• Saturday, 9 January 2021
  • Sasanasena Hansen
  • 0

Seperti Y.M. Ananda, Anuruddha adalah keturunan bangsawan suku Sakya dan sepupu Sang Buddha. Ia dan Y.M. Ananda diturunkan dari ayah yang sama, yaitu pangeran Sakya Amitodana, walaupun ibu mereka pastilah berbeda karena teks tidak mengacu pada mereka sebagai kakak beradik dan menyiratkan pula bahwa mereka dibesarkan di rumah yang berbeda. Kakak kandung Anuruddha adalah Mahanama si Sakya, dan adik perempuannya adalah Rohini.

Sebagai seorang anak dari suku bangsawan, Anuruddha dibesarkan dalam kemewahan. Berbagai teks menggambarkan masa kecilnya dengan kalimat-kalimat yang sama dengan yang digunakan untuk menggambarkan masa kecil Bodhisatta:

“Anuruddha si Sakya dibesarkan dengan lembut. Ia memiliki tiga istana, satu untuk musim dingin, satu untuk musim panas, dan satu untuk musim penghujan. Di dalam istananya selama empat bulan di musim penghujan ditemani oleh musisi-musisi perempuan, ia tidak keluar dari istananya” (Vin. 2:180).

Tidak ada

Sebuah kisah yang mempesona yang tercatat dalam Komentar Dhammapada mengungkapkan ketidaktahuan yang penuh berkah dan lugu dimana Anuruddha dibesarkan. Dikisahkan bahwa di masa kecilnya ia hidup dalam kemewahan yang amat berkelimpahan hingga ia belum pernah mendengar kata-kata “tidak ada” (natthi)—karena apapun yang ia inginkan, keinginannya akan langsung terpenuhi.

Suatu hari Anuruddha sedang bermain kelereng dengan lima orang anak Sakya lainnya, dan ia bertaruh menggunakan kue dalam permainan ini. Untuk tiga kali pertama ia kalah dan mengirim orang ke rumah untuk meminta kue dari ibunya, dan tiga kali pula ibunya langsung menyediakannya.

Ketika ia kalah untuk keempat kalinya, dan kembali ia meminta kue, ibunya menjawab, “Tidak ada kue untuk dikirim” (natthi puvam). Karena Anuruddha sebelumnya belum pernah mendengar ungkapan “tidak ada,” ia mengira bahwa natthi puvam ini pastilah sejenis kue, maka ia mengirim seseorang kepada ibunya dengan pesan, “Kirimkan padaku kue tidak-ada.”

Untuk memberinya pelajaran, ibunya mengirimkan sebuah nampan kosong. Namun bahkan pada saat itu pun keberuntungan masih berpihak padanya. Dikarenakan kebajikan lampaunya dari kehidupan-kehidupan sebelumnya, para dewa bertekad bahwa Anuruddha tidak boleh kecewa, sehingga mereka mengisi nampan kosong itu dengan kue-kue surgawi yang lezat.

Ketika Anuruddha mencicipinya, ia sangat senang sehingga berulang kali meminta nampan berisi kue tidak-ada kepada ibunya, dan setiap kali pula nampan itu tiba dengan telah terisi santapan surgawi.

Titik balik

Oleh karena itu Anuruddha menghabiskan masa kecilnya dengan penuh kesenangan mengejar kenikmatan-kenikmatan fana, tanpa banyak memikirkan makna dan tujuan hidupnya. Titik balik dalam kehidupan Anuruddha terjadi segera setelah sepupunya yang terkenal, Sang Buddha, mengunjungi Kapilavatthu.

Sang Buddha melalui contoh dan ajarannya telah menginspirasi banyak sanak saudaranya untuk pergi menuju kehidupan tanpa-rumah sebagai seorang bhikkhu. Pada suatu hari kakak Anuruddha, Mahanama, merenungkan fakta: walaupun banyak orang Sakya terkenal yang menjadi bhikkhu, namun tidak ada satupun yang berasal dari anggota keluarganya.

Ia kemudian mendekati Anuruddha dan memberitahukan pemikirannya, dan menyimpulkan dengan sebuah ultimatum: “Baiklah, engkau yang akan menjadi bhikkhu atau aku yang akan menjadi bhikkhu.”

Bagi Anuruddha perintah demikian pastilah mengejutkan dan ia pun berargumen:

“Tetapi aku telah dibesarkan dengan lembut. Aku tidak mampu untuk pergi dari kehidupan berumah menuju kehidupan tanpa-rumah. Engkau sajalah yang pergi.”

Mahanama kemudian menjelaskan dengan gamblang beban kehidupan perumahtangga yang harus dipikul: “Pertama, sawah harus dibajak, kemudian bibit disemai, kemudian air diarahkan ke dalam sawah, kemudian air diarahkan keluar dari sawah, kemudian rumput liar disiangi, kemudian panen harus dimatangkan, kemudian panen harus dituai, kemudian digabung, kemudian dirontokkan, kemudian jerami harus dipisahkan, kemudian dedak harus ditampi, kemudian dedak harus diayak, kemudian engkau harus menyimpannya. Dan hal yang sama kembali harus dilakukan tahun depan dan tahun setelahnya.”

Anuruddha bertanya: “Kapankah kerja ini berhenti? Kapankah akhir dari kerja ini dapat dilihat? Kapankah kita dapat menyenangkan diri sendiri tanpa khawatir, disokong dan dilengkapi dengan lima jenis kenikmatan indria?”

Dengan tajam kakaknya menjawab: “Tidak ada akhir dari kerja ini, Anuruddha. Tidak ada akhir dari kerja yang akan dilihat. Bahkan ketika ayah dan kakek kita meninggal pun kerja ini tidak akan berhenti.”

Ketika ia selesai berbicara, Anuruddha telah menetapkan pikirannya: “Engkau mengurus apa yang termasuk kehidupan perumahtangga, kak. Aku akan pergi dari kehidupan berumah menuju kehidupan tanpa-rumah.”

Pemikiran mengenai perjuangan dan kerja keras, dan bahkan lingkaran tumimbal-lahir yang lebih kejam telah membangkitkan perasaan kemendesakan dalam dirinya. Ia melihat dirinya terperangkap untuk bergulat lagi dan lagi melalui setiap saat dalam hidupnya, untuk kemudian mati dan lahir di tempat lain, berulang kali dalam lingkaran yang tanpa akhir.

Kehidupan tanpa-rumah

Ketika ia melihat ini, kehidupannya yang sekarang terlihat tawar dan tak bermakna, dan sebuah alternatif penuh harapan, yang sekarang terlihat semakin menarik, adalah mengikuti sepupunya menuju kehidupan tanpa-rumah dan berjuang untuk menghancurkan lingkaran tumimbal lahir yang berulang-ulang.

Langsung ia menemui ibunya dan memohon ijin untuk menjadi bhikkhu. Namun ibunya menolak, karena tidak ingin berpisah bahkan dengan salah seorang putranya. Ketika Anuruddha bersikeras, ibunya mengatakan bila temannya, Pangeran Bhaddiya, kepala suku Sakya, bersedia memasuki Sangha, maka ia akan mengijinkannya.

Ibunya yakin bahwa Bhaddiya pasti tidak akan pernah menyerahkan hak-hak istimewa seorang penguasa sehingga Anuruddha pada akhirnya akan tetap tinggal dalam kehidupan perumahtangga bersama temannya.

Anuruddha kemudian menemui Bhaddhiya dan memberitahunya: “Penahbisanku tergantung padamu. Mari kita pergi bersama menuju kehidupan tanpa-rumah.” Bhaddiya menjawab: “Bergantung padaku atau tidak, seharusnya tetap ada penahbisan. Aku bersamamu ….”

Ia berhenti di tengah-tengah kalimat. Ia sebenarnya ingin mengatakan, “Aku akan ikut denganmu,” tetapi tidak jadi karena ia menyesal. Dengan diliputi oleh kemelekatan pada kekuasaan duniawi dan kenikmatan, ia hanya dapat berkata: “Pergi dan ditahbiskanlah, sesuai keinginanmu.”

Namun Anuruddha memohonnya lagi dan lagi: “Mari, teman, berdua kita pergi.” Ketika Bhaddiya melihat betapa bersemangat temannya, ia pun melemah dan berkata: “Tunggulah, teman, selama tujuh tahun. Setelah tujuh tahun kita berdua akan pergi dari kehidupan perumahtangga menuju kehidupan tanpa-rumah.”

Namun Anuruddha menanggapi: “Tujuh tahun terlalu lama, teman. Aku tidak dapat menunggu selama tujuh tahun.” Dikarenakan permohonannya yang berulang kali, Anuruddha memaksa Bhaddiya untuk mengurangi selangkah demi selangkah lama penundaannya menjadi tujuh hari, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan urusan duniawinya dan menunjuk penggantinya. Ia menepati janjinya, sehingga Anuruddha bebas pergi dengannya.

Teladan Anuruddha mempengaruhi para pangeran Sakya lainnya untuk mengikuti saudara mereka yang agung, Sang Buddha, dan bergabung dengan Sangha. Sehingga ketika hari yang dijanjikan tiba, enam orang pangeran Sakya bersama dengan Upali si tukang cukur istana, dan pasukan pengawal pergi meninggalkan rumah mereka.

Mereka adalah para Sakya: Bhaddiya, Anuruddha, Ananda, Bhagu (Thag. 271-74), Kimbila (Thag. 118, 155-56), dan Devadatta. Agar tidak membangkitkan kecurigaan perihal tujuan kepergian mereka, mereka pergi seakan-akan hendak berjalan-jalan di taman. Setelah cukup jauh mereka mengirim pengawal mereka pulang dan memasuki negara tetangga.

Di sana mereka melepaskan perhiasan mereka, mengikatnya menjadi satu buntalan, dan memberikannya kepada Upali, sambil berkata, “Ini akan mencukupi penghidupanmu. Pulanglah. ”Namun ketika Upali si tukang cukur sedang dalam perjalanan pulang, ia berhenti dan berpikir: “Orang-orang Sakya itu kejam. Mereka akan berpikir bahwa aku telah membunuh para pemuda itu dan mereka mungkin juga akan membunuhku.”

Kemudian ia menggantung buntalan itu pada sebuah pohon dan bergegas kembali untuk bergabung dengan para pangeran. Ia memberitahu mereka ketakutannya dan berkata, “Bila kalian, O para pangeran, pergi menuju kehidupan tanpa-rumah, mengapa aku tidak melakukan hal yang sama?”

Para pemuda Sakya ini juga berpikir bahwa Upali benar untuk tidak pulang dan mengijinkannya bergabung dengan mereka dalam perjalanan menemui Yang Terberkahi.

Setelah berada di hadapan Sang Guru, mereka memohon penahbisan, menambahkan:

“Kami orang Sakya adalah orang yang angkuh, Yang Mulia. Upali si tukang cukur telah menemani kami untuk waktu yang cukup lama. Mohon Yang Mulia menahbiskan ia terlebih dahulu. Karena ia akan menjadi senior kami, maka kami harus menghormatinya, dan melakukan tugas sesuai dengan senioritasnya. Dengan demikian keangkuhan Sakya kami akan berkurang.”

Sang Buddha bertindak sesuai permohonan mereka, sehingga mereka bertujuh menerima penahbisan dengan Upali sebagai yang pertama (Vin. 2:182-83).

Dalam waktu setahun kebanyakan dari mereka telah mencapai pencapaian spiritual tertentu. Bhaddiya adalah yang pertama mencapai tingkat kesucian arahat, sebagai seorang yang diberkahi dengan tiga pengetahuan sejati.

Anuruddha memperoleh mata dewa, Ananda memperoleh buah pemasuk-arus, dan Devadatta memperoleh kekuatan supernormal duniawi. Bhagu, Kimbila, dan Upali di kemudian hari menjadi Arahat, demikian pula dengan Ananda dan Anuruddha. Namun ambisi ceroboh dan perbuatan salah Devadatta membawanya ke neraka.

**dicuplik dari Anuruddha: Yang Unggul dalam Mata Dewa, Insight Vidyasena Production.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *