• Tuesday, 21 November 2023
  • Surahman Ana
  • 0

Foto     : Surahman Ana

“Wong bodho kalah karo wong pinter, wong pinter kalah karo wong bener, wong bener kalah karo wong licik, nanging wong licik mesti kalah karo wong bejo.”

Itulah satu petuah Jawa yang dikutip oleh Bhante Santacitto saat mengisi pesan Dhamma pada perayaan Sangha Dana di masa Kathina di Vihara Sasana Paramita Velusindoro Arama, Dusun Sigarut, Desa Rejosari, Kecamatan Bansari, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, Minggu (12/11/2023).

Dalam perayaan yang diikuti oleh ratusan umat Buddha Temanggung ini, bhante menjelaskan pentingnya berbuat kebajikan. Manurut bhante, kebajikan adalah harta yang tidak akan pernah bisa dicuri atau pun dirampok oleh siapa pun. Kebajikan adalah sebab dari segala kebahagiaan dunawi hingga pencapaian spiritual.

“Tadi telah dikatakan dalam pembacaan Nidhikanda Sutta, bahwa apa pun kebahagiaan dari yang paling dasariah, dari yang paling duniawi sampai kebahagiaan spiritual seperti mencapai kesucian arahat, mencapai Paccekabuddha, mencapai Sammasambuddha, itu semua diperoleh dari kebajikan yang salah satunya adalah berdana. Tadi juga disampaiakan, bahwa harta berupa kebajikan seperti berdana, tata susila, pencegahan dan pengendalian dari keburukan, itulah harta yang baik untuk ditimbun baik untuk wanita maupun pria. Harta kebajikan tidak pernah bisa dicuri, tidak pernah bisa dirampok, dan akan dibawa dalam kehidupan ini dan dalam kehidupan yang akan datang.” papar bhante pada perayaan yang juga dihadiri umat dari kota-kota besar sepert Bekasi, Jakarta, Karawang, Semarang, Surabaya, dan lainnya ini.

Bhante menjelaskan kebahagaiaan dalam bentuk apa pun yang diperolah dalam kehidupan merupakan sebuah keberuntungan, termasuk keselamatan. Oleh karenanya bhante mangatakan bahwa orang yang beruntung adalah orang yang tidak terkalahkan. Menegaskan hal ini, bhante mengutip salah satu ungkapan Jawa yang ia nilai selaras dengan ajaran Buddha.

“Di Jawa ada ungkapan yang mungkin sudah banyak didengar oleh umat karena ini juga sering kali disampaikan oleh Bhante Dhammasubho. Wong bodho kalah karo wong pinter, wong pinter kalah karo wong bener, wong bener kalah karo wong licik, nanging wong licik mesti kalah karo wong bejo. Orang bodoh kalah dengan orang pandai, orang pandai kalah dengan orang benar, orang benar kadang kala kalah dengan orang licik, tapi orang licik pasti kalah dengan orang beruntung,” ujar bhante.

Lalu, siapakah orang-orang yang dikatakan orang beruntung atau wong bejo ini?

Bhante melanjutkan, tidak lain adalah orang yang selalu melakukan kebajikan adalah orang yang pasti beruntung. Yang pasti tidak pernah terkalahkan. Hal ini juga disampaikan oleh Sang Buddha dalam Mangala Sutta.

“Setelah melakukan berbagai macam kebajikan seseorang tidak akan terkalahkan di mana pun berada, dan orang demikian akan selalu mendapatkan keberuntungan, dan itulah salah satu berkah utama,” bhante menyampaikan arti bait terakhir Mangala Sutta.

Bhante menekankan bahwa orang yang selalu melakukan kebajikan apa pun itu, apakah berdana, menjaga sila, praktek meditasi, apa pun kebajikan, adalah orang yang beruntung kapan pun juga, tidak terkalahkan di mana pun juga. Pemahaman ini bisa menjadi dasar seseorang melakukan kebajikan.

Memperjelas pesan Dhammanya, bhante pun menceritakan sebuah kisah yang terjadi pada jaman Sang Buddha.

Ghosaka yang Selalu Beruntung

Bhante Santacitto bercerita, di jaman Sang Buddha ada seorang saudagar kaya raya bernama Ghosaka, orang terkaya di daerah Kosambi, India. Ghosaka dikatakan adalah orang yang paling beruntung, karena sudah sangat sering orang lain berbuat licik bahkan tak terhitung banyaknya usaha pembunuhan terhadapnya dilakukan, tetapi tetap selamat.

“Mengapa tetap selamat?” tanya bhante.

Bhante mulai bercerita, kisah ini diawali ketika Ghosaka terlahir sebagai anjing pada kehidupan yang lampau. Dikisahkan pada saat itu anjing tersebut dirawat oleh seorang penggembala yang mempunyai guru spiritual luar biasa yaitu seorang Paccekabuddha. Setiap hari penggembala ini mempersembahkan dana makanan kepada seorang Paccekabuddha. Kemana pun penggembala pergi, anjing tersebut selalu ikut, begitu juga ketika penggembala pergi berdana makanan.

Di sisi lain, Paccekabuddha tersebut mempunyai kebiasaan menyisihkan makanannya untuk diberikan kepada anjing tersebut. Lama kelamaan timbullah kemelekatan dan muncul rasa sayang dalam diri anjing kepada Paccekabuddha. Sehingga ketika tidak bersama penggembala, anjing tersebut sering datang ke hutan, ke kuti Paccekabuddha untuk menjadi dwarapala, menjadi penjaganya.

“Kalau ada binatang buas yang datang, anjing tersebut akan menggonggong mengusirnya. Ketika Paccekabuddha tersebut berkeliling ke kampung untuk pindapata dan tersesat, anjing ini akan menunjukkan jalan,” lanjut bhante.  

Diceritakan, karena telah melakukan kebajikan sedemikian rupa melindungi seorang Paccekabuddha, pada saat kematiannya terlahir kembali sebagai dewa di alam Surga Tavatimsa. Kemudian pada jaman Sang Buddha, dewa tersebut terlahir sebagai manusia bernama Ghosaka.

Pada saat kelahirannya, karena suatu sebab karma di masa lampau Ghosaka dilahirkan oleh seorang wanita tuna susila. Bhante melanjutkan cerita bahwa di India kala itu apabila seorang tuna susila melahirkan anak laki-laki akan dibuang, karena dia menghendaki anak perempuan supaya bisa melanjutkan profesinya. Demikian juga Ghosaka, dibuang oleh ibunya. Kejadian ini adalah buah karma buruk Ghosaka  dalam kehidupan lampau yang pernah membuang anaknya sendiri.

“Tetapi kebajikan yang telah dia lakukan ketika melindungi Paccekabuddha masih diperolehnya. Saat kelahirannya, pada waktu itu ada seorang saudagar yang paling kaya di Kosambi. Saudagar ini mempunyai seorang guru spiritual, yang mana gurunya tersebut mengatakan bahwa di hari itu ada seorang bayi laki-laki lahir yang nanti akan menjadi saudagar paling kaya di Kosambi,” papar bhante.

Mendengar pernyataan gurunya, saudagar kaya tersebut membeli bayi Ghosaka. Pada saat yang bersamaan, istri saudagar yang sedang mengandung juga melahirkan seorang bayi. Awalnya, jika anak kandungnya adalah seorang perempuan maka Ghosaka akan dijadikan menantu, akan tetapi karena istrinya melahirkan anak laki-laki, saudagar tersebut akhirnya berubah niat untuk membunuh Ghosaka.

”Saudagar ini tidak mau anaknya tersaingi karena sudah dikatakan oleh gurunya akan lahir seorang bayi laki-laki yang akan menjadi saudagar kaya raya,” terang bhante.  

Menjalankan niatnya, saudagar tersebut meminta pembantunya untuk meletakkan bayi Ghosaka di sebuah tempat yang setiap hari dilewati ribuan sapi, dengan harapan diinjak oleh sapi-sapi yang lewat. Di antara sekian banyak sapi, ada satu sapi jantan yang paling besar langsung melindungi bayi tersebut, sehingga sapi-sapi lain tidak bisa menginjak bayi Ghosaka. Melihat kejadian ini, penggembala sapi langsung mengambil bayi tersebut kemudian dirawat.

Saudagar kaya yang mengetahui bahwa Ghosaka belum mati, meminta pembantunya untuk membelinya dari penggembala sapi. Setelah dibeli, saudagar kaya memerintahkan agar bayi Ghosaka ditaruh di jalan kereta supaya terlindas. Tetapi, yang terjadi kuda-kuda yang menarik kereta tidak mau berjalan selama semalam suntuk.

“Setelah diperiksa pada pagi harinya, ternyata di jalan tersebut terdapat bayi Ghosaka. Akhirnya bayi tersebut diambil dan dirawat.”

Hal ini juga diketahui oleh saudagar kaya, lagi-lagi saudagar kaya meminta pembantunya untuk membeli bayi tersebut. Kemudian bayi Ghosaka ditaruh di kuburan. Diceritakan, pada jaman dahulu di India ada kuburan bernama Susana Bumi, yang mana khusus di kuburan ini mayat-mayat tidak dikubur melainkan hanya dilempar dan dibiarkan begitu saja.  Hal ini mengundang banyak binatang buas datang untuk memakan mayat-mayat tersebut.

“Bayi Ghosaka ditaruh di kuburan ini, dengan harapan dimakan oleh binatang buas, atau dimakan oleh makhluk halus. Tetapi binatang buas bahkan makhluk halus tidak bisa mendekati bayi Ghosaka. Akhirnya tidak jadi mati lagi dan ditemukan oleh seseorang dan dirawat.”

Hal ini juga diketahui oleh sang saudagar, kemudian bayi tersebut dibeli lagi dan meminta kepada pembantunya untuk melemparkan ke jurang. Ketika dilempar, bayi Ghosaka tersangkut di rerimbunan semak-semak, dan ditemukan oleh seseorang dan dirawat.

“Dan lagi, bayi tersebut dibeli oleh saudagar kaya dan berusaha dibunuh lagi dengan berbagai macam cara tapi selalu selamat.”

Seiring waktu berjalan bayi Ghosaka tumbuh dewasa, dan saudagar kaya yang tak lain adalah ayah tirinya tersebut masih tetap berniat untuk membunuhnya. Saudagar kaya kemudian mendatangi seorang pembuat tembikar. Ia meminta pembuat tembikar untuk membunuh Ghosaka dengan perapian yang biasa digunakan untuk membakar tembikar. Saudagar kaya membuat fitnah dengan mengatakan bahwa Ghosaka adalah seorang anak yang jahat sekali sehingga harus dibunuh. Karena pembuat tembikar berpikir bahwa Ghosaka adalah anak yang jahat, kemudian menyanggupi permintaan saudagar tersebut dengan bayaran yang tinggi.

Keesokan harinya Ghosaka diminta oleh saudagar kaya untuk melakukan satu tugas di tempat pembuat tembikar. Ghosaka berangkat ke tempat pembuat tembikar, namun dalam perjalanan Ghosaka bertemu dengan putra kandung saudagar kaya tersebut. Pada waktu itu putra kandung saudagar kaya sedang bermain taruhan dengan teman-temannya. Karena kalah, kemudian dia meminta Ghosaka untuk menggantikan taruhannnya. Meski awalnya takut untuk menyanggupi perminataan putra saudagar kaya, tapi karena dipaksa akhirnya menyanggupi permintaan tersebut.

“Tidak usah takut,  biar saya saja yang datang ke pembuat tembikar, kamu menggantikan saya bertaruh,” bhante menirukan perkataan putra saudagar kaya.

Putra saudagar kaya pun berangkat ke tempat pembuat tembikar. Sesampainya di tempat tujuan, karena pembuat tembikar berpikir itu adalah anak yang dimaksud oleh saudagar kaya langsung membunuh anak tersebut. Sementara itu, setelah selesai taruhan, sore harinya Ghosaka pulang ke ayah tirinya yaitu saudagar kaya. Dan alangkah kagetnya saudagar kaya melihat anak yang hendak dibunuhnya masih hidup dan selamat.

“Saudagar kaya terpikir anak kandungnya, kemudian dengan pikiran yang penuhi kekhawatiran dan kegelisahan dia berlari menuju tempat pembuat tembikar, sambil berharap anak kandungnya belum dibunuh. Setibanya di lokasi, pembuat tembikar berkata, “Tenang saja, tenang, anakmu sudah saya bunuh”. Mendengar ini, saudagar kaya shock  berat. Namun demikian kejadian ini belum bisa meredakan kebenciannya terhadap Ghosaka,” lanjut bhante.

Saudagar kaya, bhante melanjutkan, membuat rencana baru untuk membunuh Ghosaka melalui temannya di kota lain yang juga seorang saudagar kaya. Karena dia berpikir bahwa temannya adalah teman yang setia, tidak mungkin menolak permintaannya. Kemudian dia mengutus Ghosaka untuk mengirim surat kepada saudagar tersebut.

“Ini anak saya bernama Ghosaka, dia anak yang jahat, yang buruk dan merugikan. Tolong anak ini dibunuh untuk saya,” bhante menerangkan isi surat dari ayah tiri Ghosaka. Karena Ghosaka adalah anak yang lugu, dia menuruti saja perintah ayah tirinya tanpa mengetahui isi surat yang dia bawa dan juga tidak diperbolehkan membuka surat tersebut.

Ghosaka pun berangkat ke tempat yang dimaksud, namun sebelum tiba di tempat tujuan dia bertemu dengan seorang wanita yang merupakan putri dari saudagar teman ayah tirinya. Begitu melihat Ghosaka, putri tersebut langsung jatuh cinta. Diceritakan bahwa putri tersebut di masa kehidupan yang lampau pernah menjadi istri dari Ghosaka.

Setelah terjadi perbincangan antara keduanya, putri saudagar mengetahui tujuan Ghosaka yang akan menemui ayahnya. Kemudian sang putri meminta surat tersebut dari tangan Ghosaka untuk diserahkan kepada ayahnya. Sebelum diserahkan, surat tersebut dibuka oleh sang putri, dan betapa kagetnya sang putri setelah mengetahui isinya. Karena cinta, diceritakan sang putri mengganti isi surat tersebut dengan sebuah permintaan saudagar kaya dari Kosambi agar anaknya dijadikan sebagai menantu.

“Akhirnya Ghosaka pun dijadikan menantu oleh saudagar kaya teman ayah tirinya. Kejadian ini membuat saudagar kaya dan istrinya jatuh sakit karena shock. Ketika saudagar kaya menderita sakit, Ghosaka beserta keluarga istrinya menjeguk ke Kosambi. Dan pada saat itu pula datang penasehat saudagar kaya yang menanyakan siapa ahli waris dari kekayaan yang sangat besar milik saudagar kaya tersebut,” lanjut bhante.

Mendengar pertanyaan ini, saudagar kaya berniat untuk menjawab bahwa kekayaannya tidak akan diwariskan kepada Ghosaka. Tetapi saudagar kaya tersebut salah mengucapkan, kesrimpet.

“Kekayaan saya akan kuserahkan kepada Ghosaka,” bhante menirukan perkataan saudagar kaya.

Istri Ghosaka, yang mengetahui bahwa ayah tiri suaminya adalah orang yang jahat, pura-pura menangis histeris dan membenturkan kepalanya ke dada saudagar kaya. Seketika itu juga saudagar kaya tersebut meninggal dunia. Akhirnya seluruh harta benda saudagar kaya tersebut menjadi milik Ghosaka. Dengan mewarisi kekayaan ayah tiri dan juga dari keluarga istrinya, Ghosaka menjadi orang terkaya di Kota Kosambi.

“Inilah kenapa orang yang selalu berbuat kebajikan, di mana pun juga selalu beruntung. Tidak terkalahkan di mana pun juga. Apalagi setelah menjadi orang terkaya dan bertemu dengan Sang Buddha muncul keyakinan hingga mempersembahkan Ghositarama, vihara yang digunakan oleh bhikkhu Sangha dan juga oleh Sang Buddha. Semakin dia bertumbuh di jalan Dhamma, semakin dia akan mendekati Nibbana,” tutup bhante.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *