• Sunday, 30 July 2023
  • Ngasiran
  • 0

Penulis: Sugianto Sulaiman

Foto: Ngasiran

Salah satu Podcast yang menarik yang saya dengar adalah Podcast Guru Gembul, yang membahas Khutbah Idul Adha atau Idul Qurban. Menurut Guru Gembul, hampir seluruh Masjid dan tempat-tempat Ibadah umat Islam ketika Sholat Idul Adha, maka Khatib menyampaikan ceramah mengenai berkorban, dimana Nabi Ibrahim AS bersedia mengorbankan anaknya Nabi Ismail atas perintah Allah Swt. 

Ceramah itu di ulang-ulang dari tahun ke tahun namun hasilnya merujuk ke indeks prestasi manusia Indonesia yang mayoritas beragama Islam, maka indeks prestasinya masih di angka yang tidak menggembirakan dibandingkan indeks prestasi manusia dari negara-negara maju. Artinya khotbah atau ceramah Agama di berbagai tempat di Indonesia termasuk di dalam Agama Buddha tidak berhasil merubah perilaku manusia Indonesia. 

Indeks korupsi Indonesia juga anjlok dari sebelumnya bernilai 38 sekarang turun menjadi 34, artinya manusia Indonesia sangat korup. Bandingkan dengan negara-negara Skandinavia atau New Zealand atau Selandia Baru yang indeks korupsinya rata-rata di atas 90. Makin kecil indeks korupsi maka negara itu makin korup. Di negara-negara Skandinavia tersebut, Selandia Baru dan bahkan di Singapore yang korupsinya sangat kecil berada di atas 80 an. Agama atau ritual agama, termasuk khotbah, ceramah, dan aktivitas agama lainya ternyata tidak diminati oleh warga. Bandingkan dengan di negara kita, yang hampir semua kegiatan agama di penuhi oleh umatnya. Namun perilaku kita sangatlah bobrok. Lalu dimana salahnya?

Menurut Guru Gembul, disamping keteladanan dari tokoh-tokoh agama, hal terpenting lain yang mesti kita lakukan dalam hal ceramah, khotbah, atau dalam Buddhis kita namai Dhammadesana harus kontekstual dan membumi sehingga dapat dimengerti dan “nyambung” dengan kehidupan sehari-hari umat. 

Contoh pengorbanan dapat kita ambil dari berbagai hal. Misalnya di jaman pandemi, MBI Pusat menyediakan rumah besar kita “Prasadha Jinarakkhita” sebagai tempat vaksinasi umum yang dilaksanakan oleh Walikota Jakarta Barat melalui Puskesmas Kembangan. Sewaktu masih berjangkit virus Corona type D, kita terpaksa menerima kematian salah satu relawan dari karyawan Koperasi Maju. Ia meninggal karena terpapar Pandemi Corona, dan ada 14 karyawan lainya termasuk ketua WBI, Ibu Lucy Salim yang harus menjalani pengobatan intensif yang hampir merenggut nyawa Ibu Lucy Salim. Semua ini adalah bentuk pengorbanan.

Cerita lain yang juga bisa kita jadikan contoh, misalnya kejadian di Italia, di kota Florence. Ketika Pandemi Corona berlangsung di tahun 2019 Italy gagap dan tidak siap menghadapinya. Tidak ada negara yang siap menghadapi Pandemi Corona, termasuk negara kita tercinta, Indonesia. Kisahnya dimulai ketika Sang Pastur yang cukup senior berusia hampir 70 tahun masuk ke ruangan perawatan yang sudah penuh sesak. Ia beruntung karena dihormati sebagai tokoh agama, sehingga ia memperoleh fasilitas perawatan yang memadai. Ia memperoleh tempat tidur dan bahkan alat pernapasan yang sangat langka di waktu itu, bernama ventilator. 

Bayangkan, negara sebesar Indonesia pun hanya punya ventilator tidak lebih dari 10 unit, dan untuk wilayah Italy ventilator nya yang tersedia mungkin tidak lebih dari 6 unit. Dalam keadaan krisis kesehatan yang begitu hebat, Italy hampir lumpuh. Lalu Sang Pastur yang sudah terawat dengan sangat baik bahkan terasa mewah saat itu tiba-tiba menyadari disampingnya terbaring seorang pemuda yang masih sangat muda kira-kira berusia 30 tahun. 

Pastur itu melihat pemuda tersebut tersengal-sengal mempertahankan nafasnya walaupun sudah dibantu dengan oksigen. Sang Pastur bertanya kepada Perawat, “mengapa pemuda itu masih tersengal-sengal?”. Sang perawat menjawab, “paru-parunya penuh dengan virus Corona, ia perlu ventilator, namun rumah sakit se kota ini hanya ada 1 ventilator yang sekarang sedang digunakan bapak Pastur”. 

Dengan muka yang datar Sang Pastor menjawab, “kalau begitu berikan ventilator ini kepada pemuda itu, sebab ia masih muda”. Perawat itu menjawab, “jangan bapak, karena tanpa ventilator bapak tidak akan bertahan”. Dengan paras yang memaksa Sang Pastur meminta alat tersebut dipindahkan ke pemuda tersebut. Dan ketika permintaanya dipenuhi keesokan harinya Sang Pastur berpulang dengan damai kerumah Bapa-nya di Surga dan pemuda tersebut selamat.

Di Buddhis, hal ini bukan contoh yang aneh. Ada juga Biksu yang mengorbankan jiwa raganya untuk kedamaian dunia. Sang Biksu membakar dirinya di depan Istana Presiden Vietnam Selatan, Saigon. Bukan untuk bunuh diri tapi justru untuk memancing perhatian dunia akan penderitaan rakyat Vietnam yang sedang mengalami kecamuk perang dengan Amerika Serikat. Rakyat Vietnam di bom dengan cairan oranye, sehingga menimbulkan kematian bukan hanya pada manusia tetapi juga hewan-hewan dan bahkan tumbuh-tumbuhan. 

Akibat racun oranye itu dampaknya masih terasa berpuluh-puluh tahun kemudian. Pada tanggal 11 Juni 1963, Biksu Thích Quảng Duc duduk dengan tenang walaupun api dengan ganas menjilati seluruh tubuhnya hingga ia roboh tersungkur. Tanpa tindakan Biksu Thích Quảng Duc maka bom oranye akan terus menghujani rakyat Vietnam. Tanpa tindakan Biksu Thích Quảng Duc maka tidak ada masyarakat dunia yang peduli dengan penderitaan rakyat Vietnam, jadi bakar diri Biksu Thích Quảng Duc bukan perbuatan sia-sia atau aksi bunuh diri biasa. 

Ada yang mencoba membakar diri seperti yang dilakukan Sang Biksu di atas, peristiwa tersebut terjadi di Medan, Sumatera Utara ketika sekelompok orang berdemo di depan Kantor UNHCR Medan, hari selasa, 30 November 2021. Para pengungsi Afghanistan tersebut menuntut agar mereka segera ditempatkan di negara-negara penerima seperti Amerika Serikat, Australia, dan seterusnya. Karena kesal dan marah, salah satu pengungsi yang bernama Ahmad Syah membakar dirinya dengan cara menyiramkan bensin lalu menyulut api ke tubuhnya. 

Dalam waktu singkat api segera menjilati seluruh tubuhnya sehingga ia menderita luka bakar sebesar 75%. tidak seperti Biksu Thích Quảng Duc dia tidak tahan dengan panasnya api, ia menjerit-jerit minta tolong, menggulingkan dirinya di tanah agar apinya padam dan kelakuan Ahmad Syah dianggap suatu kebodohan. 

Tentu kedua hal di atas walaupun sama-sama membakar diri, namun mempunyai visi yang berbeda. Biksu Thích Quảng Duc mempunyai visi perdamaian dunia, mengungkapkan penderitaan rakyat Vietnam dan membakar diri sampai mati untuk menarik perhatian dunia. Sedangkan Ahmad Syah membakar diri untuk memperjuangkan kepentingannya agar segera ditempatkan di negara penerima pengungsi. Dengan motivasi yang berbeda, maka hasilnya pun berbeda. Dunia menghormati Biksu Thích Quảng Duc sampai hari ini.

Pengorbanan diri Biksu Thích Quảng Duc dan Sang Pastur dalam cerita di atas bukan bunuh diri yang sia-sia, tetapi merupakan pengorbanan yang tulus untuk kemanusiaan. Cerita-cerita di atas sangat menginspirasi dan kaya akan nilai-nilai kebajikan dan tentunya kontekstual dan membumi. Memang untuk menggali hal-hal seperti di atas kita perlu banyak membaca, mendengar, melihat dan merasakan kejadian-kejadian yang membawa jiwa-jiwa kepahlawanan. Sewaktu mendengarkan dan melihat cerita-cerita di atas tentu kita terasa mengharu biru, tetapi ceramah yang menyelipkan hal-hal positif di atas paling tidak bisa menggugah umat-umat yang mendengarnya. Mereka tidak akan tertidur atau berbicara satu dengan lain atau menonton HP nya, seperti yang disampaikan Guru Gembul. 

Dari apa yang kita uraikan diatas, terlihat betapa pentingnya Dhammadesana yang kontekstual. Dhammadesana yang disampaikan anggota Sangha dan Upasaka Pandita sangat penting mendorong umat Buddha kita mencapai pembebasan, bebas dari penderitaan, bebas dari keinginan yang berlebihan dan bebas dari rasa takut dan ketidakpastian sehingga bisa mencapai Arahat.

Mettacittena

UP Sugianto Sulaiman

Institut Nagarjuna

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *