• Friday, 14 September 2018
  • Sunyaloka
  • 0

Geshe Tenzin Zopa berkenan menjelaskan tentang Candi Mendut, berikut penjelasannya yang kami rangkum dalam tulisan pendek tentang pentingnya Candi Mendut.

“Lima Kesepakatan” Utama yang telah dipelajari, dipelihara, dan dipraktikkan oleh vihara-vihara besar berdasar pada Janchup Tenga. “Lima Kesepakatan” tersebut seperti Ornamen dari Realisasi yang Jelas adalah salah satu ajaran paling luas tentang Lima Jalan dan Sepuluh Dasar. Salah satu ulasan yang sangat mendalam tentang Sutra Hati seperti Ornamen tentang Realisasi yang Jelas – “Ngontok Gyen”, sebenarnya komentar ini sangat mendalam dan sangat luas mengenai Sutra Hati. Sutra Hati mempunyai dua aspek ajaran.

Salah satunya adalah aspek yang jelas pada ajaran yang ada pada penjelasan kekosongan dan “Belyum Ngondo” adalah penjelasan tersembunyi tentang Sutra Hati tentang pengajaran Lima Jalan dan Sepuluh Dasar. Jadi “Ngontok Gyen” – Ornamen tentang Realiasi yang Jelas, ini adalah salah satu komentar utama yang disusun oleh Maitreya kemudian diwariskan ke silsilah Asanga.

Bahkan sampai hari ini kita memiliki pengajaran itu, tidak hanya di komunitas wihara tapi juga di komunitas awam. Di cabang-cabang FPMT, salah satu mata pelajaran yang kita pelajari. Sudah tentu saja tema pengajaran itu kembali terfokus pada dua altruisme: bodhicitta dan kekosongan. Itu semua tentang keseluruhan inti ajaran Buddha; terutama ajaran Mahayana, dan ajaran Tantra, jadi oleh karena itu tempat ini sangat penting bagi kita.

Alasan kedua; pentingnya Candi Mendut, Ornamen tentang Realiasi yang Jelas ini sangat penting karena semua ajaran Lojong yang kita punyai aksesnya sampai hari ini. Ratusan, ratusan naskah asli dan buku-buku yang mengulas Lojong oleh para pendahulu guru besar Kadampa; mulai dari Lama Atisha dan juga para Guru besar Kadampa, LamaTsongkapa dan dua muridnya yang menyusun Kesepakatan Lamrim dan berbagai tahapan yang berbeda dari Lamrim.

Seluruh Lamrim, seluruh pengajaran dari Nyima, Kagyu, Sakya, Gelug didasarkan pada naskah Lama Atisha, ” Pelita Jalan “. Karena Lama Atisha, semua dari keempat tradisi agama Buddha Tibet memperoleh jalan yang utuh untuk mencapai pencerahan. Nyingma memiliki “Kusha Lame Syalung”. Kagyu memiliki “Dabo Tagye”. Sakya memiliki “Sakye Lamde”. Gelug memiliki “Gelug Lamrim.”

“Pelita Jalan” oleh Lama Atisha

Walaupun labelnya berbeda nama, ada sedikit gaya presentasi yang berbeda namun akarnya didasarkan pada “Pelita Jalan”. Seluruh ajaran Lojong “Pache Buche”, “Kesepakatan Lojong” ibarat ayah dan anak laki-laki. “Kesepakatan Lojong” berasal dari seluruh pendahulu guru besar Lojong Kadampa, semua para penerus guru besar Kadampa bergantung dan berdasarkan pada “Pelita Jalan” oleh Lama Atisha.

Lama Atisha mampu membawa ajaran yang asli ke Tibet. Ajaran yang asli yang sudah lama ada di India, ajaran yang asli ini kemudian dilanjutkan sampai ke barat dan kita semua mendapatkan akses ajaran Lojong dan Lamrim.

Apa pun tradisi yang kita ikuti, tidak masalah, apa pun labelnya yang kita praktikkan tidak masalah, tapi yang paling penting adalah apa yang kita dapatkan benar-benar mutlak, asli, benar, sepenuhnya dari silsilah ajaran yang berasal dari Lama Atisha. Lama Atisha memiliki keberanian, memiliki hak istimewa dan memiliki jasa kebaikan yang luar biasa untuk membawa manfaat bagi pelestarian ajaran Mahayana ke dalam semua “Kesepakatan” ini disebabkan terutama karena jasa kebajikan gurunya yang tulen, Lama Serlingpa.

Tujuh-Teknik/Metode dari hukum Sebab dan Akibat yang Lama Atisha terima dari Lama Serlingpa

Lama Atisha memiliki 507 guru, ia menerima begitu banyak berbagai ajaran sutra dan tantra, namun saat ia memanggil nama Lama Serlingpa, secara alami dia meneteskan air mata karena pengabdiannya yang tulus dan khusus. Semua ini karena ia telah menerima berkat, transmisi, dan bimbingan bodhicitta dan tradisi dan silsilah ajaran yang dia dapatkan dari Lama Serlingpa adalah Tujuh-Teknik/Metode dari hukum Sebab dan Akibat, pelatihan bodhicitta.

Baca juga: Candi Mendut, Simbol Perjumpaan Welas Asih

Ia menerimanya di Nusantara dan dia tinggal di Nusantara selama dua belas tahun di bawah permintaan Lama Serlingpa yang mana adalah gurunya. Niat pertamanya adalah datang ke sini untuk menerima transmisi dan melakukan perjalanan ke Nalanda dan Vikramashila dan seharusnya Lama Atisha sudah pulang kembali. Saat itu dia bahkan tidak berniat berpergian ke Tibet.

Tapi Lama Serlingpa menasihati Lama Atisha untuk tinggal di sini tidak saja hanya menerima transmisi; “tapi jika engkau tetap di sini karena ini adalah tempat yang istimewa dan terberkati dengan silsilah ajaran ini”; “jika engkau tetap di sini dan terus mengolah, engkau memiliki kesempatan untuk mendapatkan realisasi bodhicitta”, maka Lama Serlingpa menasihatinya untuk tinggal di sini selama dua belas tahun dan dia tinggal di sini selama dua belas tahun.

Saya yakin Lama Atisha sudah tentu berkeliling ke banyak tempat di Nusantara seperti Sumatera, ia mungkin sudah datang ke Sumatera dan selama waktu itu ada komunitas praktisi Vajrayana yang sudah mahir di daerah ini, yang tentunya sudah berkembang lebih pesat lagi, terutama pada saat pemutaran roda Dharma yang dipimpin oleh Lama Serlingpa di wilayah ini, banyak berkembang dengan suburnya Vajrayana dan Mahayana.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *