• Wednesday, 22 May 2024
  • Surahman Ana
  • 0

Foto     : Surahman Ana

Hadir sebagai pengisi pesan Dhamma pada perayaan Waisak di Vihara Dwipaloka Parakan, Temanggung, Bhante Jotidhammo menyampaikan pesan penting mengenai karma dan kaitanya dengan kerukunan dalam masyarakat yang beragam, Kamis (16/5/2024).

“Setiap kali kita melakukan puja bakti, kita membaca salah satu bagian yang termuat dalam Brahmavihara dan Abhinhapaccavekkhana, yaitu tentang karma. Ini mengingatkan kita bahwa kita semua mewarisi karma kita masing-masing,” terang bhante, menekankan pentingnya pemahaman akan karma dalam Buddhisme.

Bhante melanjutkan penjelasannya bahwa karma membentuk segala aspek kehidupan seseorang, dari bentuk fisik, status sosial, hingga lingkungan tempat kelahiran, dan sebagainya. Bhante menggarisbawahi bahwa perbedaan-perbedaan yang ada adalah hasil dari karma individu masing-masing.

“Jadi kalau ada yang terlahir menjadi orang pendek, tinggi, rambut kriting, lurus, kulit putih, kulit hitam, terlahir di keluarga kaya atau miskin, yang di Parakan, yang di Jakarta, terlahir menjadi laki-laki atau perempuan, mejadi pintar atau bodoh, yang sehat atau sakit-sakitan, yang badannya normal dan yang berkebutuhan khusus. Itu semua karena karmanya sendiri,” lanjut bhante.

Terkait dengan tema Waisak, “Memperkokoh Persatuan Dalam Keberagaman”, Bhante Jotidhammo menekankan pentingnya menerima perbedaan dalam menciptakan kerukunan. “Perbedaan adalah hal yang wajar karena setiap dari kita mewarisi karma masing-masing,” katanya.

“Namun, kita semua memiliki kesamaan, yaitu sama-sama manusia dan sama-sama mempunyai keinginan untuk hidup bahagia. Oleh karena itu, kita perlu berusaha untuk hidup bersama dengan damai meskipun dalam keberagaman,” tambahnya lagi.

Berangkat dari kesamaan keinginan untuk hidup bahagia dan terbebas dari penderitaan, lebih jauh bhante menjelaskan tentang empat prinsip dalam ajaran Agama Buddha yang dapat menciptakan kerukunan serta keharmonisan dalam hidup bermasyarakat. Prinsip pertama yang hendaknya dimiliki oleh setiap orang adalah Panna atau kebijaksanaan dalam memandang perbedaan.

“Orang bijaksana tidak hanya memikirkan dirinya sendiri, tetapi memikirkan orang lain juga. Orang yang bijak bisa berpikir bahwa ketika saya ingin hidup enak, orang lain juga ingin hidup enak, ketika saya ingin tidur nyenyak, orang lain juga ingin tidur nyenyak, saya ingin makan yang cukup, orang lain juga ingin makan cukup. Itulah pemikiran orang bijaksana.”

Pemikiran ini akan menumbuhkan sikap peduli terhadap orang lain. Ketika kepedulian sudah muncul maka seseorang tersebut akan siap berkorban, memberikan sesuatu yang dibutuhkan orang lain, tidak mengganggu ketenangan orang lain, agar orang lain juga bahagia. Sikap rela berkorban inilah prinsip hidup rukun selanjutnya, yang dalam ajaran Buddha disebut sebagai Cagga.

“Dan pengorbanan bisa dalam bentuk apa pun, waktu, tenaga, pemikiran, materi, dan lainnya yang kita miliki, demi membuat orang lain ikut bahagia,” terang bhante.

Menjelaskan prinsip ketiga, bhante menerangkan hal penting mengenai kesombongan. Bhante menilai, sikap sombong akan memecah belah persatuan dan kerukunan dalam maysarakat. Kesombongan atau keangkuhan juga akan menjauhkan seseorang dari lingkungan hidupnya seperti teman, tetangga, bahkan keluarga sendiri.

“Orang sombong, angkuh, itu kalau sudah di atas menganggap orang lain rendah, temannya, tetangganya, bahkan orang tuanya. Sikap ini tidak bisa menciptakan kebersamaan dalam masyarakat. Maka, walaupun berbeda-beda, ada miskin, ada kaya, tapi jangan sampai sombong, jangan angkuh,” tegas bhante.

Untuk menanggulangi kesombongan dalam diri, bhante menekankan pentingnya menumbuhkan kesadaran bahwa kehidupan ini selalu berputar, tidak kekal. “Kita harus sadar bahwa orang hidup ini selalu berubah, owah gingsir, cokro manggilingan. Sekarang di atas, besok bisa jadi di bawah, kalau sudah di bawah bisa-bisa stres kemudian frustasi. Kenapa bisa stres, karena sombong, angkuh ketika sudah dapat apa yang diinginkan. Jangan sampai seperti itu.”

Lebih lanjut, bhante penjelasan prinsip keempat yaitu toleransi. Ketika semua orang sudah memahami persamaan keinginan untuk hidup bahagia bersama dalam perbedaan, maka harus dibarengai dengan sikap toleransi. Menghormati dan menghargai satu sama lain menjadi nilai yang tidak bisa ditawar lagi dalam menciptakan harmoni sosial.

“Jangan memaksakan keinginan kepada orang lain. Kalau dalam masyarakat juga harus bisa menerima pendapat orang lain, jika kita nilai pendapatnya benar ya diterima, diperhatikan dan dijalankan. Karena memang itu benar. Jadi jangan merasa benar sendiri,” tandasnya.

Menutup pesannya, bhante menyimpulkan bahwa keempat hal tersebut jika diamalkan, akan membawa manusia menuju kehidupan yang rukun, harmonis, dan bahagia. “Ini yang menjadikan rukun agawe sentosa,” pungkas bhante.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *