• Thursday, 4 January 2018
  • Surahman
  • 0

Mengapa saya mesti berbelas kasih? Memancarkan kehangatan pada orang-orang yang menyebalkan? Kerumunan manusia yang selalu memojokkan saya, mengganggu kenyamanan saya, menghina saya  dan hanya menawarkan penderitaan pada saya!

Ke manakah emosi yang memuncak, kemarahan, kebencian, dan iri hati ini, saya hempaskan agar diri ini menyemai kelegaan? Bukankah teori psikologi modern menawarkan jalan pelampiasan, daripada emosi terpendam semakin menguat, menggunung lebih baik dilampiaskan, diumbar, diekspresikan dan perlu ada korban pelampiasan!

Demikian runtutan logis yang didukung oleh pendapat-pendapat yang kebetulan dikatakan ilmiah. Orang modern, apalagi terpelajar biasanya melandaskan laku hidup pada rujukan-rujukan ilmiah yang ditawarkan oleh berbagai penelitian.

Pelampiasan kasar, lazim mudah dilihat pada sikap dan perilaku gampang menyalahkan pihak luar, baik orang lain maupun kondisi tertentu yang tidak menggembirakan. Pelampiasan yang kelihatannya lembut dan penuh suka ria terlihat pada kehausan memperoleh penghiburan.

Tetapi apakah dengan begitu gejolak yang ada di dalam sana sepenuhnya luruh? Apakah kesepian, kebosanan, kebencian sepenuhnya terjinakkan?

Apakah pelampiasan kemarahan memang betul-betul melegakan? Atau justru sama dengan penumpukan bahan bakar baru? Atau apakah mencari penghiburan dapat memuaskan dan melegakan sepenuhnya? Atau ia akan merangsang pencairan kepuasan-kepuasan baru dalam wujud lain?

 
Lingkaran kacau ini, oleh para bijaksana disebut sebagai kegilaan samsara, dan mereka selalu menyeru kita untuk berhenti dan jangan terjebak, syukur-syukur bisa mentas dari lorong gelapnya.

Lingkaran setan ini dalam tradisi Jawa disebut sebagai bethara kala, dan orang yang terjebak di dalamnya secara tradisional disebut sebagai manusia sukerta termakan bethara kala, diperdaya oleh sang kala, sang waktu dalam samsara.

Sang waktu adalah raja semesta, siapa pun bisa dihempaskannya ke dalam penderitaan, pun ada yang dituntunnya ke arah kebahagiaan. Untuk keluar dari siklus melelahkan tersebut, maka seorang sukerta perlu diruwat dalam ritus peruwatan.

Dalam tradisi Buddhis, ruwat lebih dilakukan dalam konteks internal, bukan semata-mata aneka upacara eksternal belaka. Ruwat adalah laku keseharian, bukan musiman. Untuk bersahabat dengan waktu, meruwat sang kala penguasa samsara, kita dapat berlabuh pada gerbang Dharma.

Memasuki gerbang Dharma

Ada suatu jalan terang dan ceria yang ditawarkan oleh Buddha untuk mentas dari kegilaan samsara. Pintu terang yang ditemukan tersebut dipuji olah para bijaksana sebagai jalur yang indah pada tahap awal, tengah dan paripurnanya.

Bukan sebuah jalur penyiksaan diri, menekan berbagai badai emosi yang ada, pun bukan jalur lepas batas dalam kehausan pemuasan diri, karena penekanan diri dan pemuasan berlebihan hanya menyeret pada kegilaan-kegilaan baru yang tak berujung.

Secara tradisional dikatakan bahwa pintu gerbang tersebut bercabang-cabang, bahkan ada yang menyebutnya 84.000 cabang, namun kesemuanya bermuara pada rasa yang sama yakni rasa pembebasan.

Ada beberapa praktisi yang mulai terjebak pada kemilau pintu yang dilalui sembari mencemooh cabang pintu yang lain. Di sini sesungguhnya ia sedang balik arah dan tidak benar-benar memasuki pintu terang tersebut.

Untuk mengetuk pintu terang tersebut, salah satu jalan indahnya adalah dengan melatih laku kasih. Begitu hebatnya laku ini, bahkan Yang Mulia Karmapa dalam aspirasi Ajaran Mahamudra menyatakan bahwa “At the moment of loving kindness, emptiness arises nakedly.” Tepat pada saat laku belas kasih muncul, maka kesunyataan gamblang terlihat dengan sendirinya.

Hukumnya sama dengan meladeni emosi negatif, yang menyeret-nyeret kawan negativitas yang lain, ketika pintu terang satu dibuka, maka terang yang lain juga terbuka.

Melatih laku kasih bukan sebuah laku yang dibuat-buat. Kasih yang bagus adalah kasih yang mengucur spontan dan sekaligus disertai tindakan nyata. Laku yang dibuat-buat cenderung melelahkan dan membosankan. Untuk melatih laku kasih, ada anak tangga yang perlu dilalui terlebih dahulu.

 
Anak tangga pertama disebut sebagai satu rasa yang sama. Kita harus mampu menyentuh titik persamaan yang ada pada setiap makhluk, berdiam di dalamnya secara jernih. Meskipun manusia beragam, hewan juga beragam, namun kesemuanya memiliki titik sentuh yang sama yaitu hasrat bahagia dan tidak ingin menderita.

Ayam yang berkokok, semut yang berjalan, burung berkicau, larva yang menggeliat, semuanya mendamba kebahagiaan. Gerakan sederhana yang kita lakukan seperti menoleh, menggaruk tangan atau kaki, membetulkan posisi duduk dan aktivitas rutin harian semuanya didasari motif ingin bahagia.

Sama persis seperti kita semua makhluk baik yang kita sukai, yang kita tidak sukai, semuanya menginginkan kebahagiaan. Bila titik ini benar-benar bisa kita sentuh secara mendalam, maka kasih bukan sesuatu yang harus dibuat-buat, tetapi mengucur deras secara alamiah.

Khazanah Jawa

Derajat kesamaan sedikit meredakan kebiasaan dualitas kita, anggapan mendua atau dalam khazanah Jawa dikenal sebagai mangkro tingal sedikit redup. Tidak ada lagi dia, mereka, yang menyakiti saya tetapi yang ada menjadi kita yang sama-sama mendamba kebahagiaan.

Bahwa ada dia yang menyakiti kita, justru tindakannya tersebut patut dikasihani, karena hanya orang yang menderita yang bisa menyakiti. Atau dengan kata lain, si dia mencari kebahagiaan dengan cara yang salah. Di sini, kasih kembali mengucur deras dan tidak menyisakan fondasi bagi kebencian dan dendam sama sekali.

Ketika hidup berada dalam selimut kasih, maka sang bethara kala bukan menjadi belenggu lagi, ia menjadi sahabat, menjadi mitra yang setia. Tak peduli sang waktu terus melaju, hari, bulan, tahun berganti, ketika kita mampu memasuki gerbang kasih, waktu hanya menawarkan kebahagiaan dan kelegaan… Mari menikmatinya bersama…

Surahman

Pernah bekerja di pusat kerukunan umat beragama Setjen Kemenag RI. Aktif dalam kegiatan konservasi lingkungan hidup.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *