• Sunday, 29 January 2012
  • Inge Santoso
  • 0

Ini adalah catatan saya tentang keynote speech dalam 7th Global Conference on Buddhism tanggal 10 Desember 2011 di Balai Kartini, Jakarta yang disampaikan oleh Ajahn Brahm. Mohon diperhatikan bahwa ini adalah catatan pribadi saya dan bukan merupakan transkrip ceramah.

Keynote speech disampaikan setelah makan siang, waktu yang banyak ditakuti oleh para pembicara karena ruang konferensi bisa saja tiba-tiba berubah sepi seperti kuburan (tertidur), Ajahn Brahm memulai ceramahnya dengan sebuah cerita tentang hantu. Tidak hanya menggugah ketertarikan peserta konferensi, namun juga nilai moral cerita mengarah ke inti pembicaraan. Nilai moral dari cerita hantunya adalah manusia yang sudah dikubur di pemakaman, tak peduli ras, agama, umur, ataupun jenis kelamin, berdampingan secara harmonis. Jika orang yang sudah meninggal saja bisa melakukan itu, bisakah kita yang masih hidup melakukan hal yang sama?

Adakah solusi bagi agama yang berbeda-beda untuk harmonis?

Untuk menjawab pertanyaan ini, Ajahn Brahm menceritakan sebuah kisah dari buku yang ia tulisOpening the Door to Your Heart (di Indonesia berjudul Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya -red) yang berjudul “Suara Paling Indah”.

Seorang lelaki tua tak berpendidikan mengunjungi sebuah kota untuk pertama kalinya sepanjang hidupnya. Selama hidupnya ia habiskan di desa di pegunungan dan sekarang ia menikmati kunjungan pertamanya ke tempat tinggal anaknya yang modern.

Suatu hari, ketika ia sedang berkeliling kota, sang lelaki tua ini mendengar kebisingan yang teramat sangat. Ia tidak pernah mendengar kebisingan seperti itu sebelumnya dan ingin tahu dari masa sumbernya. Ia menemukan sumber kebisingan itu dari sebuah ruangan belakang sebuah rumah dimana seorang pemuda kecil yang sedang belajar biola. Ketika anak muda itu mengatakan bahwa itu adalah sebuah ‘biola’, sang lelaki tua bersumpah tak mau lagi mendengar kebisingan seperti itu lagi.

Hari berikutnya, di bagian lain kota, lelaki tua itu mendengar sebuah suara yang sangat mempesona. Ia juga ingin mengetahui sumber suara itu. Ia mengikuti suara yang indah itu hingga akhirnya sampai di sebuah ruangan depan sebuah rumah dimana seorang maestro sedang memainkan sebuah sonata menggunakan sebuah biola.

Saat itu juga, lelaki tua itu menyadari kesalahannya. Suara mengerikan yang ia dengar sebelumnya bukan salah biolanya, juga bukan salah sang anak muda. Itu hanyalah seorang anak muda yang sedang belajar agar bisa memainkan biola dengan baik.

Pada hari ketiga, di bagian lain kota, lelaki tua itu mendengar suara lain yang lebih mempesona dari biola yang dimainkan sang maestro. Suara apakah yang membuat lelaki tua itu sangat terkesan dibandingkan sebelumnya? Ternyata itu adalah suara sebuah orkestra yang sedang memainkan sebuah simfoni.

Begitu juga dengan agama. Ketika kita menjumpai pemeluk agama fanatik yang sampai berselisih dengan pemeluk agama lain, itu bukan salah agamanya. Itu lebih karena si pemeluk agama itu belum memahami agamanya dengan baik. Ketika ia telah menjadi maestro tentang agamanya, itu adalah sebuah pencapaian manis yang akan selalu menginspirasi kita apa pun agamanya.

Ketika setiap anggota sebuah orkestra adalah seorang maestro dalam alat musik yang dimainkannya dan mereka telah banyak belajar bersama dalam harmoni, akan menghasilkan suara paling indah di dunia.

Pelajari agama kita dengan baik dan teruslah melangkah dan belajar bagaimana bermain bersama-sama dengan agama lain dalam sebuah harmoni.

Ajahn Brahm melanjutkan ceritanya tentang bagaimana ia diwawancara oleh seorang jurnalis mengenai sebuah berita tentang tentara Amerika yang membuang sebuah Alquran ke dalam toilet. Jurnalis itu bertanya, “Jika seseorang membuang buku suci Buddhis ke dalam toilet, apa yang akan Anda lakukan?” Ajahn Brahm menjawab, “Pertama, saya akan memanggil seorang tukang ledeng.” Jurnalis itu berkomentar jawaban Ajahn Brahm tersebut sebagai jawaban paling bijaksana yang pernah ia dengar. Kemudian Ajahn Bram melanjutkan dengan berkata bahwa Anda bisa membuang buku suci Buddhis ke toilet, menghancurkan patung di vihara, tapi Anda tidak akan bisa menghancurkan welas asih, pemaafan, dan perdamaian.

Anda harus membedakan antara bungkus dan isi. Gereja, masjid, atau vihara hanyalah bungkus; isi dan orang-orangnyalah yang penting. Patung Buddha adalah sebuah bungkus, sedangkan isinya adalah perdamaian, kebajikan, welas asih, dan pemaafan yang jauh lebih penting nilainya. Yang penting adalah Dhamma-nya, bukan bukunya.

Daripada memperhatikan bungkusnya, ingatlah isinya, apa yang Buddha ajarkan: kebajikan, perdamaian, dan welas asih.

Ajahn Brahm juga berbagi cerita tentang persahabatannya dengan pendeta Benediktian. Suatu ketika mereka berdiskusi mengenai pandangan Buddhis tentang Tuhan. Sang pendeta Benediktian bilang bahwa setiap manusia selalu mencari Tuhan. Ajahn Brahm bilang bahwa seorang Buddhis selalu mencari kebenaran, welas asih, perdamaian, dan kebajikan. Kesimpulannya adalah, cari apa yang sama di antara agama-agama yang ada untuk hidup dalam harmoni.

Singkatnya, untuk membina perdamaian antar agama dan komunitas multi kultur, kita perlu untuk: (1) Pelajari agama kita dengan baik dan pelajari bagaimana cara bermain dengan agama lain dalam harmoni secara bersama-sama, (2) Fokus pada isi, bukan pada bungkusnya, dan (3) Cari persamaan dalam tiap agama.

Untuk melihat sumber asli tulisan ini, silahkan kunjungi note Inge Santoso di sini

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *