• Friday, 19 February 2016
  • Chuang
  • 0

Di rumah, saya memiliki seekor ikan cupang hias (betta sp) yang saya beri nama si Cupi. Dari bentuk ekornya, ia termasuk jenis halfmoon dan tinggal di dalam sebuah toples kaca berbentuk segi enam berdiameter sekitar 20 cm. Karena tak memakai sistem penyaringan air, setiap hari air dalam toples itu harus saya ganti dengan yang baru, dan saya melakukannya dengan cara memindahkan si Cupi ke toples lain serupa yang telah berisi air bersih. Untuk memindahkan si Cupi, saya harus menangkapnya dengan tangan saya.

Pada awalnya pekerjaan ini cukup sulit karena saya belum terbiasa dan si Cupi pandai berkelit. Tetapi lama-kelamaan saya menjadi semakin mahir menangkapnya. Toh begitu, satu hal tak pernah berubah: setiap kali saya harus menangkap si Cupi untuk memindahkannya ke toples baru berisi air bersih, dia selalu tak rela, berkelat-kelit dan bahkan meronta saat sudah tertangkap dalam genggaman saya. Padahal saya menangkapnya bukan untuk membuatnya menderita, atau untuk memutuskan kontrak hidupnya di dunia ini, melainkan untuk memindahkannya dari toples lama berisi air kotor ke toples baru berisi air bersih segar.

Dengan kata lain, penangkapan itu adalah bagian dari proses perubahan dari keadaan lama menuju keadaan baru yang lebih nyaman untuknya. Namun si Cupi tak tahu atau tak menyadari kebaikan itu, ia akan selalu dengan panik melesat ke sana kemari menghindari tangan saya yang hendak menolongnya pindah dari “neraka” ke “surga”.

Si Cupi bukan kasus langka. Tingkahnya mirip dengan sebagian dari kita juga yang begitu melekati zona nyaman kita: kita takut akan perubahan meskipun perubahan itu nyatanya demi kebaikan kita sendiri.

Kita merasa nyaman dengan kebiasaan-kebiasaan buruk kita karena kebiasaan-kebiasaan itu sudah begitu lama menjadi bagian dari diri kita yang kita kenali dengan akrab. Itulah mengapa sebagian orang-orang gendut ingin kurus gagal dalam program dietnya dan tetap gendut sampai dunia kiamat, mungkin.

Kita merasa nyaman dengan kekotoran-kekotoran batin kita hingga tak menganggapnya sebagai suatu beban yang seharusnya disingkirkan jauh-jauh demi membubung tinggi menuju pantai seberang. Itulah mengapa sebagian dari kita sulit mengalami meditasi yang mendalam, karena batin kita lebih senang bermain-main bersama kekotoran itu yang telah dikenalnya begitu lama dan akrab daripada menyelami kedalaman yang tak berhingga, keheningan yang membawa pada wawasan baru namun yang masih asing baginya.

Si Cupi dan kita seperti teman si Cupi yang terkenal: si Cacing yang melekati kotorannya dan menolak diangkat ke surga*. Bagi kita, si Cacing dan si Cupi, kotoran pun tetap lebih oke asalkan kita tak harus berubah meninggalkannya menuju sesuatu yang asing, meskipun yang asing itu surga.

Maka, tak mengherankan, kebanyakan dari kita tetap diam di sini, berputar-putar di pantai sini, dan hanya sangat sedikit yang benar-benar pemberani untuk menyeberangi lautan menuju pantai seberang,

Chuang 250116

*) Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya, Ajahn Brahm

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *