Vihara Mendut, Magelang, Jawa Tengah mengadakan pertemuan anak-anak muda dalam Dhamma. Acara yang digelar pada 19-21 Februari 2016 ini diikuti lebih dari 40 anak-anak muda dari berbagai wilayah di Indonesia, khususnya anak muda Buddhis dari Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Bhikkhu Sri Pannyavaro selaku Kepala Vihara Mendut menyambut baik atas kegiatan ini. Menurutnya, pemuda Buddhis harus merasakan tinggal di vihara, belajar Dhamma, meditasi, dan berlatih atthangasila (delapan sila).
“Tinggal di vihara sampai hari Minggu tentu berbeda dengan di rumah sendiri, berbeda dengan di kos. Tidur mungkin tidak nyaman, kamar mandi juga mungkin tidak nyaman, tetapi kamar mandi kami banyak tidak perlu ngantri, makan mungkin juga tidak nyaman. Tetapi semua itu menjadikan latihan bagi kita. Belajar Dhamma tidak hanya pengertian secara intelektual, ada sesuatu yang harus kita bangun dari dalam.
“Suatu saat dalam kehidupan ini, kita akan menjumpai keadaan yang tidak hanya galau tetapi juga sulit sekali. Ketika kita dihadapkan dalam situasi yang menuntut kita untuk bertahan, pada saat itu pengertian Dhamma, pengetahuan dan praktik-praktik Dhamma sangat kita butuhkan,” jelas Bhante.
Bhante memberikan contoh, “Dalam keadaan sulit, materi atau dalam kata yang kasar uang sebanyak apa pun, tidak bisa menolong kita. Ada satu uraian yang sangat menarik, kalau suatu saat Anda sakit, dokter mengatakan ‘Wah ini sulit sembuh’, dan Anda mengatakan, ‘Dok tolonglah, Dok. Saya tidak akan sayang dengan uang yang saya punya, saya rela memberikan semua.’ Dokter akan mengatakan, ‘Itu sulit, uang Anda tidak bisa menolong lagi. Kemungkinan kaki Anda akan dipotong satu atau diamputasi kalau mau selamat. Anda potong saja, Dok, silahkan. Pokoknya yang penting saya selamat’.
“Seperti itulah, dalam keadaan seperti itu, kekuasaan, kedudukan, pengaruh, materi tidak ada gunanya. Andai kaki kita dipotong satu, kita rela asalkan selamat. Dan dalam keadaan seperti itulah kita memerlukan inner strong (kekuatan di dalam) untuk bertahan, biar jasmani ini hancur mental kita harus kuat,” jelasnya.
Bukan hanya diajak belajar Dhamma dan berlatih meditasi, kegiatan ini juga mengajak peserta untuk berlatih menjalankan atthangasila.
“Besok panitia berusaha untuk mengajak saudara-saudara untuk melatih delapan sila, memang tidak mudah. Sila-sila yang lain mungkin tidak berat, tetapi tidak makan sore mungkin berat banget apalagi yang belum pernah melakukan.
Berlatih atthangasila harus dilakukan dengan niat. Kalau suatu sore Anda di perjalanan, atau kiriman uang Anda sedikit, lalu kemudian Anda pagi sarapan sedikit, siang makan, lalu sore Anda berfikir, ‘Ah nggak usah makan sore saja, itung-itung atthangasila saja, karena sangu tinggal tipis, itu tidak latihan namanya,” jelas Bhante.
Menurut Bhante, dalam latihan atthangasila masih diperbolehkan minum kopi, jahe, teh manis dan makan permen, karena berlatih atthangasila bukan hanya persoalan lapar, tetapi melatih mental untuk menghadapi situasi yang sulit dan bagaimana mencegah nafsu keinginan yang tidak pernah mati.
“Kalau semua keinginan kita, kita turuti dan berhasil, wah puas sekali, bahagia rasanya. Tetapi dengan melatih atthangasila, kami ingin mengajak saudara untuk mengalami bahwa tidak hanya keinginan itu kalau dituruti membawa kepuasan, membawa kenikmatan, membawa nyaman, tetapi kalau suatu saat keinginan itu berhenti, keinginan-keinginan tertentu dihentikan, hawa nafsu tidak selalu dituruti dan dia mau berhenti, itu juga kebahagiaan. Meskipun itu tidak mudah.
“Selama ini kan kita berpandangan, bahwa bahagia itu kalau semua keinginan kita terpenuhi, bahagia itu kalau nafsu terpenuhi, bahagia itu kalau apa yang kita inginkan tercapai. Benar, tetapi ada dimensi lain, ada bahagia yang lain kalau suatu saat nafsu-nafsu tertentu kita hentikan,” jelas Bhante.
Bhante memberi contoh lain, “Saya bertemu dengan seorang wanita Katolik dari Surabaya, namanya Ibu Esti Susanti. Psikolog juga dia, tetapi dia aktif bekerja sosial untuk anak-anak gelandangan, pekerja seks komersial, mereka yang tidak punya keluarga, dan lain-lain. Dia sangat mengerti Dhamma, mengerti anatta dengan baik. Beberapa hari yang lalu bertemu saya di Jogja, kami sama-sama pengurus Interfide. Ibu Esti ini suka puasa, mirip dengan atthanggasila, tetapi bukan atthangga sila. Lalu temannya bertanya, ‘Eh kok kamu puasa?’ dan dia menjawab, ‘Oh perlu sekali saya puasa untuk memperkuat inner stong saya, untuk kalau saya bertekad melakukan sesuatu yang baik membuat saya tidak mudah menyerah, dan tekad itu saya latih dengan mental puasa. Kalau saya berhenti berpuasa, saya tidak merasa berdosa dengan siapa pun, tetapi saya berprasetya kepada saya sendiri supaya kekuatan mental saya tetap kuat’, saya mengatakan, ‘Ibu itu sama dengan pandangan Buddhis’. Lalu dia mengatakan, ‘Oh iya, saya juga mengerti Buddhisme’.”
“Begitulah menjalankan atthasila, kita tidak bersumpah kepada siapa pun, kita tidak takut pada siapa pun, tetapi kita berprasetya untuk latihan kita sendiri, suatu saat saya akan menghadapi persoalan yang sulit, dan saya membutuhkan inner stong,” ujar Bhante Sri Pannyavaro mengakhiri pesan Dhammanya.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara