
Buku The Tibetan Book of Living and Dying yang ditulis oleh seorang guru ternama Tibet Sogyal Rinpoche, langsung menjadi best-seller ketika pertama kali diterbitkan di Amerika Serikat akhir tahun 1992.
Buku ini berisi ajaran Buddhistme Tibet tentang kehidupan dan kematian. Ajaran ini sebenarnya telah ada sejak 1200 tahun lalu, tapi tidak terungkap karena hanya sedikit silsilah Buddhisme Tibet yang mengetahuinya, sampai akhirnya tahun 1927 diterbitkan buku Great Liberation dalam bahasa Inggris yang membuka mata banyak ahli medis dan kejiwaan.
Terbitnya buku The Tibetan Book of Living and Dying semakin membuka mata dunia, karena memiliki cara pandang yang modern dan memenuhi kriteria-kriteria pembuktian secara ilmiah bagaimana cara mencapai ke-Buddha-an.
Buku yang terinspirasi dari buku legendaris Tibet The Tibetan Book of Dead ini juga menjadi best-seller di Inggris dan Eropa, dan kini telah diterbitkan lebih dari 30 bahasa di 56 negara. Untuk edisi bahasa Mandarin, buku ini diterjemahkan oleh Prof. Cheng Chen Huang, seorang praktisi Buddhis ternama dari Taiwan yang merupakan pendiri Torch of Wisdom Buddhist Association. Ia juga telah menulis lebih dari 1000 artikel dan menerjemahkan lebih dari 30 buku. Pada tanggal 27-29 November 2012, Prof. Cheng secara khusus menguraikan buku tersebut dalam tiga sesi Dharma talk di Tergar Meditation Centre Jakarta.
Prof. Cheng membutuhkan waktu selama tiga tahun untuk menerjemahkan ke dalam bahasa Mandarin, yang diterbitkan tahun 1996. Buku tersebut begitu berdampak besar terhadap kiprahnya di dunia Buddhis karena berkat menerjemahkan buku itu hingga kini, selama 16 tahun, ia menjadi sangat identik dengan buku tersebut dan diundang ke berbagai tempat di dunia untuk menguraikannya.
“Buku ini dibaca tidak hanya oleh orang Buddhis, agama lain juga baca buku ini, atheis juga baca. Terutama dibaca oleh orang yang telah didiagnosa menderita kanker langsung mencari buku ini,” ujar Prof. Cheng berseloroh.
Alam Transisi (Bardo)
Prof. Cheng memulai uraiannya dengan membandingkan agama-agama di dunia percaya adanya kehidupan setelah kematian, dengan penafsiran yang berbeda-beda tentunya. Agama lain mengajarkan setelah kematian akan lahir kembali di surga atau neraka, sedangkan Buddhisme mengajarkan lebih lengkap lagi, yaitu enam alam kehidupan. Agama juga mengajarkan bagaimana cara menghindarkan ketakutan ketika menghadapi kematian.
Menurutnya, manusia mempunyai banyak problem, tapi problem terbesar adalah kematian. “Karena itu, mencari jalan bagaimana menghadapi kematian adalah hal yang paling pokok dan mendasar,” tandas Prof. Cheng. “Jika kita bisa menyelesaikan problem kematian ini, maka semua problem lain akan selesai dengan sendirinya.”
Dalam Theravada, problem kematian itu diselesaikan dengan cara menghentikan siklus kelahiran kembali, atau biasa dikenal dengan mencapai tingkat kesucian Arahat. Berbeda dengan Theravada yang mempercayai kelahiran kembali langsung terjadi setelah meninggal, Mahayana dan Tantrayana mempercayai tidak langsung terlahir kembali. Namun ada yang langsung terlahir kembali karena dorongan karma yang sangat kuat.
“Kebanyakan makhluk yang meninggal rohnya melalui masa transisi lebih dulu,” terang Prof. Cheng. Pada masa transisi inilah, orang atau makhluk yang meninggal sangat perlu pertolongan kita agar dapat terlahir kembali di alam bahagia. Dan penjelasan secara detail tentang masa transisi dari awal meninggal hingga terlahir kembali dibahas hanya dalam Mahayana dan Tantrayana.
Prof. Cheng menjelaskan, menurut Mahayana dan Tantrayana, definisi kematian bukan hanya sekadar kematian jasmani, namun juga kematian pikiran/roh. Setiap saat pikiran muncul (lahir) dan lenyap (mati). Setiap saat pikiran mati dan hidup. Ini yang menyebabkan timbulnya kekhawatiran, kepanikan, dan sejenisnya. Pada saat panca indera kontak dengan obyek, namun pikiran tidak mencengkeramnya, pada saat itu barulah kita terbebaskan. Namun banyak praktisi yang pelatihan dirinya belum sempurna keburu meninggal sebelum bisa lepas dari cengkeraman ini. Lantas bagaimana cara melepasnya?
Di dalam Theravada dan Mahayana diajarkan bagaimana menghadapi kematian. Di Theravada, jika seseorang meninggal, maka sanak saudara duduk berkumpul membaca paritta dan meditasi. Di Mahayana dibacakan sutra-sutra sehingga mendatangkan ketenangan bagi yang meninggal serta sanak saudaranya. Sedangkan di Tantrayana diadakan prosesi “Po” untuk menolong orang yang meninggal.
Penjelasan bagaimana kita bisa menolong orang yang meninggal sejak ia meninggal hingga tumimbal lahir hanya diajarkan di Mahayana dan Tantrayana. Di Buddhisme Tibet diajarkan secara ilmiah dan sistematis bagaimana cara mendengarkan Buddha Dharma selama melewati masa transisi (bardo), termasuk bagaimana caranya agar orang yang walaupun belum sempurna dalam melatih diri namun bisa mencapai pencerahan saat melewati masa bardo. Namun ini bukan berarti kita tidak perlu melatih diri selama hidup.
Menurut Prof. Cheng, orang zaman dulu lebih beruntung saat meninggal karena biasanya meninggal di rumah, dikelilingi keluarga, dan dibacakan doa-doa. “Namun zaman sekarang pasien-pasien meninggal di ruang ICU dengan banyak selang dicolokkan ke kepala atau bahkan leher dilubangi. Hanya ditemani empat sisi tembok putih, tanpa siapa pun, dingin,” tutur Prof. Cheng.
Dokter sebagai profesi yang banyak menangani proses kematian pasien, dilatih hanya untuk menangani secara medis, tidak untuk menangani kematian pikiran/roh. “Dokter diajarkan untuk menolong nyawa, tidak dilatih bagaimana untuk menghadapi kematian,” kata Prof. Cheng. Itulah mengapa banyak dokter justru cenderung menolak kematian, misalnya dengan menggunakan alat efek kejut untuk mencoba membangunkan pasien yang baru saja meninggal.
Prof. Cheng mengibaratkan kehidupan dan kematian seperti telapak tangan dan punggung tangan. Keduanya satu kesatuan yang tak terpisahkan. Jika salah satu bagian sakit, maka keduanya sebagai kesatuan akan sakit juga. Begitu juga buku The Tibetan Book of Living and Dying, awalnya hanya disusun tentang kematian, namun kemudian direvisi membahas juga tentang kehidupan. Karena kehidupan dan kematian adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Buku The Tibetan Book of Living and Dying ini disusun sebagai panduan agar kita tidak takut dalam menghadapi kematian dan bisa terlahir kembali di alam yang lebih baik.
Manusia kebanyakan hanya mempedulikan kehidupan –harta, penampilan, dll– dan mengabaikan kematian. Prof. Cheng mengibaratkan kehidupan bagai siang hari yang terang, sedangkan kematian ibarat malam hari yang gelap dan ada bahaya mengintai.
Hidup ibarat sedang melewati masa transisi (bardo) karena jasmani dan batin terus-menerus berubah.
Bab 1: Kehidupan
Di dalam batin kita diibaratkan seperti terdapat CPU yang berfungsi sebagai database yang menyimpan semua karma kita. Simpanan karma ini yang mempengaruhi cara pandang kita terhadap berbagai fenomena. Namun karma di database ini sangat sulit didelete. Itulah kenapa bayi yang baru lahir memiliki karakter yang berbeda-beda, karena membawa sisa kekotoran batin masing-masing sesuai karmanya.
The Tibetan Book of Living and Dying terbagi dalam 4 bab 22 sub bab. Bab 1 terdiri dari 10 sub bab membahas tentang kehidupan dan bagaimana caranya agar lebih cepat menyelesaikan karma ini.
Adanya kehidupan pasti ada kematian. Ibarat seorang pelancong yang akan melakukan perjalanan harus mempersiapkan uang, visa, hingga mencari tahu keadaan tempat yang akan dikunjungi, kematian pun harus disurvei dan persiapkan terlebih dahulu selagi kita masih hidup.
Prof. Cheng bertanya, jika selama hidup kita hanya memikirkan bagaimana agar hidup dengan nyaman dan enak, namun tidak pernah mensurvei perjalanan ke arah kematian, “Coba bayangkan selama hidup jika lapar atau haus kita bisa minta ke saudara atau teman-teman, namun sewaktu kematian menjelang, kita benar-benar sendiri harus menghadapinya. Kita tidak bisa meminta bantuan orang lain. Apakah untuk hal semacam ini kita tidak mau mengetahui caranya ke arah situ?”
Bab 2: Ajal
Pada saat ajal, medis hanya observasi fisik, tidak observasi batin/spiritual, tidak observasi bagaimana batin meninggalkan jasmani kita. Pikiran dan batin tidak bisa diobservasi secara medis. “Tapi Buddhisme Tibet menjelaskan secara detail dan nyaris sempurna, serta sangat logis tentang batin seseorang ketika ajal menjelang,” sebut Prof. Cheng. Umumnya kita merasa tabu atau menolak membahas tentang kematian.
Kemudian ia menjelaskan bagaimana proses kematian terjadi. Yang pertama kali meninggal adalah jasmani. Setelah itu enam kesadaran padam, dan terakhir adalah padamnya alaya (kesadaran kedelapan). Pada saat alaya meninggalkan jasmani kita itulah disebut keadaan meninggal. Dengan bantuan Buddha Dharma, alaya membantu kita agar bisa terlahir di alam yang lebih baik.
Menurut Tantrayana, walaupun selama hidup tidak terlalu banyak melatih diri, pada saat meninggal dunia bisa mencapai ke-Buddha-an, atau minimal lahir kembali di alam yang bisa mencapai ke-Buddha-an. Bagaimana mungkin?
Sangat mungkin! Ketika hidup, batin kita terikat pada jasmani. Tapi pada saat meninggal, batin meninggalkan jasmani, batin tidak lagi terikat oleh jasmani. Sehingga batin yang tak lagi terikat ini sangat memungkinkan untuk merealisasi pencerahan.
Karenanya kita harus mempersiapkan diri sebelum kematian menghampiri kita agar bisa menghadapinya dengan benar. Jika kita tidak mengenali kematian, sama seperti seorang tentara yang belum pernah belajar tentang ilmu perang tapi langsung ke medan tempur, pasti seratus persen akan gagal.
Bab 3: Dari Kematian Menuju Kelahiran Kembali
Setelah meninggal, timbul halusinasi berupa banyak cahaya. Apabila selama hidup tekun melatih diri, kita tidak akan merasa takut dan bisa memasuki cahaya-cahaya tersebut, yang berarti terlahir kembali di alam yang baik.
Pada saat batin meninggalkan jasmani, batin memasuki alam transisi (bardo). Pada minggu kedua muncul fenomena sinar dan suara. Para Buddha dan Bodhisattva muncul terus-menerus. Pada minggu ke-1, para Buddha dan Bodhisattva muncul setiap hari dengan wajah sangat penuh welas asih. Namun pada minggu ke-2, para Buddha dan Bodhisattva dengan wajah agak galak.
Jika selama para Buddha dan Bodhisattva ini muncul, kita bisa menerimanya secara alami, maka kita akan mendapatkan sambhoga kaya (tubuh pencerahan). Para Buddha dan Bodhisattva muncul dengan warna-warni yang cemerlang, yaitu putih, biru, merah, kuning, hijau. Pada saat bersamaan, warna-warna lebih kalem yang biasa kita lihat selama hidup juga akan muncul. Jika kita melekat dan menyukai warna-warna tersebut, secara otomatis kita akan langsung terlahir kembali di salah satu dari enam alam samsara.
Jika selama 2 minggu itu tidak mencapai pencerahan, maka kita akan terlahir kembali di salah satu dari enam alam samsara.
Di alam transisi sangat gelap, sehingga menimbulkan ketakutan yang luar biasa. Karenanya roh mencari-cari cahaya terang. Pada saat mencari-cari itu, kemungkinan ia menemukan dan mengikuti cahaya yang timbul karena calon orangtuanya yang sedang berhubungan intim, sehingga secara otomatis ia langsung masuk ke rahim ibunya.
Buddhisme Tibet mengajarkan kita jika melihat sinar itu, kita bayangkan sepasang laki-laki dan perempuan itu adalah sepasang Buddha sehingga kita timbul rasa hormat dan teringat akan ajaran Buddha. Ini akan menuntun kita untuk tidak masuk ke dalam cahaya rahim tersebut.
Ada 2 cara memilih kelahiran kembali: pilih daerah/negara dimana Buddha Dharma berkembang atau memilih untuk memutuskan tumimbal lahir.
Bab 4 Kesimpulan
Bab ini berisi bagaimana kita mengerti tentang kelahiran dan kematian, dan mengenalinya. Kemudian bagaimana agar bisa terlepas dari kelahiran dan kematian sehingga tercipta kehidupan yang damai.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara