• Saturday, 17 June 2017
  • Ngasiran
  • 0

Sudah tiga tahun berturut-turut peringatan Waisak di Vihara Dhamma Sundara, Solo, Jawa Tengah masuk calendar event tahunan kota Solo. Dengan begitu, setiap peringatan Waisak, selalu ada rangkaian kegiatan yang melibatkan semua pihak dari lintas agama, seperti lomba fotografi yang melibatkan para fotografer di Solo, dan lain-lain.

Tahun ini, sebagai salah satu rangkaian peringatan Waisak, Vihara Dhamma Sundara juga mengadakan bakti sosial yang diperuntukkan bagi semua masyarakat di sekitar vihara. Namun yang paling menarik, pada peringatan Waisak tahun ini, secara khusus Vihara Dhamma Sundara menyelenggarakan pentas seni dan budaya.

Acara yang digelar pada hari Sabtu (3/6) lalu itu dihadiri oleh para bhikkhu, tokoh lintas agama, dan umat Buddha dari berbagai daerah di Jawa Tengah. Bhikkhu Sri Pannyavaro yang juga merupakan Kepala Vihara Dhamma Sundara dalam pesan Waisak menyampaikan bagaimana dahsyatnya kekuatan cinta kasih untuk menjaga kedamaian dalam kehidupan yang beragam, sesuai dengan tema besar Waisak tahun ini “Cinta Kasih Penjaga Kebhinnekaan”.

“Ada perubahan dalam kehidupan Pangeran Siddharta yang sangat drastis. Sebagai putra mahkota, Siddharta menolak kemegahan, kemewahan, kenyamanan; meninggalkan semuanya itu dan tidak ada keinginan untuk kembali ke istana. Siddharta menjadi pertapa yang sangat miskin, mungkin sengsara dalam ukuran kita, tinggal di goa-goa di bawah pohon. Kekuatan apa yang mengubah kehidupan sang pangeran sedemikian radikal? Dari kenyamanan dan kenikmatan menjadi pertapa yang sangat sederhana,” ujar Bhante Pannyavaro mengawali uraiannya.

Menurut Bhante, kekuatan yang menggerakkan Siddharta untuk meninggalkan segala kenikmatan dan kemewahan istana adalah kekuatan cinta kasih. Pada saat Siddharta melihat penderitaan di luar istana, timbul dalam pikiran Siddharta, “Mengapa makhluk-makhluk harus menderita? Kesedihan, putus asa, kegagalan, ratap tangis yang hampir dialami setiap orang, apa pun keyakinannya, siapa pun mereka.”

“Cinta kasih dan kasih sayang itulah yang mengubah kehidupan Siddharta. Setelah mencapai pencerahan dan kemudian disebut dengan Sammasambuddha, salah satu landasan ajaran utama dari Beliau adalah cinta kasih dan kasih sayang, metta dalam bahasa Pali. Metta dalam bahasa bahasa Pali itu mempunyai kesamaan arti dari mitta atau mitra dalam bahasa Sansekerta yang artinya adalah sahabat,” jelasnya.

“Yang hadir dalam acara malam ini adalah sahabat kita, yang tidak hadir juga sahabat kita. Umat Buddha adalah sahabat kami, yang bukan umat Buddha adalah sahabat kami. Yang senang dan tidak senang kepada kami, juga sahabat kami. Tetapi yang memusuhi kami juga sahabat kami. Yang kalah adalah sahabat kami, yang menang juga sahabat kami. Yang tampak, manusia, binatang juga sahabat kita, yang tidak tampak juga sahabat kita. Tidak ada dalam pikiran kita, dalam pikiran metta, cinta kasih tidak ada yang menjadi musuh kita.

“Ajaran metta, ajaran cinta kasih, membuat kita untuk menghargai perbedaan. Perbedaan adalah keniscayaan (dhammatta), hukum alam yang tidak bisa kita pungkiri. Tidak ada di dunia ini dua orang yang benar-benar sama. Metta mengajarkan kita untuk menerima perbedaan. Tidak hanya menghargai perbedaan, tetapi juga menerima perbedaan dengan ketulusan.”

Bhante juga menyatakan, salah seorang pujangga Buddhis besar yang hidup 600 tahun yang lalu, Mpu Tantular pernah menulis kotbah Guru Agung Buddha Gotama, Sutasoma Jataka. Mpu Tantular menggubah kembali dalam bahasa yang indah di lontar, kakawin Sutasoma. “Di lontar itulah Mpu Tantular menggoreskan Bhinneka Tunggal Ika. Mpu Tantular tentu tidak akan mengira bahwa kalimat sepotong sederhana yang dituliskan di lontar itu sekarang menjadi sangat berharga sekali,” ujar Bhante.

Mpu Tantular adalah seorang pujangga Buddhis besar. Meskipun begitu Bhante Pannya meminta agar umat Buddha tidak terlalu berbangga hati, ”Karena kebanggaan itu adalah kekotoran batin, akan mengotori batin Anda sendiri. Bhinneka Tunggal Ika sudah menjadi milik bangsa Indonesia.”

“Sebenarnya kalimat lengkap itu adalah Siwa Buddha Bhinneka Tunggal Ika, Tanhana Dharma Mangrwa. Agama Siwa dan agama Buddha, karena di zaman itu hanya ada dua agama. Kalau di zaman Majapahit ada banyak agama, mungkin Mpu Tantular menyebutkan semua. Memang berbeda (bhinneka) tetapi satu, tanhana dharma mangrwa (karena kebenaran itu tidak pernah bermuka dua). Kemanusiaan itu adalah tunggal.

Di dalam Karaniyametta Sutta, Buddha menjelaskan dengan rinci, seperti apakah sesungguhnya seseorang yang mempunyai cinta kasih. Seseorang yang mampu mengendalikan dirinya dari perilaku yang buruk, dialah yang mempunyai cinta kasih.

“Karena keburukan itu menghancurkan diri sendiri dan orang lain. Kalau seseorang mampu mengendalikan dirinya dari segala perbuatan buruk, dia menghargai hidupnya sendiri dan juga memuliakan orang lain. Karena itu, Ibu, Bapak dan Saudara, kalau Anda ingin mempunyai cinta kasih jagalah diri Anda dari perbuatan-perbuatan buruk, perilaku yang buruk,” ajak Bhante.

“Selain mengendalikan diri, seseorang yang mempunyai cinta kasih adalah seseorang yang mudah memaafkan dengan ketulusan. Siapa pun yang berbuat salah kepada Anda, melukai hati Anda, merendahkan Anda, menghina Anda, maafkanlah dengan ketulusan hati. Memaafkan dengan ketulusan hati itu adalah wujud dari ketulusan hati. Kalau Anda memaafkan orang lain dengan ketulusan, maka orang yang Anda maafkan akan merasa orang itu tidak akan membalas kepada saya. Dan yang lebih penting, kalau kita memaafkan orang lain, kita akan membuang kebencian dalam pikiran kita. Selama Anda tidak bisa memaafkan, Anda tidak bisa membuang kebencian itu di dalam diri Anda, di dalam pikiran Anda. Ke mana pun Anda pergi, mungkin sampai tidur sampai bermimpi kebencian itu akan ada dalam diri Anda.

“Tetapi kalau Anda bisa memaafkan sebesar apa pun kesalahannya dengan ketulusan hati, akan memberi ketenteraman kepada orang lain. Spiritual Anda akan meningkat, karena Anda membersihkan kebencian dari dalam pikiran Anda sendiri.

Mengakhiri uraiannya, Bhante Pannyavaro mengutip ayat Dhammapada. “Kalau ada orang lain memusuhi Anda, membenci Anda, kemudian Anda berpikir harus diberi pelajaran dia, harus dihabisi dia, supaya tidak melakukan lagi; permusuhan tidak akan pernah berakhir dengan dibalas oleh permusuhan. Permusuhan itu tidak akan selesai sekalipun Anda bisa menghabisi dia, dendam akan ada di keluarga dia. Mereka akan menyimpan permusuhan kepada Anda meskipun tidak bisa membalas balik. Oleh karena itu, janganlah membalas permusuhan dengan permusuhan. Permusuhan akan selesai kalau Anda tidak memusuhi, inilah hukum alam yang sangat lama sekali. Permusuhan akan berhenti kalau Anda tidak memusuhi,” pungkasnya.

Mahakapi Jataka, Keteladanan Seorang Pemimpin
Salah satu sajian utama dalam acara Waisak kali ini adalah pentas Sendratari Mahakapi Jataka. Sendratari yang dipentaskan oleh Sanggar Kusuma Dharma Praba Temanggung yang berkolaborasi dengan karawitan dari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta dan Dharmaghosa Syailendra ini menceritakan sebuah kisah kebesaran seorang pemimpin. (Baca Sendratari Mahakapi Jataka Memukau Penonton di Solo)

Untuk menyempurnakan paramitaNya (membuat kebajikan), Buddha Gotama dalam kehidupan masa lalunya pernah terlahir menjadi seekor raja kera yang memimpin segerombolan kera.

“Pesannya dari Mahakapi Jataka, meskipun ini adalah salah satu kisah kehidupan Buddha waktu masih menjadi Bodhisattva. Sang Buddha waktu menjadi raja kera menyelamatkan rakyatnya waktu akan ditumpas seorang raja dari Benares, karena memperebutkan pohon mangga yang luar biasa di tepi Sungai Gangga. Pesan ini nampaknya masih sangat relevan sampai sekarang, di mana pemimpin kita, alih-alih mereka ingin menjaga rakyatnya tetapi malah korupsi, menelantarkan rakyatnya,” jelas Wilis Rengganiasih, sutradara sekaligus penggas dan pelatih sanggar.

“Melalui cerita ini, kami mau merevitalisasi ajaran Buddha 2600 tahun lalu itu masih relevan sampai sekarang. Jadi nanti raja kera itu justru merubah keangkaramurkaan raja yang ingin merebut mangga dengan membabarkan Dhamma. Menyadarkan raja ini kenapa seekor kera berkorban diinjak-injak untuk menyelamatkan para kera.”

Meskipun diperankan oleh para penari dari desa (Temanggung) yang bukan penari profesional dalam artian mencari penghasilan dari menari, pentas Mahakapi Jataka dapat menyihir penonton. Pujian pun dilontarkan oleh Bhante Pannyavaro. “Penampilannya sangat bagus. Latar Candi Putih, penonton yang dekat dengan pemain ditambah karawitan mahasiswa ISI, saya rasa membuat para pemain lebih semangat dan tampil memukau,” ujar Bhante.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *