• Friday, 25 October 2019
  • Bhikkhu Pabbajayo
  • 0

Peribahasa yang dijadikan sebagai judul dari artikel ini di atas mengandung arti bahwa perilaku atau perangai menunjukkan adab seseorang. Dapat juga berarti baik buruk perilaku seseorang mencerminkan kepribadiannya, mengindikasikan tinggi rendahnya akhlak yang dimilikinya.

Sebagaimana kata adab, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, memiliki arti kehalusan dan kebaikan budi pekerti; kesopanan; akhlak. Kosokbali dari kata ini adalah biadab, yang memiliki definisi belum beradab alih-alih tidak beradab. Belum beradab artinya memiliki kemungkinan untuk diubah.

Dalam agama Buddha laku atau perbuatan memiliki cakupan yakni pikiran, ucapan, dan tindakan jasmani. Bukan saja laku yang kasat mata seperti lisan dan tindakan, tetapi juga termasuk laku pikiran (perbuatan melalui pikiran). Ketiganya disebut sebagai pintu perbuatan. Dari ketiganya kebaikan dan kejahatan dapat dilakukan. Untuk perbuatan jahat, akarnya adalah ketamakan (lobha), kebencian (dosa), dan ketidaktahuan (moha).

Beradab sudah pasti bermatabat, tetapi tidak selalu berlaku sebaliknya

Adab adalah kualitas baik, sebuah nilai yang dimiliki oleh seseorang dengan usaha, melalui proses belajar (berlatih) secara berkelanjutan dalam hidupnya. Nilai ini tidak digarisi melalui keturunan, tidak juga didapatkan melalui kedudukan sosial. Seseorang juga tidak bisa mengandalkan orang lain atau kekuatan entitas tertentu melakukannya untuk dirinya.

Dalam untaian indah syair Dhammapada 165, Sang Buddha bersabda bahwa, “Oleh diri sendiri kejahatan diperbuat, oleh diri sendiri pula seseorang menjadi ternoda. Oleh diri sendiri kejahatan dihindari, oleh diri sendiri pula seseorang menjadi suci. Suci ataupun tidak suci tergantung pada diri sendiri. Tidak seorang pun yang dapat menyucikan orang lain.”

Kata kuncinya adalah diri sendiri. Oleh diri sendiri. Seorang anak yang lahir dari keluarga yang taat beragama, misalnya, tidak lantas menjadi baik dengan sendirinya, kecuali melalui kombinasi antara didikan yang didapatkan dalam keluarga, lingkungan, dan aktualisasi dalam kehidupannya.

Ini berlaku bagi siapa saja. Setiap orang memiliki potensi yang sama untuk menjadi baik –atau sebaliknya– sejak ia mengenal dan memahami kehidupan, ada ataupun tidak kedudukan sosial yang dimiliki. Tetapi semuanya tidak instan, memerlukan proses, dan tidak pula gratis. Minimal harus dibayar dengan iktikad dan kontinuitas.

Dalam masyarakat, tak dapat dipungkiri bahwa orang lebih dihormati karena derajat atau status sosial yang dimiliki. Status sosial mendapatkan tempat terhormat. Meski begitu, tidak berarti bahwa segala hal yang baik dengan sendirinya menjadi milik kalangan tertentu, sedangkan semua bentuk kejahatan sudah pasti milik golongan lainnya.

Kebaikan dan kedudukan adalah dua hal yang berbeda. Kedudukan bisa didapatkan dan didominasi, tetapi kebaikan bukan monopoli kelompok tertentu.

Seorang yang tergolong miskin secara materi sekalipun dapat melakukan perbuatan baik. Mereka tergolong orang yang bermartabat secara moral, memiliki tingkat harkat kemanusiaan. Sebaliknya, orang yang secara sosial dianggap bermartabat tidak jarang justru berlaku lalim dengan memanfaatkan status yang dimiliki. Setiap orang memiliki potensi untuk melakukan perbatan baik atau buruk.

Seyogianya, siapapun kudu berbuat baik. Tapi kenyataannya kejahatan terjadi di mana-mana. Saban hari media mewartakan pelbagai tindak kriminalitas dalam ragam rupa, di manapun, dan dilakukan oleh banyak kalangan. Tidak saja dilakukan oleh kaum marjinal, tetapi juga oleh mereka yang dinilai terpandang dalam masyarakat.

Hampir sering media menyiarkan para aparatur negara melakukan tindak korupsi. Meskipun berkecukupan secara materi, mereka tetap tidak terpuaskan. Ini satu contoh dari sekian banyak kejahatan yang ada. Para pelaku kejahatan inilah contoh dari orang yang belum memiliki adab. Dalam frasa lain disebut ‘kaum terbuang’, sedikit lebih baik dari sebutan kasar ‘manusia sampah’.

Kriteria kaum terbuang dalam Vasala Sutta

Buddha menjelaskan secara terperinci apa saja kriteria dari ‘kaum terbuang’ ini dalam Vasala Sutta, Sutta Nipāta (Khuddaka Nikaya). Beberapa di antaranya adalah pemarah dan pendendam, memiliki pandangan salah, tidak memiliki cinta kasih dan melukai (membunuh) makhluk hidup lain, pencuri, pembohong, pelakor atau pebikor, tidak menyokong orang tua kandung dan durhaka terhadap mereka, dan sombong serta merendahkan orang lain…. “Orang demikian disebut sebagai Kaum Terbuang”.

Semua contoh kriteria yang ditulis di sini hanya sebagian kecil dari apa yang tertera di dalam sutta. Semuanya berpangkal dari tiga akar kejahatan tadi dan tersalurkan melalui tiga pintu perbuatan. Jika mencermati setiap tolak ukur tersebut, dipastikan bahwa kita sudah pasti pernah melakukan satu kasus atau lebih sejauh ini.

Tidak ada orang yang tidak pernah marah atau menyimpan dendam. Pandangan hidup kita tidak selalu berkiblat pada kebenaran. Mungkin kita tidak sampai menghilangkan nyawa manusia, tapi pernah melukai perasaan mereka dengan perkataan nyelekit. Pernah ingkar pada kewajiban sebagai anak kepada orang tua. Singkatnya, kita pernah berbuat salah. Laku kita tak selalu beradab.

Tetapi dengan mula-mula mengetahui bahwa kita salahlah kemudian kita bisa memperbaiki diri. Seseorang yang menderita suatu penyakit akan dapat lebih mudah dicarikan penawar dan diobati setelah didiagnosa. Begitupun dengan laku buruk.

Dengan tahu sesuatu itu buruk baru kemudian kita dapat membimbing diri dengan benar (attasammāpaṇidhi) di kemudian hari. Sebagaimana halnya bibit kejahatan, dalam diri kita juga mempunyai benih kasih. Keduanya sama. Luas bak samudra. Tergantung pada kita, memilih untuk mengembangkan yang terpuji dan menjadi beradab atau sebaliknya.

*Ditulis oleh Bhikkhu Pabhajayo, Sangha Theravada Indonesia

Saat ini berdomisili di Vimala Chanda Arama, Singkawang, dan membantu pembinaan umat Buddha di Kalimantan Barat.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *