Berbicara tentang kembali pada tradisi pasti menuai kontroversi. Beberapa menilainya sebagai wujud perlawanan terhadap kemajuan dunia sedangkan yang lain menilainya kembali pada identitas diri. Buddhadharma mungkin menawarkan sudut pandang yang berbeda, yang barangkali berbicara tentang sebuah esensi.
Pakaian batik misalnya, jika dibilang kembali total pada masa lalu juga tidak. Batik sekarang ada yang potongan slim fit, lalu juga berkancing. Jelas ini adalah pengaruh Barat. Motifnya juga makin beraneka ragam. Apapun bentuknya, esensi batik tetap terjaga bahkan sekarang terlihat mulai lestari.
Lalu kalau sarung? Sepertinya masyarakat Asia Tenggara dan Austronesia banyak yang memakai sarung ini. Barangkali sarung sangat nyaman dipakai bergerak di cuaca terik Indonesia ini? Yang pasti rupang-rupang dan relief Hindu-Buddha sudah diwarnai dengan penggambaran manusia memakai sarung. Tentu saja, para Bodhisattwa Jawa itu pakai sarung.
Kalau ditanyakan pada saya, “Apakah mau pakai sarung?” ya tentu mau-mau saja kalau ada acara tertentu. Elegan rasanya. Saya masih ingat gaya sarung Plum Village di Indonesia yang saya sukai. Karena saya Tionghoa, saya suka yang motif cerah peranakan. Akan tetapi apa iya saya mau sehari-harinya pakai sarung, jalan-jalan pakai sarung? Ogah ah, saya dari kecil terbiasa pakai celana. Lah? Saya tidak cinta budaya gitukah?
Sama seperti batik, kenapa tidak melihat esensi dari sarung itu sendiri? Jika baju batik menyerap pengaruh Barat dan motif-motif luar, otomatis kenapa sarung, alias bawahannya, tidak bisa?
Kontemporer
Sebuah artikel yang berbicara tentang gaya busana lini fashion terkini mengatakan bahwa banyak desainer sudah banyak meleburkan sarung kebaya untuk para kaum hawa dengan gaya pareo long skirt atau pencil cut maxi bahkan dengan gaya midi skirt. Untuk para cowok juga bisa dengan gaya celana drop crotch. Bahkan akhir-akhir ini brand ZARA mengeluarkan desain pakaian bawahan perempuan bergaya sarung namun tentu dengan berbagai modifikasi potongan modern.
Buddha saja melawan arus tradisi dan kemudian memberi makna baru pada segala tradisi di zamannya. Beliau sangat kreatif dan revolusioner. Lah, tentu kita juga mau sama dengan beliau dong? Berilah makna baru pada sarung, namun dengan tetap menghormatinya layaknya Buddha. Bagi saya, saya ogah untuk terburu-buru kembali ke tradisi masa lalu dan bernostalgia dengan gaya desain masa lalu.
Zaman sekarang adalah zaman majemuk, sama dengan masyarakat Indonesia, kemajemukan menghasilkan kreativitas dan kali ini budaya Barat mewarnai kemajemukan ini.
Segala sesuatu itu tidak kekal dan lekang oleh waktu. Tradisi juga demikian. Yang lalu hilang apakah sayang? Ya sayang. Tapi mungkin perubahan ini tidak selalu buruk, barangkali jika kreatif, malah baik yang terjadi. Bukankah begitu?
Penulis, aktivis komunitas Chan Indonesia, dan co-founder dari Mindful Project
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara