• Wednesday, 16 December 2020
  • Sasanasena Hansen
  • 0

Y.A. Sariputta terlahir dalam sebuah keluarga kasta brahmana di desa Upatissa (atau Nalaka), dekat kota Rajagaha. Ayahnya bernama Vaganta dan ibunya bernama Sari.

Dia memiliki 3 saudara laki-laki yang masing-masing bernama Cunda, Upasena dan Revata; serta 3 saudara perempuan yaitu Cala, Upacala dan Sisupacala. Mereka berenam juga ditahbiskan secara Buddhis dan berhasil mencapai tingkat kesucian Arahat.

Cunda dikenal dengan nama Samanuddesa yang artinya “Pemula” dalam Sangha, bahkan setelah menjadi seorang bhikkhu. Hal ini bertujuan untuk membedakannya dengan Āyasmā Maha Cunda.

Pada saat kematian Y.A. Sariputta, Cunda-lah yang mengurusi prosesinya dan memberitahukan kepada Sang Buddha tentang kepergian Sariputta sambil membawa relik Siswa Utama itu. Kisah ini diceritakan dalam Cunda Sutta, sebuah uraian yang akan dibahas dalam bagian lain dari buku ini.

Upasena yang kemudian dikenal dengan nama Vagantaputta atau “Anak Vaganta, sama seperti Sariputta yang berarti “Anak Sari”, dikatakan oleh Sang Buddha sebagai siswa yang terkemuka diantara mereka yang berkepribadian menyenangkan (samantappasadika). Beliau meninggal akibat patukan ular, sebagaimana yang tercantum dalam Salayatana Samyutta, Vagga 7, Sutta 7.

Revata merupakan saudara laki-laki yang paling bungsu, sehingga ibunya berharap mencegahnya memasuki persaudaraan mulia dengan menikahkannya ketika dia berumur sangat belia.

Tapi pada hari pernikahannya dia melihat nenek dari calon istrinya, seorang wanita tua berumur 120 tahun dan menderita segala tanda penuaan. Saat itulah dia merasa jijik dengan kehidupan duniawi. Kabur dari prosesi pernikahan dengan sedikit muslihat, dia pergi menuju sebuah vihara dan ditahbiskan.

Tahun-tahun berikutnya, dia sedang dalam upaya menemui Sang Buddha sampai akhirnya dia berhenti di sebuah hutan akasia (khadira-vana), dan ketika menghabiskan masa vassa disana dia berhasil mencapai tingkat kesucian Arahat. Semenjak itu dia dikenal dengan nama Revata Khadiravaniya— “Revata dari Hutan Akasia.” Sang Buddha menunjuknya sebagai siswa yang terkemuka diantara para penghuni hutan.

Ketiga saudara perempuannya, Cala, Upacala dan Sisupacala, bertekad untuk mengikuti saudara lelaki mereka dan menjadi bhikkhuni setelah menikah.

Cala, Upacala dan Sisupacala diceritakan bahwa ketika menjadi bhikkhuni mereka didekati oleh Mara dan diajukan pertanyaan yang mencela dan menggoda. Tetapi mereka mampu memberikan jawaban yang sangat memuaskan. Hal ini tertulis dalam Theragatha dan Bhikkhuni Samyutta.

Berbeda dengan semua ini, ibunda Sariputta merupakan seorang penganut brahmanisme yang kukuh. Ia membenci Ajaran Sang Buddha serta para pengikutnya.

Ulasan dalam Dhammapada (v.400) diceritakan bahwa pada suatu hari ketika Y.A. Sariputta sedang berada di desa kelahirannya – Nalaka, bersama dengan sejumlah besar rombongan bhikkhu. Beliau berpindapatta dan datang mengunjungi rumah ibunya.

Ibunya menyediakan tempat duduk dan makanan tapi sembari mengomel dengan ucapan-ucapan kasar: “Oh, kamu pemakan sisa-sisa orang lain!” katanya.

“Ketika kamu gagal mendapatkan sisa-sisa nasi basi kamu pergi dari rumah ke rumah orang yang tidak kamu kenal, memohon sisa-sisa makanan dari para wanita! Dan untuk inilah kamu pergi meninggalkan kekayaan senilai delapan puluh juta dan menjadi seorang bhikkhu! Kamu telah mengecewakanku! Nih, sekarang makanlah!”

Demikian pula ketika dia sedang menyediakan makanan kepada para bhikkhu lainnya, dia akan berkata:

“Jadi, kamu yang telah membuat anakku menjadi pembantumu! Makanlah sekarang!”

Demikian dia terus mencerca para bhikkhu, tapi Y.A. Sariputta tidak mengucapkan sepatah kata pun. Beliau mengambil makanannya, memakannya dan dalam kesunyian kembali ke vihara. Sang Buddha mengetahui peristiwa ini dari Y.A. Rahula, yang memang sudah menjadi bhikkhu saat itu.

Semua bhikkhu yang mendengar hal ini takjub atas kesabaran luar biasa yang dimiliki Y.A. Sariputta dan diantara perkumpulan para bhikkhu, Sang Buddha memuji tindakan Sariputta dengan mengucapkan syair berikut ini:

“Dia yang terbebas dari amarah, yang melaksanakan kewajibannya dengan penuh keyakinan.

Dia yang menjaga sila, dan terbebas dari nafsu keinginan,

Dia yang telah menjinakkan dirinya sendiri, dia yang mengenakan tubuh terakhirnya ini,

Orang seperti itulah yang Aku sebut sebagai brahmana sejati.”

Baru menjelang kematian Y.A. Sariputta, beliau akhirnya berhasil mengajak ibunya menjadi pengikut Sang Buddha. Kisah ini akan diceritakan dalam bab berikutnya. Tapi peristiwa yang terjadi ini membawa kita pada sebuah penyimpulan tentang karakterisistik yang paling mulia dari Y.A. Sariputta, yaitu: kerendahan hati, ketabahan dan kesabarannya.

**dicuplik dari Sariputta: Riwayat Hidup Sang Dhamma Senapati, Insight Vidyasena Production.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *