Perayaan Asadha Puja 2560 BE/2016 digelar meriah di Candi Borobudur. Tujuh puluhan anggota sangha dan puluhan ribu umat hadir dalam acara yang dilaksanakan pada hari Minggu (17/7). Bukan hanya itu, perayaan Asadha kali ini terasa istimewa karena sebelum perayaan Asadha, selama tiga hari penuh digelar Indonesia Tipitaka Chanting (ITC) di mana anggota sangha dan umat Buddha membaca ulang ajaran Buddha.
Bhikkhu Sri Pannyavaro dalam ceramah Dhamma mengungkapkan keharuannya melihat peristiwa ini, “Untuk pertama kalinya begitu banyak anggota sangha hadir bersama umat di Candi Agung Borobudur, apalagi sebelumnya selama tiga hari penuh, para bhikkhu bersama umat telah mengulang kitab suci Tipitaka. Kitab suci Tipitaka tidak hanya berisi ajaran agama saja, tetapi juga ilmu pengetahuan spiritual, yang tidak akan habis untuk kita pelajari. Sungguh peristiwa yang mengharukan.”
“Asadha adalah lahirnya Tiratana, lengkaplah Permata Buddha, Dhamma dan Sangha. Apa yang diajarkan, apa yang diberikan, apa yang dijelaskan oleh Guru Agung kita Buddha Gotama, yang diperoleh pada saat mencapai pencerahan sangat menarik.
“Yang pertama kali Beliau sentuh adalah persoalan penderitaan umat manusia. Persoalan yang menjadi persoalan semua manusia. Siapakah di antara manusia-manusia itu yang ingin menderita? Tidak ada. Semuanya emoh menderita, semua ingin bahagia. Justru itulah yang disentuh pertama kali oleh Guru Agung kita.”
Kemudian Bhante Pannyavaro bertanya, “Benarkah kita ingin membebaskan diri ini dari penderitaan? Sungguh-sungguhkah umat manusia ingin keluar dari penderitaan? Umumnya tidak. Kita manusia lebih senang menutup-nutupi penderitaan dengan mencari kesenangan. Karena menutupi penderitaan itulah, maka sangat sulit melihat penderitaan.”
Menurut Bhante Pannyavaro, nafsu keinginan adalah penyebab penderitaan. Oleh karena itu, untuk melenyapkan penderitaan, harus mengikis nafsu keinginan (tanha). “Guru Agung kita mengungkapkan tanha itulah sebab penderitaan. Nafsu keinginan itu selalu diikuti oleh kesenangan, dan kesenangan itu mencari kesenangan ke sana kemari. Dan apabila Saudara memenuhi itu, Anda merasa menghilangkan penderitaan, padahal Saudara hanya menutupi penderitaan.”
Bhante Pannyavaro mengutip Dhammapada, “(1) Anda melihat api yang membakar rumah, hutan, membunuh makhluk-makhluk, namun Guru Agung kita menjelaskan bahwa nafsu keinginan adalah api yang tidak bisa ditandingi. Betapa dahsyatnya api nafsu keinginan, tidak hanya membakar hutan-hutan dan rumah-rumah, tetapi membakar kita dari kehidupan ke kehidupan selanjutnya.
“(2) Kalau ada penerkam, binatang buas yang kejam, maka Guru Agung kita mengatakan bahwa kebencian adalah penerkam yang sangat dahsyat, tidak ada yang menandingi di dunia ini.
“(3) Ada jala yang halus sekali. Jaring yang halus sekali tidak tampak oleh mata kita, tetapi jaring ini sangat dahsyat, Saudara. Jaring itu akan menjaring kita, mencari kepuasan, mencari aktualisasi diri, kesombongan, memamerkan kesombongan. Itulah keakuan, itulah moha, jaring yang sangat kuat, tidak ada yang bisa menandingi jaring ini.
“(4) Dan akhirnya Guru Agung kita mengatakan, kalau Anda membaca banjir di mana-mana, menghancurkan, menghanyutkan tebing-tebing, menggelontorkan tebing-tebing, menghancurkan desa-desa, tetepai Guru Agung kita mengatakan bahwa tanha (nafsu keinginan) itu adalah arus banjir yang sangat dahsyat tidak ada tandingnya.
“Ibu, Bapak dan Saudara, apakah ini tidak mengerikan? Api itu, banjir itu, jaring itu, ada di dalam diri kita. Guru Agung kita tidak tanggung-tanggung mengatakan, tidak ada tandingnya itu banjir, tidak ada tandingnya itu jaring, tidak ada tandingnya itu penerkam, tidak ada tandingnya itu api. Pendeknya, tidak ada tandingnya semua itu.”
Namun menurut Bhante, kita tidak perlu khawatir, karena Buddha Gotama telah mengajarkan cara untuk menaklukkan sebab penderitaan. “Tetapi Guru Agung kita mengatakan jangan berkecil hati, seperti itulah, yang dahsyat itu bisa diatasi dengan Jalan Arya Berunsur Delapan. Itulah satu-satunya jalan.”
Kemudian Bhante memberikan perumpamaan, “Dalam Magandia Sutta, Majjhima Nikaya, Buddha Gotama memberikan perumpamaan yang sangat menarik. Kalau Saudara sakit luka, dengan kalimat yang lebih jelas, kalau Saudara sakit korengan dan tidak sembuh-sembuh, malam hari merasa gatal kemudian Anda menyalakan api dan menggoreng-goreng koreng tersebut di malam hari, kemudian koreng itu digaruk-garuk, alangkah nikmatnya. Tetapi Guru Agung kita mengatakan, ‘Ingat, koreng itu akan melebar, infeksi, kemudian Anda harus diamputasi dan selesailah hidup Anda sekarang.’
“Seperti itulah Anda menutupi penderitaan, kebencian, ketidaksenangan dengan mencari kesenangan seperti menggaruk-garuk koreng di malam hari. Ingat, Ibu, Bapak dan Saudara, sungguh bagus perumpamaan ini, begitu tajam, mengerikan, tetapi ingat pada saat Anda mencari kesenangan, jangan sampai menggaruk-garuk koreng. Enak tetapi membahayakan.
“Kemudian seorang dokter datang, ‘Berhenti, jangan dipanggang lagi. Jangan digaruk-garuk lagi, dan diberi betadin’. Memang pada awalnya terasa perih, tetapi akan menyembuhkan. Dokter itu adalah Guru Agung kita Buddha Gotama,” tutur Bhante.
Nafsu keinginan, apabila dituruti dengan mencari kesenangan, tidak akan ada habisnya. Seperti menggaruk koreng di malam hari, yang awalnya nikmat tetapi pada akhirnya akan melebar, membusuk, dan harus diamputasi.
“Berhenti menggaruk, mengendalikan diri dengan sila, berhenti menghujat orang lain, berhenti mencelakai orang lain, berhenti membunuh orang lain, berhenti menjelekkan orang lain, berhenti menghancurkan lingkungan kita sendiri, berhentilah hawa nafsu di dalam diri sendiri.
“Tetapi, Bhante, bukankah kita ingin maju, kita ingin keluarga kita maju saat dunia ini maju? Benar, Saudara. Tetapi majulah dengan kearifan, majulah dengan sati sampajana, majulah dengan wisdom, majulah dengan pertimbangan dengan benar. Dunia kita sekarang, seolah-olah mendorong kita untuk maju, maju, dan maju terus. Hati-hati, Saudara. Kalau tanpa pengetahuan, tanpa kesadaran yang jeli, kemajuan itu seperti api yang membakar kita, seperti arus yang menghanyutkan kita, keserakahan, hawa nafsu. Hentikan itu.
“Bagaimana caranya? Bermeditasilah, asahlah kesadaran, awareness, sati, kesadaran, itulah yang akan membuat hawa nafsu berhenti. Kesadaran itulah yang akan membuat tanha berhenti. Memang saat ini Anda belum bisa menghentikan hawa nafsu, tetapi Saudara mengerti cara untuk menghentikannya.
“Meskipun belum sampai habis, kalau tanha itu berkurang, kekotoran batin itu berkurang, berkurang dan berkurang, hidup Saudara akan bahagia. Marilah kita berjuang, kendalikan diri, maju dengan bijak, dan tahu cara untuk menghentikan sebab penderitaan. Ajaran Guru Agung kita bukan hanya agama, tetapi ajaran pengetahuan spiritual, mencerahkan, memperkaya mental kita. Marilah kita praktik untuk menyelesaikan penderitaan,” ajak Bhante mengakhiri pesan Dhammanya.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara