• Sunday, 18 March 2018
  • Adica Wirawan
  • 0

Beberapa waktu yang lalu, saya memesan sebuah buku berjudul “Kelahiran Ulang” terbitan Ehipassiko Foundation, yang ditulis oleh empat cendikiawan Buddhis, dan setelah membacanya, saya justru “berpikir keras”!

Pasalnya, di dalam buku tersebut diuraikankan bahwa kelahiran ulang ternyata belum diterima sepenuhnya di masyarakat, terutama negara-negara Barat sebagai sebuah kenyataan.

Hal itu tentu dimaklumi. Sebab, masyarakat di negara tersebut punya pola pikir yang kritis, terutama sewaktu mempelajari suatu konsep baru, seperti Buddhadharma yang berkembang sejak tahun 60-an. Makanya, tidak sedikit yang meragukan konsep kelahiran ulang karena mereka belum “menembusi”-nya secara langsung.

Mirip Hindu?

Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa Buddha sengaja mengajarkan konsep kelahiran ulang sebagai upaya agar Buddhadharma bisa diterima oleh masyarakat India pada waktu itu. Wajar saja, dalam kehidupan Buddha Gotama, masyarakat India sudah punya keyakinan kuat tentang kelahiran ulang. Keyakinan itu bersumber dari Hindu dan Jain.

Makanya, kemudian timbul sebuah asumsi bahwa Buddha berupaya menyamakan konsep ajarannya dengan ajaran lain agar ajaran-Nya memperoleh “sinyal masuk” ke dalam alam pemikiran masyarakat India. Bukankah masyarakat akan mudah menerima konsep baru yang mirip dengan konsep lama yang sudah mereka dapat?

Namun demikian, asumsi demikian dibantah oleh Bhikkhu Narada dan Bhikkhu Thanissaro, yang argumennya termuat dalam buku tersebut. Keduanya berpendapat kalau kelahiran ulang versi Buddhis berbeda dengan ajaran lain, dan konsep tersebut menjadi “pijakan” dari ajaran Buddha yang lain, yaitu Empat Kebenaran Mulia dan Sebab-Musabab yang Saling Bergantung.

Hal itu dapat dibuktikan lewat pengalaman Buddha saat merealisasi pencerahan sempurna. Sebab, dalam dua jaga waktu yang dilalui, Buddha memperoleh pengetahuan tentang kelahiran ulang-Nya sendiri dan makhluk lain, beserta proses kerja hukum kamma.

Makanya, lewat pengalaman itulah, di samping ajaran lainnya, Buddha juga sering menjelaskan konsep kelahiran ulang lewat cerita, seperti yang terdapat dalam Kitab Jataka.

Bagi saya pribadi, konsep kelahiran ulang, yang banyak dikupas dalam buku tersebut, ibarat “hadiah” yang tersembunyi di dalam sebuah bungkus kado. Kita tidak akan pernah tahu isinya, sampai kita membukanya.

Biarpun kini telah ada sejumlah cara untuk menguak kelahiran ulang, seperti via hipnosis, konsep tersebut sampai sekarang masih diyakini, belum dibuktikan seutuhnya lewat penembusan langsung. Makanya, walaupun saya meyakininya, saya masih belum mampu mengetahui kehidupan lampau saya.

Namun demikian, saya selalu tertarik membahas konsep kelahiran ulang. Makanya, selain buku itu, saya juga mengoleksi buku lain yang punya konsep sama, seperti Born Again karya Walter Semkiw dan Keajaiban karya Brian Weiss. Buku-buku itu “memperkaya” wawasan saya tentang konsep kelahiran ulang dan menunjukkan bahwa kelahiran ulang bisa dibuktikan.

Facial recognition

Sayangnya, buku tersebut “hanya” menampilkan dokumentasi tentang kelahiran ulang. Ibarat sebuah berita, kita cuma membacanya sebagai sebuah laporan tanpa mengalaminya secara langsung. Makanya, masih ada “celah keraguan” hingga kita membuktikannya sendiri.

Jadi, dengan semua keterbatasan sumber daya, masih bisakah kita tetap membuktikan kelahiran ulang? Tentu saja. Sebab, kini telah ada teknologi yang bisa dipakai untuk membutikan kelahiran ulang. Satu di antaranya ialah teknologi facial recognition.

Teknologi itu awalnya diciptakan untuk tujuan tertentu. Di Tiongkok, misalnya, teknologi itu telah dipakai untuk pemakaian ATM. Jika umumnya kita harus membawa kartu ATM agar bisa menarik uang, dengan memanfaatkan teknologi tersebut, kita cukup menghadap layar di mesin ATM.

Mesin akan memindai dan menganalisis kontur wajah kita, lalu memproses akses ke rekening pribadi. Jadi, kita tak perlu lagi repot menyimpan kartu ATM di dompet. Semuanya dilakukan secara otomatis oleh sistem.

Lantas, apa hubungan teknologi itu dengan kelahiran ulang? Hubungannya terletak pada kemampuan sistem mengenali tekstur wajah seseorang secara akurat. Sebab, seperti diuraikan dalam buku Born Again karya Walter Semkiw, tekstur wajah cenderung “stabil” biarpun gaya rambut, warna kulit, bentuk tubuh, dan jenis kelamin terus berubah dalam banyak kehidupan.

Jadi, kalau seseorang yang wajahnya telah dipindai, meninggal dunia dan kemudian terlahir ulang di dunia yang sama, ia masih bisa mengenali kehidupan lampaunya secara akurat dengan memindai wajahnya sendiri karena bentuk wajahnya pada kehidupan lampau tidak akan banyak berubah dalam kehidupan sekarang.

Pada saat itulah, akan terkuak identitas masa lampaunya dan ia bisa menelusuri sejarah kehidupan silamnya sendiri.

Cara lainnya ialah dengan meninggalkan jejak digital. Jejak digital adalah semua informasi personal yang tersimpan di internet. Jejak digital bisa berupa koleksi foto di media sosial, video di youtube, atau bahkan tulisan di blog.

Jejak digital itu akan bertahan lama di internet, dan itu tentunya mempermudah proses pelacakan kehidupan lampau seseorang. Dengan demikian, seseorang yang ingin menyingkap kehidupan silamnya bisa mencari jejak digital yang ditinggalkan di dunia maya.

Sampai sekarang konsep kelahiran ulang belum diterima secara umum sebagai suatu fakta. Namun, bukannya mustahil berkat perkembangan teknologi, suatu hari pada masa depan, konsep kelahiran ulang bisa dipelajari, dikaji, dan diakui kebenarannya.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *