• Wednesday, 7 February 2018
  • Surahman Ana
  • 0

Masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang dekat dengan seni budaya. Salah satunya adalah seni pertunjukan wayang; sebuah karya seni tentang nilai-nilai kehidupan yang dirangkai dalam bentuk seni pertunjukan dengan alur cerita.

Salah satu alur cerita yang cukup populer adalah cerita tentang tokoh-tokoh ksatria (protagonis) yang disebut Pandawa dan tokoh-tokoh lawannya (antagonis) yang disebut Kurawa.

Cerita tentang Pandawa dan Kurawa ini dirangkum dalam satu cerita yaitu Barathayudha. Tetapi artikel ini tidak akan membahas Barathayudha secarak keseluruhan, hanya sekilas tentang gambaran umum Pandawa dan Kurawa.

Wayang dan kehidupan

Sejak kecil, penulis sudah mempunyai ketertarikan sendiri dengan dunia pewayangan, hal ini tidak lepas dari pengaruh keluarga yang bergelut di dunia seni. Ayah adalah seorang wiyogo orang desa sering menyebut sebagai panjak, yaitu seseorang atau group yang memainkan alat musik gamelan untuk mengiringi seni wayang.

Dari kecil saya sering mengobrol atau tukar kaweruh bersama Ayah, bahkan kadang sekali-sekali berdebat tentang wayang, akhirnya saya sedikit tertarik dengan cerita pewayangan ini. Karena menurut saya, dalam cerita pewayangan ini banyak tersirat nilai-nilai kehidupan baik itu aspek moral, kemasyarakatan, dan juga spiritual.

Lalu bagaimana cerita tentang wayang ini dari sudut pandang Buddhis? Sebelumnya saya akan menceritakan bagaimana saya tertarik membuat artikel tentang wayang dari sudut pandang Buddhis ini. Dan ini merupakan satu pengetahuan baru bagi saya yang belum pernah saya dengar sebelumnya.

Wayang menurut Bhante

Suatu ketika ada sarasehan mendadak di salah satu vihara di dusun saya yang mendatangkan seorang bhikkhu dari Bali (yang kebetulan sedang berdiam di salah satu vihara di daerah yang masih satu kecamatan dengan tempat saya tinggal), namun beliau ditahbiskan menjadi bhikkhu di Myanmar.

Jadi boleh dikatakan beliau adalah bhikkhu dari Sangha Theravada Myanmar. Nama beliau adalah Bhante Vijaya. Waktu itu sarasehan selesai sekitar pukul 21.00 WIB, namun sebagian umat tidak pulang karena menemani Bhante menginap di vihara. Ketika sekitar pukul 23.00 WIB sebagian umat termasuk saya berkumpul di teras vihara, sedangkan Bhante di dalam vihara.

Kami yang di teras sedang asyik mengobrol tentang wayang, tiba-tiba Bhante keluar dan mendapatkan kami sedang asyik ngobrol. Lalu Bhante bertanya kepada kami, “Wah sedang asyik ngobrol apa ini, kayaknya asyik banget?”. Kami pun menjawab, “ Ngobrol wayang Bhante,sahut kami. Kemudian Bhante pun menyambut jawaban kami, “ Owh wayang, iya saya juga senang dengan wayang, sahut Bhante sambil tersenyum bahagia.

Baca juga: Mati Sajroning Urip, Urip Sajroning Pati

Bermula dari situ saya semakin tertarik untuk mengobrol dengan Bhante. Tanpa menunggu lama saya pun langsung bertanya kepada Bhante tentang wayang jika dilihat dari sudut pandang Buddhis.

Berikut penjelasan Bhante meskipun tidak secara detail setiap kata persis seperti yang diutarakan oleh Bhante, namun secara gambaran keseluruhan saya paparkan dalam artikel ini. Dan apa yang dijelaskan Bhante bukan keseluruhan cerita wayang namun hanya cerita tentang Pandawa dan Kurawa dari sisi Buddhis.

Menurut penjelasan Bhante Vijaya, bahwa cerita wayang adalah saloka atau dalam bahasa yang umum adalah suatu ajaran yang dijabarkan dalam bentuk seni pertunjukan dan disimbolkan dalam setiap karakter tokoh-tokoh wayang.

Ajaran yang dimaksud adalah ajaran Buddha Gotama. Jadi, menurut Bhante wayang muncul setelah ajaran Buddha Gotama ada. Lalu bagaimana hubungan simbol karakter tokoh-tokoh Pandawa dan Kurawa dengan ajaran Buddha?

Menurut Bhante, Pandawa adalah simbol pancabala atau lima kekuatan dalam ajaran Buddha. Kita tahu Pandawa terdiri dari lima tokoh yaitu Puntadewa atau Yudhistira, Bhima atau Werkudara, Arjuna atau Janaka, dan yang disebut saudara kembar Nakula dan Sadewa.

Bahasa simbolik

Dari setiap tokoh ini menyimbolkan setiap kekuatan dari pancabala. Puntadewa atau Yudhistira adalah simbol dari kekuatan keyakinan (saddha) yang diwujudkan dalam karakternya yang tenang, ikhlas dan tulus dalam menghadapi segala kenyataan hidup namun tetap kuat dan tegas dalam membela kebenaran, dalam bahasa wayang disebut “lilo legowo berbudi bowo laksono”.

Bhima atau Werkudara adalah simbol dari kekuatan kedua yaitu semangat (viriya) yang diwujudkan dalam karakternya yang tak pernah gentar menghadapi apa pun yang menghadangnya, pelaksana yang tegas. Cenderung pendiam namun sekali bertindak mampu menyelesaikan segalanya.

Arjuna atau Janaka dalah simbol dari kekuatan perhatian (satti), yang diwujudkan dalam karakternya sebagai tokoh yang berada di tengah-tengah para saudaranya yang harus mampu memperhatikan, membantu kakak-kakaknya, dan juga siap mengayomi adik-adiknya. Dalam bahasa pewayangan disebut sebagai Panenggak Pandawa.

Sedangkan Nakula dan Sadewa disebut sebagai saudara kembar yang merupakan simbol dari kekuatan perenungan (samadhi) dan kebijaksanaan (panna). Karena kedua kekuatan ini memang harus bersamaan, tak terpisahkan, kebijaksanaan timbul harus melalui perenungan. Artinya dari perenungan yang mendalam, akhirnya pengertian yang benar atau kebijaksanaan muncul. Lalu bagaimana dengan Kurawa?

Baca juga: Buta Cakil

Seperti yang dijelaskan Bhante, bahwa Kurawa merupakan simbol dari kekotoran batin atau kilesa. Dalam wayang, Kurawa digambarkan berjumlah 100 orang. Jumlah itu hanya menggambarkan bahwa kekotoran batin berjumlah banyak, dalam ajaran Budhha yang paling sering kita dengar adalah bersumber dari lobha, dosa, dan moha yang kemudian beranak pinak menjadi banyak sekali kotoran batin lainnya.

Bhante memang tidak menjelaskan secara rinci mengenai hubungan simbol per karakter Kurawa dengan kekotoran batin ini. Namun Bhante menjelaskan bahwa Kurawa adalah anak-anak dari seorang raja yang buta yaitu Raja Desthrarata dan permaisurinya yang juga ikut membuta.

Buta merupakan simbol ketidaktahuan atau kebodohan. Raja yang buta menggambarkan makna bahwa dari kebodohan atau ketidaktahuan inilah yang memunculkan berbagai kekotoran lainnya di dalam batin.

Cerita selanjutnya adalah tentang pertempuran antara Pandawa dan Kurawa yang dikenal dengan Perang Baratayudha. Singkatnya perang tersebut dimenangkan oleh pihak Pandawa meskipun jumlah Pandawa jauh lebih sedikit dibanding jumlah Kurawa.

Menurut Bhante perang ini merupakan gambaran bahwa kotoran batin atau kilesa yang jumlahnya banyak bisa dikalahkan dan diberantas dengan lima kekuatan atau pancabala yang semuanya ada di dalam diri kita masing-masing.

Itulah cerita wayang dari sisi Buddhadharma menurut Bhante Vijaya, namun benarkah demikian?

Ana Surahman

Pemuda Buddhis Temanggung, Mencintai dunia seni rakyat dan wayang. Penggarap gending seni jaran kepang KTKB Mranggen.

 

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *