumnya dalam pelaksanaan sila Ketuhanan Yang Maha Esa pada bulan Juli 1945, Bung Karno juga mencantumkan agama Buddha:

“Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan, Tuhannya sendiri.

Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam ber-Tuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad saw, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan.”

Bung Karno paham betul bahwa agama Buddha tidak menolak Ke-Tuhanan namun hanya diam berbicara lewat pelaksanaannya. Mungkin pemahamannya ini juga dipengaruhi oleh Swami Vivekananda yang mengatakan meski Buddha tidak mengajarkan tentang Tuhan, Buddha adalah salah satu perwujudan Tuhan itu sendiri.

Baca juga: Dirgahayu HUT ke-73 Kemerdekaan Indonesia

Ditambah lagi, pemahaman Buddha yang melebur dengan Hindu Siwa di Bali menjadi Sanghyang Widhi sebenarnya juga memberi ruang agama Buddha dalam konsep Ke-Tuhanan yang mirip dengan pemahaman Bung Karno.

Belakangan Bung Karno tampaknya mengakomodir konsep Tuhan dalam agama Buddha sebagaimana pada tahun 1964 di depan umat Kristen Bung Karno berkata,

“Engkau senang agama Kristen, peluklah agama Kristen itu, engkau senang agama Islam, peluklah agama Islam itu, engkau senang agama Buddha, peluklah agama Buddha. Engkau senang kepada agama Hindu, peluklah agama Hindu.

“Engkau senang kepada agama Shinto, peluklah agama Shinto.  Oleh karena itulah Republik Rakyat Indonesia mempunyai Pancasila yang salah satu daripada silanya adalah percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

“Di dalam Pancasila tidak dituliskan percaya kepada Tuhannya orang Islam, artinya Tuhannya Islam atau tidak ditulis di dalam Pancasila itu percaya kepada Tuhannya Kristen dan tidak ditulis di dalam Pancasila itu percaya kepada Tuhannya Hindu atau Tuhannya Buddha atau Tuhannya Shinto, tidak! Cukup dengan satu perkataan Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena Tuhan adalah Tuhan daripada sekalian alam, ya Tuhanmu, ya Tuhanku, seluruh alam ini daripada manusia sampai kepada gunung, sampai kepada langit.”

Perdebatan istilah Ke-Tuhanan dahulu amat santer dalam organsiasi Buddhis. Ada yang mengajukan Adi Buddha Wairocana, Dharmakaya, atau Nibbana yang sebenarnya kesemuanya ini sama saja jika kita membaca lengkap kitab-kitab Mahayana secara utuh. Sila pertama dapat memeluk kesemua interpretasi Ke-Tuhanan Buddhis yang bercirikan baik Esa dan Eka itu.

Ruang sila pertama menurut Bung Karno pada akhirnya melampaui sekat-sekat agama maupun Tuhan, sebagaimana yang dikatakan beliau sendiri:

“Bangsa saya meliputi orang-orang yang menganut berbagai macam agama: ada yang Islam, ada yang Kristen, dan ada yang Buddha dan ada yang tidak menganut sesuatu agama. Meskipun demikian untuk 85% dari sembilan puluh dua juta rakyat kami, bangsa Indonesia terdiri dari para pengikut Islam.

Berpangkal pada kenyataan ini dan mengingat akan berbeda-beda tetapi bersatunya bangsa kami, kami menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai yang paling utama dalam filsafah hidup kami.

Bahkan mereka yang tidak percaya kepada Tuhan-pun, karena toleransinya yang menjadi pembawaan, mengakui bahwa kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa merupakan karakteristik dari bangsanya sehingga mereka menerima Sila pertama ini……….. Dan sebagai warga negara merdeka saya tadi memekikkan pekik “merdeka” bersama-sama dengan kamu.

Kamu yang beragama Islam, kamu yang beragama Kristen, – kamu yang ber¬agama Syiwa Buddha, Hindu – Bali atau agama lain. Pekik merdeka adalah pekik yang membuat rakyat Indonesia itu, walaupun jumlahnya 80 juta, menjadi bersatu tekad, memenuhi sumpahnya “Sekali merdeka, tetap merdeka!”

Kenangan Bung Karno di Wihara Zen Jepang

Suatu kali, Bung Karno memberi teks pada Shigetada Nishijima (Soekarno hi) untuk disimpan di vihara aliran Soto Zen bernama Seisho-ji di Minatoku, Jepang untuk mengenang dua orang pejuang Jepang yang berkontribusi bagi kemerdekaan Indonesia. Baik Rinzai dan Soto Zen memang banyak berkontribusi terhadap pelatihan militer didikan Jepang, mencakup PETA, Heiho, Gyugun yang anggotanya menjadi cikal bakal TNI.

Surat Bung Karno itu bertuliskan: “Kepada sdr. Ichiki Tatsuo dan sdr. Yoshizumi Tomegoro. Kemerdekaan bukanlah milik suatu bangsa saja, tetapi milik semua manusia. Tokyo, 15 Februari 1958. Soekarno.”

Hendrick Tanuwidjaja

Penggemar Zen dan siswa mindfulness.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *