Gaya hidup modern saat ini telah merambah ke seluruh lapisan masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat desa. Masyarakat pedesaan yang dari dulu dikenal hidup sederhana, makan dari tanaman yang tumbuh di ladang berupa singkong, talas, jagung, dan aneka sayur hasil panen sendiri, kini telah banyak berubah.
Singkong, jagung, talas, sruwek, uwi, gadung, gembili, dan lain-lain yang dulu dijadikan pengganti makanan pokok berangsur ditinggalkan. Masyarakat desa kini lebih memilih hidup praktis, nasi menjadi makanan pokok tiga kali sehari, sayur beli dari pasar dan aneka makanan kemasan pabrik juga sudah menjangkit masyarakat desa.
Kondisi ini membuat Bhante Dhammasubho merasa prihatin. Menurut bhante, harusnya masyarakat desa tidak usah mengikuti gaya hidup orang kota. Hal ini disampaikan kepada masyarakat Buddha Kabupaten Temanggung dan Semarang pada acara pattidana tutup bulan Suro, Rabu (10/10/2018) di Pendopo Paud Saddhapala Jaya.
“Orang kota itu tidak bisa bercocok tanam, mereka tidak punya tanah, punyanya uang. Lha kita, orang desa melihat uang kan tiga bulan sekali. Menanam jagung setelah panen ditukar uang,” kata bhante.
Menurut bhante, masyarakat desa mempunyai cadangan makanan pokok yang tumbuh secara alami di ladang. Bhante mengibaratkan kehidupan masyarakat desa yang mempunyai punjer dan lajer. “Punjer itu tanaman rambat seperti; kapak, uwi, gadung, gembolo-gembili. Sedangkan lajer itu lanjaran yang digunakan tanaman untuk merambat. Harusnya jangan ditinggalkan tanaman-tanaman seperti itu Bapak/Ibu, karena makanan ini adalah cadangan makanan di mangsa paceklik.”
Baca juga: Bhikkhu Dhammasubho: Rasah Kakean Tumindak Olo
“Lalu sebagai umat Buddha apa to punjer dan lajernya kita?” tanya bhante. “Dhamma warisan Buddha Gotama itulah punjer kita sebagai umat Buddha. Bhante Dhammakaro, Bhante Cattamano, dan Bhante Uppasanto itulah lajer kita,” terang bhante.
Karena, menurut bhante tanaman rambat kalau tidak dikasih lanjaran akan berkembang ke mana-mana dan ini membuat tanaman tersebut tidak produktif dalam berbuat. Sama halnya dengan umat Buddha ketika tidak ada pegangan yang kuat akan mudah goyah.
“Lha sekarang, tanaman seperti itu sudah mulai hilang. Harusnya tanaman seperti; kapak uwi, gembolo, gembili, gadung itu dirawat Pak. Karena itu makanan saat paceklik datang. Pada zaman kakek buyut kita, pada saat bulan Februari – Maret makanan sudah mulai berkurang, hasil panen sudah mulai habis. Makanan yang tumbuh secara alami inilah yang menjadi makanan kakek buyut kita,” terang bhante dalam bahasa Jawa halus.
Karena itu, bhante berharap masyarakat Buddha yang tinggal di pedesaan mulai kembali merawat alam, merawat dan makan-makanan yang sehat yang berasal dari alam, dan yang paling penting menurut bhante jangan sampai meninggalkan tradisi dan ajaran para leluhur umat Buddha Jawa.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara