• Wednesday, 22 August 2018
  • Hartini
  • 0

Sebuah kisah dari kehidupan Milarepa, salah satu yogi sekaligus penyair Tibet yang paling terkenal. Milarepa saat menjalani masa meditasi penyepian dalam gua di gunung, pada suatu hari, Milarepa pergi keluar untuk mengumpulkan kayu bakar, dan saat kembali ia menemukan bahwa iblis telah menduduki guanya.

Mereka melontarkan naskah-naskahnya ke udara, memakan persediaan makanannya, serta berdiri menginjak altarnya. Ketika melihat Milarepa, mereka mengancam nyawanya dan mengatakan bahwa gua tersebut sekarang milik mereka.

Dulu Milarepa mempelajari ilmu hitam. Menggunakan ilmu hitam untuk membalas dendam pada orang-orang yang pernah menindasnya.

Jadi, saat menemukan para iblis, reaksi pertamanya adalah menyerang – untuk memerangi mereka dengan kekuatan mantra. Tetapi semakin ia memerangi mereka, para iblis ini justru tumbuh dan kian membesar. Maka Milarepa kemudian mencoba bermeditasi mengenyahkan mereka, memberitahu dirinya sendiri, “Ini adalah sunya. Ini hanyalah ciptaan pikiranku sendiri.”

Tetapi para iblis itu justru semakin menjadi-jadi dan kian menjengkelkan. Akhirnya, Milarepa menyerah. Ia duduk, bernyanyi untuk mereka, dan memperlakukan para iblis itu layaknya sahabat, bahkan menyajikan makan malam untuk mereka.

Baca juga: Laku Meruwat Sang Bethara Kala, Laku Welas Asih

Ketika mereka makan, Milarepa membabarkan ajaran Dharma pada para iblis itu, dan dengan mendengarkan Dharma, mereka perlahan menjadi tenang. Seiring berlalunya waktu, pikiran mereka berubah dan mereka menjadi praktisi Buddhis.

Milarepa dengan cerdas menundukkan para iblis. Berhenti menggunakan upaya kekerasan, yang memang tidak bermanfaat dalam situasi seperti itu, Milarepa melakukan pendekatan melalui semangat pembelajaran. Inilah yang dimaksudkan dengan mengembangkan diri kita secara selayaknya dalam sebuah situasi.

Pada dasarnya, semua masalah rasisme, fanatisme, dan gender, adalah akibat adanya kebodohan dan ketidaktahuan – dan ketidaktahuan hanya dapat diselesaikan dengan welas asih.

Welas asih serta ketulusan yang kita praktikkan akan merubah tindakan yang biasa-biasa saja menjadi aktivitas pencerahan. Pada saat yang bersamaan, tindakan ini membantu dunia kita sekaligus meningkatkan kualitas batin kita serta menundukkan pikiran kita sendiri. Sebagaimana diketahui oleh setiap orang tua, kita dapat tetap lembut hati saat menerapkan disiplin, menentukan batasan, serta mengatakan tidak. (Lionsroar.com)

 

Naskah ditulis oleh Pema Khandro Rinpoche

Pema Khandro Rinpoche ditengarai sebagai tulku dalam silsilah Nyingma dan Kagyu.  Beliau merupakan pendiri Ngakpa International serta Maha Siddha Center di Berkeley, California.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *