“Kula rumaos kepanggih tiyang sepuh kula (Saya merasa seperti bertemu orangtua saya).”
Penggalan kalimat tersebut diungkapkan Mbah Darmin, salah satu peserta Pelatihan Nembang Sabda Badra Santi di Vihara Vanna Bhumi, Dusun Temetes, Desa Wonoharjo, Kecamatan Rowokele, Kebumen, Jawa Tengah pada Kamis (10/5) lalu. Ia bersama sekitar 250 warga Buddha dari beberapa vihara di Kabupaten Kebumen antusias mengikuti sarasehan Dharma berjudul “Kanyatan Agung Papat (Empat Kebenaran Mulia)” yang dibawakan oleh Bhikkhu Indaguno, seorang bhikkhu putra Kebumen. Hadir pula Dr. Widodo Brotosejati, seniman gamelan Mpu Santi Badra didampingi sesepuh warga Buddha Kebumen Pandita Parjo Dharmo Suwito dari Vihara Bodhi Kirti, Desa Purwodadi.
Katannyukatavedi
Pada kesempatan pertama, Pandita Parjo mengawali sarasehan dengan kilas balik bangkitnya Buddha Dharma di Kebumen. Ia menuturkan bahwa kebangkitan Buddha Dharma di Kebumen dimulai dari Vihara Tanah Putih, Semarang. Salah satunya berkat jasa besar Bhikkhu Khemasarano, Pandita Raden Cakkavidya Sabar Alym Kresna Adhi, Pandita KB Sutrisno, Pandita Sungkono Kusumadi, dan Pandita D. Henry Basuki. Semuanya sudah wafat. Mereka telah menyemai bibit Buddha Dharma di Kebumen pada tahun 1970-an. Selain pembinaan organisasi, Bhante Khemasarano dan Rama Sabar Alym seringkali mengisi ceramah dengan bahasa Jawa. Salah satunya dengan tembang Badra Santi.
Untuk itu, Pandita Parjo mengajak warga Buddha di Kebumen untuk melestarikan Buddha Dharma dengan seni budaya Jawa, sebagai salah satu untuk mengingat dan meluhurkan para pendahulu tersebut sebagai Pahlawan Dharma. Acara anjangsana buddhaya yang digagas oleh Turyanto, tokoh muda Buddhis Temetes ini dibuka oleh Pandita Muda Surat Dharmanadi mewakili PC Magabudhi Kebumen.
Baca juga: Anjangsana ke Umat Buddha Bumirejo Malang
Pembicara kedua adalah Bhikkhu Indaguno, putra Kebumen yang saat ini berdomisili di Medan, Sumatera Utara. “Perkembangan agama tidak bisa lari dari budaya. Agama tanpa budaya itu nanti akan kaku, tidak menarik. Budaya itu memperindah dan keduanya bisa berjalan dengan baik. Salah satunya melalui budaya Badra Santi. Budaya ini, juga budaya Jawa lainnya, dapat dipelajari dan dipraktikkan karena mengandung nilai-nilai yang luhur. Salah satu hal yang menarik, ketika kita mendengarkan gending Jawa, hati kita akan tenteram, tidak kemrungsung. Memang bagi yang tidak suka, akan membuat ngantuk,” urai Bhikkhu Indaguno sebelum memulai uraian Dharma “Kanyatan Agung Papat (Empat Kebenaran Mulia)”.
Lebih lanjut Bhante Indaguno menguraikan tentang kenyataan hidup, bahwa semua orang pasti mengalami sakit, tua, dan mati. Tidak semua hal yang kita peroleh itu membahagiakan. Contohnya, suatu ketika, semua orang bahkan semua makhluk akan berpisah dengan hal-hal yang disenanginya. Sebaliknya, kadang berkumpul dengan hal-hal yang tidak disenangi. Beberapa contoh itulah kemudian yang menggugah Pangeran Siddharta untuk melihat kenyataan hidup. Bahwa semua makhluk akan sakit, tua, dan mati. Lalu kemudian Ia tergugah untuk mencaritahu, mengapa makhluk hidup mengalami usia tua, sakit, dan mati? Mengapa makhluk hidup mengalami penderitaan, baik lahir maupun batin? Kemudian Pangeran Siddharta memutuskan meninggalkan istana untuk mencari obat agar semua makhluk tidak mengalami sakit, tua, dan mati.
Singkatnya dengan usaha dan pelatihan yang keras dan berat selama kurang lebih enam tahun hingga hampir wafat, Pangeran Siddharta mencapai kesadaran hidup dan menemukan Jalan Tengah/Majjima Pattipada, yaitu untuk tidak hidup menyiksa diri maupun memuaskan kesenangan inderawi. Salah satu penyebab penderitaan yang dialami makhluk hidup itu adalah nafsu keinginan duniawi.
Kegiatan Produktif
Dr. Widodo Brotosejati yang merupakan seorang dosen di Universitas Negeri Semarang (Unnes) menguraikan bahwa kegiatan seni budaya dapat menjadi warna dalam kehidupan beragama. Ia mengawali sarasehan dengan melantunkan kidung mantra dalam bahasa Jawa tentang harapan lenyapnya gangguan dan pemancaran harapan baik semoga semua makhluk yang hadir memperoleh manfaat. Dalam uraiannya, Widodo menyampaikan bahwa budaya Jawa itu momor, momot, kamot, hamemangkat. Penjelasan singkatnya, intisari budaya Jawa itu adalah laku hormat dan rendah hati kepada sesama. Suatu nilai yang selaras dengan Buddha Dharma.
Widodo berharap, dari kegiatan ini warga Buddha yang hadir dapat memetik Buddha Dharma sebagai inspirasi kegiatan seni budaya dalam kehidupan sehari-hari. Ia mencontohkan seperti di Bali, seni budaya menjadi ritus yang dirayakan setiap masyarakatnya. Mulai dari upacara kelahiran, perkawinan, pekerjaan di sawah, hingga kematian. Semuanya dikemas dalam wujud seni budaya yang mengandung nilai-nilai budi pekerti.
Sementara itu, Sutar Soemitro, pendiri BuddhaZine yang juga hadir, menambahkan uraian tentang pentingnya melestarikan budaya Jawa di vihara-vihara. Ia menuturkan bahwa selama ini budaya Jawa hanya dilestarikan di keraton, sanggar seni budaya, atau kampus. Sutar berharap ada satu lagi institusi yang ikut melestarikan budaya Jawa, yaitu komunitas vihara. Karena budaya Jawa sangat selaras dengan Buddha Dharma sehingga tidak salah jika komunitas vihara ikut melestarikan.
Ia berharap agar di vihara-vihara dapat diusahakan latihan gamelan dan seni budaya Jawa lainnya sebagai cara untuk melestarikan seni budaya Jawa. Seperti pada acara hati itu, warga Buddha yang hadir banyak yang mengenakan busana adat Jawa. Kaum perempuan mengenakan kain dan kebaya, kaum laki-laki hadir mengenakan batik dan aksesoris kepala berupa blangkon dan iket.
Pada kesempatan tersebut, semua warga Buddha yang hadir mendapatkan naskah Kidung Sabda Badra Santi bab Kanyatan Agung Papat dalam bahasa Jawa. Setelah pelatihan yang terus-menerus sejak pagi hingga selesai makan siang, warga Buddha pun bersama-sama melantunkan tembang berbahasa Jawa tersebut dengan iringan gending gamelan kemanak yang ditampilkan perwakilan warga Buddha setempat, hasil latihan singkat bersama Badra Santi Institute. Dengan anggun dan syahdu, semua yang hadir larut dalam suasana haru karena setelah sekian lama menunggu, dapat melantunkan kembali ajaran Sang Buddha dalam seni budaya Jawa.
Seperti yang diungkapkan Mbah Darmin di depan, ia seolah bertemu kembali dengan orangtuanya yang dahulu suka sekali nembang uro-uro yang menenteramkan hati. Kesimpulan dari Anjangsana Buddhaya Gamelan Mpu Santi Badra kali ini adalah, Wong Buddha ora ilang Jawane! Orang Jawa tidak hilang Jawa-nya. Namun justru warga Buddha semakin dekat dengan kebudayaannya sendiri, budaya Jawa yang adiluhung.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara