Sering kita mendengar, “Dhamma yang indah di awal, pertengahan, dan akhir.” Seperti apakah Dhamma yang indah itu? Bhikkhu Uttamo memberikan penjelasan di mana letak keindahan Dhamma di Vihara Dharma Suci, Pantai Indah Kapuk, Jakarta pada Minggu sore (13/12).
“Dhamma yang indah? Orang kalau ditanya soal yang indah-indah ini cenderung jadi promosi. Misalnya kita jualan sandal ataupun yang lainnya, kita selalu bilang produk kita yang paling baik. Maka dulu ada istilah kecap selalu nomor 1,” Bhante Uttamo memulai uraiannya.
Bhante melanjutkan, “Kenapa tidak ada ya yang bilang sandalnya nomor 2? Ga ada. Adanya sandal nomor 40.”
Dan jika dia ditanya apa keistimewaan sandal itu, dia akan promosi beli 1 dapat 1. “Beli yang kiri dapat yang kanan,” cetus Bhante yang disambut gelak tawa hadirin.
Lalu, bagaimana dengan Dhamma? Apakah punya keistimewaan? “Adanya malah kekurangan. Kekurangan rambut. Makin banyak belajar Dhamma makin lama makin berkurang rambut kita. Kumpul-kumpul dengan Bhante lama-lama rambutnya makin berkurang, ikut-ikut jadi Bhante,” Bhante berseloroh.
“Waktu saya dulu pertama kali kenal Dhamma, saya senang sekali, promosi ke mana-mana. Semua diajak berdebat,” Bhante mengenang, “Mereka yang belajar Dhamma secara teori saja akan dapat dengan mudah memenangkan perdebatan.”
Kok bisa? Karena belajar Dhamma mampu membuka sisi yang terbalik, seperti telapak tangan. Dhamma bisa melihat semua sisi telapak tangan. Tidak hanya satu sisi.
Bhante menyebut kekayaan sebagai contoh, “Hampir semua orang ingin menjadi orang kaya. Coba kalau misalnya Anda punya rumah cuma satu ruangan. Tidur di situ, ruang makan di situ, ruang tamu juga di situ. Lalu Anda ditanya, ‘Eh di mana istrimu?’ Anda langsung bisa menunjukkannya.
“Berbeda dengan orang kaya yang memiliki rumah besar. Ditanya istrinya lagi di mana, ‘Sebentar ya, saya telepon dulu. Oh ternyata istrinya lagi di mall’. Begitu juga kalau mau diajak makan bersama, dari lantai satu mau ajak makan orang yang di lantai dua, pakai BBM. Jadi dari lantai satu, ke server di negara lain dulu, baru sampai ke lantai dua. Semakin kaya seseorang, malah semakin sulit merasakan kebersamaan. Tetapi orang miskin, sangat mudah merasakan kebersamaan. Jadi enak kaya atau miskin?”
Bhante kemudian membandingkan dengan riwayat Pangeran Siddharta, “Saat anaknya lahir, bukannya merasa bahagia, namun ia merasa seperti belenggu. Orang-orang kalau anak pertamanya lahir, pasti bahagia. Lho ini malah merenung. Malah menganggap belenggu. Nah ini kan logikanya terbalik.”
Bhante menekankan, saat logika terbalik sudah kita pahami, maka kita bisa memenangi banyak perdebatan.
Ada misalnya umat bilang ke Bhante Uttamo, “Saya tidak suka dengan Bhante.” Bhante bisa saja bilang balik, “Kalau gitu ngapain kamu ke sini?” Tapi Bhante tidak melakukannya. “Saya tanya dulu kenapa? Lalu kalau misalnya dia bilang ga suka Bhante cuma pakai jubah?”
“Ini sisi gelapnya, maka kita harus bisa membalikkan dari sisi putih,” Bhante melanjutkan, “Saya bisa pergi ke acara pernikahan dan kematian dengan pakaian yang sama. Jubah ini saja. Coba kalau orang biasa ke kondangan pakai baju merah, berani ga pakai baju merah ke rumah duka? Jadi enak menjadi Bhante, mau ke mana saja tidak usah pusing mikirin mau pakai baju apa.”
Lalu misalnya dia bilang, “Oh iya yah, ternyata enak juga jadi Bhante.” Nah ini sisi putih, kita bisa balikin lagi sisi sebaliknya, “Kalau jadi Bhante enak, kenapa yang jadi Bhante sedikit?”
“Nah dengan mengetahui logika terbalik seperti ini, kita bisa berdebat dari pagi sampai malam. Di sinilah kita bisa memahami dua sisi Dhamma,” ujar Bhante.
“Namun jika saya terus berdebat saja, maka kita hanya menyakiti perasaan orang. Hanya akan menimbulkan kebencian dan dendam. Lebih baik kita melihat berdasarkan ketertarikan.”
Bhante melanjutkan, “Menurut Dhamma, kita tertarik pertama dikarenakan penampilan. Misal Anda suka dengan lawan jenis, pertama kali lihat dari penampilannya. Namun jika kita melihat berdasarkan ketertarikan, suatu saat akan habis. Makanya kalau ada umat yang bilang Bhante harusnya pakai jubah bermacam-macam dong, yah kita pikir ndak usah lah.”
Ketertarikan yang kedua adalah melalui pribadi. Misalnya dulu murid-murid Buddha memiliki kesaktian, bisa terbang, dan lain sebagainya. Zaman sekarang hampir semua Bhante bisa terbang, pakai tiket pesawat. Namun Buddha tidak menyarankan hal tersebut dilakukan, karena nantinya orang tertarik kepada Dhamma hanya karena pribadi tertentu. Contoh lain misalnya kita percayai dengan perdukunan. Lalu suatu waktu dukun ini meninggal, kita tidak mau datang lagi, karena menganggap murid-muridnya tidak jago seperti gurunya. Lalu kita hanya akan datang saat perayaan satu tahun dukun itu meninggal kemudian lama-lama akan habis juga.
“Orang yang tertarik karena keindahan Dhamma, maka ia akan tertarik untuk belajar. Mendekat,” ujar Bhante, “Pernah melihat burung merak? Burung merak jantan kalau dia membuka ekornya, Wah… itu merak-merak betina akan klepek-klepek. Coba lihat hewan yang lain, kucing misalnya. Saat kucing musim kawin, kucing jantan akan mengejar-ngejar kucing betina. Begitu juga dengan anjing dan hewan lainnya. Tidak ada hewan lain di mana yang betina mengejar yang jantan.”
“Seperti inilah Dhamma, seperti merak jantan yang dikejar-kejar oleh merak betina,” Bhante memberi kiasan.
“Sekarang kita memahami Dhamma tidak perlu diajari melalui perdebatan, juga tidak bisa seperti penampilan ataupun pribadi karena suatu saat akan habis. Namun Dhamma dapat kita ajarkan seperti merak jantan.”
Bhante mencontohkan misalnya kita ditanya, “Kamu belajar apa sih jadi baik gini?” Nah di sinilah kita mulai menunjukkan ekor merak kita. Indahnya Dhamma dilihat bukan dari teori, namun pada pelaksanaan Dhamma.
Bhante kemudian bercerita, dulu, sekitar 30 tahun yang lalu, ada sepasang umat Buddha yang masih kuliah. Si pria ini orangnya pemarah sekali, namun dia mulai belajar Dhamma. Sedangkan yang wanita tidak mengenal Dhamma. Suatu ketika terjadi permasalahan, adik si wanita ini datang menghampiri si pria dengan membawa bangku kayu. Dan pada saat itu, adik wanitanya ini menghantamkan bangku kayu tersebut ke kepala si pria.
Namun si pria pemarah yang sudah belajar Dhamma dan melaksanakan Dhamma ini tidak membalas dan hanya berbicara dengan adik si wanita hingga masalahnya pun terselesaikan tanpa adanya keributan berkepanjangan. Dari sinilah kemudian si wanita bertanya, “Kok kamu bisa sih sesabar itu? Padahal kan kamu orangnya pemarah?” Nah akhirnya dijelaskan bahwa ia belajar Dhamma hingga akhirnya si wanitanya pun ikut belajar Dhamma hingga sekarang sudah menikah dan memiliki anak dan hingga saat ini pun kedua pasangan ini masih tetap aktif dalam organisasi di vihara.
Nah, Dhamma apa saja yang dijalankan si pria tersebut?
- Kerelaan
Rela memberikan materi, rela memberikan yang non materi seperti mendengarkan orang yang bicara, dan lain-lain. Misalnya istri sedang ajak ngomong, si suami lagi menonton televisi. Nah akhirnya si istri ngomong pun tidak didengarkan. Tapi karena ingin melaksanakan Dhamma, si suami akhirnya mematikan televisi dan mendengarkan istrinya bicara. Di sini istrinya pun bisa bertanya, suaminya kok berubah menjadi lebih baik? Nah di sinilah kita mengembangkan ekor merak kita. - Kemoralan
Contohnya jujur. Orang yang jujur bisa dipercaya. Dari situ kita jadi ditanya, kok bisa sih jadi orang yang bisa dipercaya? Kita jawab, “Belajar Dhamma!” Dengan begini kita menjadi Dharmaduta. - Konsentrasi
Orang yang sulit tidur adalah orang yang paling menderita. Orang yang sulit tidur itu harus bayar untuk bisa tidur, makan obat. Lalu orang yang tidak bisa matematika, bisa les. Lha kalau tidur? Tidak ada lesnya. Dengan belajar meditasi inilah kita les tidur. Kenapa demikian? Karena tubuh manusia ini ada dua: tubuh jasmani dan batin. Nah, kalau kita sulit tidur, pikiran kita yang tidak bisa berhenti. Dengan belajar meditasi, seseorang itu menjadi belajar fokus. Saat pikiran sudah bisa dikendalikan, tentu mudah bagi kita untuk tidur.
Dengan melihat Dhamma yang kita laksanakan dalam kehidupan sehari-hari inilah keindahan Dhamma itu. Ketika kita melaksanakan Dhamma, apakah itu kerelaan, moralitas atau konsentrasi, kitalah menjadi merak jantan. Bukan karena kita bisa memberikan ceramah ataupun yang lainnya, namun ketika kita melaksanakan Dhamma, maka dengan sendirinya kita telah menjadi Dharma Duta dari Dhamma itu sendiri.
Dan saat itulah kita menjadi sumber kebahagiaan bagi diri kita, lingkungan, dan sekitar kita.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara