• Sunday, 3 January 2021
  • Adica Wirawan
  • 0

Walaupun sekarang tidak lagi menggunakan sistem pemerintahan dalam bentuk kerajaan, namun pada masa lampau, India diketahui mempunyai sejumlah raja yang terkenal. Salah satunya adalah Maharaja Asoka.

Kisah Maharaja Asoka mungkin sudah banyak ditulis, diceritakan, atau bahkan difilmkan. Namun, bagi saya pribadi, maharaja yang satu ini mempunyai kehidupan yang menarik.

Disebut demikian, karena kalau mengikuti sejarah Maharaja Asoka, maka kita seperti menyimak sebuah epik tentang transformasi spiritual. Bagaimana seorang maharaja yang dulunya dikenal begitu kejam karena tega membunuh ribuan orang bisa berubah menanggalkan semua kekerasan, dan kemudian menghabiskan sisa hidupnya dengan kelembutan.

Dalam banyak literatur, memang tidak disebutkan secara spesifik tentang kepribadian Asoka ketika ia masih kecil. Sejarah hanya mencatat bahwa ia adalah anak dari Raja Bindusara, dan berasal dari Suku Mauriya (Moriya).

Suku ini sejatinya merupakan “cabang” dari Suku Sakya. Alhasil, Asoka sebetulnya masih mempunyai hubungan darah dengan Buddha Gotama, sehingga hal inilah yang mungkin membuatnya mempunyai “ikatan batin” yang erat dengan Buddhisme pada kemudian hari.

Pada masa mudanya, Asoka ditunjuk menjadi Gubernur Avanti, yang beribukota di Ujjeni. Di sana ia tak hanya bertugas mengelola kota, tetapi juga berupaya memadamkan pemberontakan. Ia berhasil menjalankan tugasnya dengan baik, dan kariernya di pemerintahan pun melesat begitu cepat.

Setelah ayahnya meninggal dunia, Asoka kemudian menjadi raja baru di Pataliputta. Pencapaian tadi sebetulnya tidak mudah, sebab ia mesti bersaing dengan 101 saudaranya, yang juga menginginkan tampuk kekuasaan yang ditinggalkan Bindusara.

Di sini, kepribadian Asoka yang begitu ambisius dan kejam mulai terlihat. Pasalnya, untuk memuluskan tujuannya menjadi penguasa Pataliputta, ia disebut sampai tega membunuh sejumlah saudaranya sendiri. Pertempuran antar saudara tadi bahkan berlangsung hingga empat tahun.

Meski begitu, pada akhirnya, yang berhasil menduduki singgasana kerajaan adalah Asoka. Karena perbuatannya tersebut, maka ia kemudian mendapat julukan “Candasoka” (Asoka yang Kejam).

Kekejaman Asoka berlanjut seiring dengan ekspansi kerajaan yang dilakukannya. Ada banyak kerajaan-kerajaan kecil yang terletak di sekitar Pataliputta, yang ditaklukan dengan kekerasan. “Banjir darah” kerap mewarnai aksi penaklukan tersebut, mengingat terdapat ratusan atau bahkan ribuan orang yang dibunuh dalam peristiwa tersebut.

Berkat perbuatan tersebut, Asoka berhasil menyandang gelar “Maharaja”, memiliki wilayah kekuasaan yang begitu luas, dan menyatukan berbagai suku bangsa di bawah kepemimpinannya.

Meski begitu, pencapaian tersebut tidak membuatnya puas. Alih-alih bangga atau bahagia, hal itu justru membuatnya merasa menyesal. Penyesalannya muncul setelah ia sukses menaklukkan Kalingga.

Seperti daerah lain, Kalingga dibuat hancur lebur dalam penaklukan yang dilakukan Asoka. Dalam kejadian itu, ada banyak orang yang tewas, mulai dari laki-laki, perempuan, hingga anak-anak. Sewaktu mengunjungi daerah tersebut, dan melihat sendiri betapa buruknya kekejaman yang sudah dilakukannya, hatinya pun merasa bersalah.

Menganut Buddhisme

Perasaan bersalah tadi kemudian mendorong perubahan spiritual dalam batin Asoka. Setelah mendengar nasihat dari saudaranya, yakni Tissa, akhirnya Asoka memutuskan mendalami Buddhisme. Sejak saat itu, ia berhenti melakukan ekspansi, menanggalkan semua kekerasan, dan menghabiskan sisa hidupnya dengan kelembutan.

Proses perubahan spiritual yang dialami Asoka tentu tidak instan. Ada proses yang mesti dilaluinya. Proses tadi mungkin sulit dijalani, mengingat terdapat berbagai tantangan yang mesti dihadapinya, mulai dari kemungkinan terjadinya serangan balasan dari negara-negara yang sudah ditaklukkannya, pergolakan dalam negeri yang selama ini tertekan akibat sikap otoriternya, hingga perebutan kekuasaan yang kini dimilikinya. Singkat kata, semuanya tidak mudah.

Meski begitu, Asoka akhirnya bisa menjalaninya dengan baik. Pelan-pelan ia mulai mengubah sikapnya. Ia tak lagi memerintah dengan “mengagungkan” kekerasan. Ia sekarang mengelola pemerintahannya dengan semangat pantang kekerasan. Alhasil, semua rakyat yang di bawah kekuasaannya pun mengikuti sikapnya, sehingga kekerasan yang selama ini kerap terjadi banyak berkurang. Negeri pun menjadi aman dan damai.

Selanjutnya, di sisa hidupnya, Asoka banyak berkarya untuk melestarikan Ajaran Buddha. Ia mengunjungi Empat Tempat Suci, membangun banyak vihara, dan memelihara Sangha. Karena ada begitu banyak kebaikan yang dilakukannya, maka jangan heran, ketika wafat, ia pun mendapat julukan “Dhammasoka” (Asoka yang Saleh).

Tanpa bertemu dengan Buddha

Kisah hidup Asoka memang menarik mengingat transformasi spiritual yang dialaminya berlangsung tanpa pernah berjumpa dengan Buddha. Ia berbeda dengan siswa-siswi Buddha yang lain, yang baru berubah setelah mendapat nasihat dari Buddha. Sebut saja Angulimala, yang dikenal sebagai seorang pembunuh yang keji karena telah menghabisi 999 nyawa manusia.

Seperti yang termaktub dalam Tipitaka, Angulimala mungkin saja bakal menderita di Neraka dalam waktu yang lama, andaikan tidak bertemu dengan Buddha. Pada waktu itu, kehadiran Buddha mencegahnya membunuh ibunya sendiri, dan Dhamma yang dibabarkan buddha kemudian “merontokkan” sifat kejamnya. Dalam bimbingan Buddha, Angulimala akhirnya sukses menjadi seorang Arahat.

Walaupun memiliki sifat kejam, seperti Angulimala, namun Asoka mempunyai jalan tersendiri dalam mengenal Ajaran Buddha. Ia memang tidak berkesempatan mendengar Ajaran Buddha secara langsung karena ia terlahir beberapa ratus tahun setelah Buddha Parinibbana. Namun, ia cukup beruntung mempunyai saudara seperti Tissa, yang mengenalkannya pada Ajaran Buddha.

Andaikan tidak berjumpa dengan Tissa, maka mungkin saja Asoka akan terus melanjutkan kebiasaannya dalam membunuh orang. Hal inilah yang memungkinkannya terlahir di alam menderita pada kehidupan berikutnya.

Pada akhir hayatnya memang tidak disebutkan pencapaian kesucian yang berhasil diraih Asoka. Berbeda dengan Angulimala yang sukses mencapai tingkat kesucian tertinggi, Asoka boleh jadi meninggal dunia tanpa tercerahkan sekalipun.

Meski begitu, alih-alih sebagai raja yang lalim, Asoka ternyata lebih dikenang sebagai seorang raja agung yang baik hati. Bukankah ini sebuah catatan bagus, yang layak ditorehkan dari seorang raja yang dulunya pernah mempunyai sejarah yang kelam?

Setelah wafat, Asoka mewariskan banyak karya, mulai dari bangunan keagamaan hingga pilar Asoka yang melambangkan semangat pluralisme. Namun, bagi saya pribadi, warisan berharga yang ditinggalkan oleh Asoka ialah sebuah keberanian yang begitu luar biasa untuk meninggalkan semua keburukan dan beralih menjalani kebaikan.

Salam.

Referensi:
Ensiklopedia Tipitaka, karya G.P. Malalasekera

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *